Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (10): Abdul Qadir (7)

in Monumental

Last updated on December 24th, 2018 02:59 pm

Abdul Qadir dipindahkan ke pemukiman di Pau, Prancis, menjadi tahanan rumah. Di sana dia dimusuhi dan dijuluki “Monster Gurun”. Hingga saatnya dia harus pindah ke tempat lain, ketika dia pergi penduduk Pau justru mengelu-elukannya. Apa gerangan yang terjadi selama ini?

Pemerintah Prancis yang baru memutuskan tidak akan memenuhi janji Raja dan Pangeran Prancis kepada Abdul Qadir sebelumnya. Mereka merasa tidak memiliki urusan apapun terkait janji-janji tersebut. Tak ayal, Abdul Qadir merasa sangat kecewa, dia berkata kepada Daumas, “Aku adalah seorang tawanan yang dilindungi hukum internasional, dan sekarang keluargaku, yang sebelumnya bebas, terpancing ke dalam perangkap yang membahayakan. Aku tidak pernah menyangka jika suatu negara, sebagaimana negaramu, dapat terbenam sedemikian rendah hingga menjebak orang-orang sebagaimana anak-anak yang dengan kejam memasang perangkap untuk burung-burung kecil.”[1]

Sebagaimana diketahui, Prancis sebelumnya telah berjanji untuk memenuhi permintaan Abdul Qadir untuk diasingkan ke Mesir, dan dia diizinkan untuk membawa siapapun yang ingin ikut bersamanya. Persoalannya, para pengikut Abdul Qadir, jika mereka tidak ikut dengan Abdul Qadir, tadinya mereka dapat hidup dengan bebas di Aljazair, sesuai dengan salah satu poin permintaan Abdul Qadir sebelum dia menyerahkan diri ke Prancis. Karena mereka memilih untuk ikut Abdul Qadir ke pengasingan, kini mereka malah menjadi sama-sama terjebak di Prancis.

 

Monster Gurun yang Ramah

Pada 23 April 1848, Abdul Qadir beserta orang-orang Aljazair lainnya dipindahkan dari Toulon ke sebuah chateau (kastil atau istana) di Pau. Tempat ini jauh lebih baik ketimbang Benteng Lamalgue. Pau berada di daerah pegunungan di dekat Pyrenees, tempat ini menyajikan iklim yang sejuk dan pemandangan yang memukau. Bukan hanya indah, tempat ini juga bersejarah, karena di sinilah Raja Prancis Henry IV dilahirkan.[2]

Chateau di Pau, Prancis. Photo diambil antara tahun 1890-1900. Sumber: Library of Congress

Meski demikian, Abdul Qadir sadar sepenuhnya, betapapun bagusnya tempat ini, pada hakikatnya dia masih merupakan seorang tawanan. Dan yang lebih membuatnya frustasi, di chateau Abdul Qadir hanya tinggal bersama keluarga dan beberapa pelayannya. Sementara itu teman-teman Aljazair yang lainnya dipindahkan ke tempat lainnya yang tidak diketahui oleh Abdul Qadir.[3]

Banyak warga Pau yang ngeri membayangkan bahwa Abdul Qadir akan tinggal di antara mereka. Pers setempat menyebutnya sebagai “monster gurun.” Beberapa orang bahkan berpendapat bahwa keberadaannya di sana merupakan penghinaan bagi warga, mereka mengatakan bahwa Abdul Qadir dan keluarganya merupakan “segerombolan orang liar yang dengan senang hati akan menghancurkannya (Pau).” Sebelum Abdul Qadir tiba, permadani, perabotan, dan barang-barang antik sudah dipindahkan terlebih dahulu, khawatir disentuh oleh “orang-orang liar”. Sementara itu Abdul Qadir sendiri tidak lebih bahagia daripada orang-orang Pau. Pemandangan indah pegunungan hanya bisa dilihat olehnya dari jendela-jendela dengan jeruji yang baru saja dipasang. Selain itu, pasukan penjaga juga ditempatkan di setiap sudut di sekitar chateau.[4]

Pada tanggal 3 Mei 1848, Walikota Pau hendak melakukan kunjungan kehormatan kepada Abdul Qadir selaku warga baru. Apa yang dia temui di kediaman Abdul Qadir adalah sesuatu yang mengherankan, karena ternyata warga setempat yang cukup bernyali sudah terlebih dahulu mengunjunginya. Bukannya ketakutan, mereka justru merasa terpesona akan nuansa ketimuran yang menurut mereka eksotis dan romantis. Ketika rasa takut dan prasangka mereka mulai memudar, orang-orang Pau menyadari bahwa Abdul Qadir adalah sosok yang menarik.[5]

Lukisan Abdul Qadir karya pelukis Prancis, Ange Tissier, dibuat tahun 1852.

Bahkan, mereka baru tahu, orang baru yang berada di tengah-tengah pemukiman mereka itu adalah orang Arab yang paling terkenal saat itu. Dalam waktu yang singkat Abdul Qadir menjadi objek perhatian yang sangat memikat bagi banyak orang. Secara tingkah laku Abdul Qadir tampak melankolis, di lain sisi dia juga mempesona dan juga cerdas, terutama di mata para wanita, dan kesopanan dan kelembutannya membuat semua orang terkesan. Gelombang pengunjung yang ingin mengunjungi Abdul Qadir menjadi bertubi-tubi dan semakin banyak, mereka datang dari berbagai penjuru Prancis. Abdul Qadir akhirnya harus membatasi jam kunjungannya menjadi hanya dua hari dalam seminggu, sehingga dia dapat memiliki waktu untuk membaca, berdoa, dan merenung yang merupakan bagian penting dari hidupnya.[6]

Abdul Qadir sendiri mulai beradaptasi dengan lingkungan setempat. Dilaporkan dia sempat menonton konser piano, dan dia sangat menyukainya. Dan ketika ada pertunjukan sirkus yang datang ke kota itu, dia mengizinkan adik laki-laki bersama beberapa anak untuk mengunjunginya.[7]

Bulan demi bulan berlalu, tidak semua orang Aljazair dapat beradaptasi dengan iklim Prancis, terutama di musim dingin. Beberapa di antara mereka ada yang meninggal, termasuk tiga anak Abdul Qadir yang masih kecil. Mereka dimakamkan di sebidang petak kecil di sekitar chateau. Dan ketika masuk bulan Agustus, umat Islam memasuki ibadah puasa Ramadhan, para wanita dan anak-anak menjadi sangat lemah. Ketika hendak diobati oleh dokter laki-laki, mereka menolaknya, sebaliknya mereka mau menerima pengobatan dari biarawati Kristen setempat. Abdul Qadir sangat berterima kasih atas kebaikan dan kagum dengan metode penyembuhan yang dilakukan oleh para biarawati.[8]

Memasuki akhir November 1848, pemerintah Prancis masih berdebat tentang bagaimana nasib akhir Abdul Qadir dan orang-orang Aljazair lainnya. Sementara, mereka memutuskan bahwa Abdul Qadir mesti dipindahkan ke tempat baru, yakni ke chateau di Amboise. Jika pada awal datang ke Pau Abdul Qadir disambut dengan permusuhan, kali ini, ketika mereka hendak pergi suasananya benar-benar berbeda. Hanya dalam waktu beberapa bulan, penduduk kota, biarawati, pendeta Katolik, dan berbagai kalangan lainnya telah dimenangkan hatinya oleh keramahan Abdul Qadir Sang Amir gurun pasir. Abdul Qadir sekarang merasa dirinya berada di lingkungan yang bersahabat.[9]

Ketika tiba saatnya untuk pergi, Abdul Qadir meminta agar dia diangkut dengan kereta terbuka melalui jalan-jalan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk Pau. Perjalanan orang Aljazair ini menuju ke utara, ke Paris, bagaikan sebuah prosesi kerajaan. Sepanjang jalan, Abdul Qadir disambut oleh orang-orang terkemuka dan kerumunan masyarakat yang antusias. Dan ketika tiba di kota Nantes, militer setempat menembakkan tiga belas kali tembakan ke udara, sebagai bentuk penghormatan bergaya militer.[10] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (11): Abdul Qadir (8)

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (9): Abdul Qadir (6)

Catatan Kaki:

[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 58-59.

[2] Ibid., hlm 59.

[3] Ibid.

[4] Ibid., hlm 60-61.

[5] Ibid., hlm 61.

[6] Ibid.

[7] Ibid., hlm 63.

[8] Ibid., hlm 63-64.

[9] Ibid., hlm 64

[10] Ibid., hlm 64-65.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*