Masyarakat Eropa terbelah pendapatnya tentang sosok Abdul Qadir. Satu pihak menganggap dia hanya seorang pimpinan gerombolan perampok, sementara lainnya menganggap dia seorang jenderal yang harus dihormati.
Pro-Kontra di Eropa
Chateau di Amboise adalah kastil terkenal di Prancis. Posisinya berada di atas tebing tinggi di atas sungai Loire, sungai utama di Prancis. Pada abad ke-16, chateau ini menjadi tempat tinggal favorit para raja Prancis. Tapi tetap saja, bagi Abdul Qadir tempat ini tiada lain hanyalah penjara, dan sekarang larangan-larangan menjadi lebih diperketat. Abdul Qadir dilarang menerima pengunjung tanpa izin khusus. Dia juga dilarang menulis surat kecuali atas izin – yang mana merupakan hal sulit bagi Abdul Qadir yang begitu sering dan mengalir dalam mengekspresikan dirinya melalui tulisan. Selain itu, kini dua ratus prajurit ditempatkan di sana untuk menjaga orang-orang Aljazair tersebut.[1]
Kemudian, sekali lagi politik Perancis mengalami pergantian yang tiba-tiba dan tidak terduga. Pemilihan yang telah lama ditunggu-tunggu untuk membentuk Republik Kedua resmi diadakan pada bulan Desember 1848. Sebelum pemilihan, Abdul Qadir pernah menulis surat kepada salah seorang kandidat Presiden yang bernama Louis-Napoleon. Dia adalah keponakan dari Jenderal legendaris Prancis, Napoleon Bonaparte. Abdul Qadir secara khusus mengagumi Napoleon Bonaparte, terutama terkait strategi-strategi militernya. Louis-Napoleon, bagaimanapun tadinya merupakan kandidat yang sama sekali tidak diunggulkan, banyak orang menduga mustahil untuknya dapat memenangkan pemilihan ini. Namun secara tidak terduga keajaiban tiba, Louis-Napoleon menjadi pemenang.[2]
Banyak orang berpikir bahwa Louis-Napoleon adalah orang yang tidak praktis, terlalu banyak bermimpi, seorang pejuang yang tidak realistis untuk tujuan-tujuan yang telah usang. Seperti pamannya yang terkenal, dia memiliki ide-ide ambisius yang besar untuk kebijakan luar negerinya, tetapi tidak dibarengi dengan kemampuan yang dapat membuatnya berhasil. Pada saat yang sama, dia benar-benar orang yang idealis, peduli terhadap orang-orang yang tertindas. Ketika Abdul Qadir mengetahui bahwa presiden baru itu memiliki pandangan simpatik tentang rakyat Aljazair, harapannya bangkit lagi.[3]
Louis-Napoleon mendengarkan pendapat para pihak yang mendukung Abdul Qadir. Tetapi secara hati-hati dia lebih mendengarkan para menterinya sendiri dan anggota parlemen Prancis, yang berkeras agar Abdul Qadir ditahan. Mereka berpendapat bahwa kondisi di Aljazair masih tidak menentu dan berbahaya. Orang-orang pribumi Aljazair masih potensial resisten di bawah pemerintahan militer, dan tentara Prancis di sana sudah jauh berkurang. Banyak koloni Eropa yang kembali ke kampung halamannya, mereka tidak tahan dengan kehidupan keras di Aljazair. Dan tidak ada yang sanggup menjadi Gubernur Jenderal di sana selama lebih dari beberapa minggu. Intinya, mereka berpendapat bahwa sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memberi kebebasan untuk Abdul Qadir dan kawan-kawannya. Apa jaminannya jika Abdul Qadir dibebaskan ke Aljazair, atau wilayah koloni Prancis lainnya, dan di sana dia tidak akan menyebabkan lebih banyak masalah?[4]
Di sisi lain, sejumlah orang berpengaruh di pemerintahan memang berbicara untuk Abdul Qadir. Para pemimpin militer juga angkat bicara. Musuh lama Abdul Qadir ketika masih berperang di Aljazair, Marshall Bugeaud, juga berusaha membantu dengan caranya sendiri. Dia menulis surat kepada Abdul Qadir dan menyebut dirinya “sebagai teman sejati”, dan dia mendesak agar orang-orang Aljazair agar mau menetap di pedesaan Prancis dengan bahagia, di mana mereka dapat menikmati kehidupan yang sehat dengan bercocok tanam.[5]
Sementara itu, pada 25 November 1950, orang-orang di parlemen Prancis juga berdebat panas tentang nasib Abdul Qadir. Michel Ney, seorang pahlawan Revolusi Prancis yang diberi gelar Pengeran de la Moskowa oleh Napoleon Bonaparte,[6] menyampaikan pidatonya:
“Sekarang, satu dari dua hal: apakah Anda menganggap Abdul Qadir seorang perampok, seorang bajak laut, atau Anda melihat dirinya sebagai seorang jenderal yang kalah? Untuk kasus pertama, jadikan dia tahanan; untuk kasus kedua, perlakukan dia sesuai dengan hak-haknya…. Janganlah kita melebih-lebihkan tentang bahaya mengasingkan sang Amir ke negara Muslim …. Ada satu hal yang harus diperhitungkan di atas segalanya: yaitu menjaga kepercayaan terhadap janji yang diberikan! Tidak boleh dikatakan bahwa, sebagai tolok ukur dunia militer, Jenderal Prancis telah bertukar pedang (berdamai) dengan Abdul Qadir dan Prancis menyangkal komitmen ini.”[7]
Di bagian dunia yang lebih luas, Abdul Qadir juga tidak dilupakan. Bahkan, ketenarannya terus bertambah semakin besar. Buku-buku dan artikel tentangnya diterbitkan di Prancis, hampir seolah-olah semua orang yang pernah ke Aljazair ingin menulis buku tentang Abdul Qadir. Di Inggris, orang-orang terkagum-kagum dengan kisahnya; dan bahkan, jika kisahnya menggambarkan tentang keburukan Prancis, maka itu dianggap jauh lebih baik. Publik Inggris dengan senang hati membuat Abdul Qadir menjadi seorang pahlawan yang populer. Kisahnya menjadi lebih menarik ketika dalam sebuah ajang balap kuda di Inggris yang bertajuk Grand National Steeple Chase, ada seekor kuda kecil yang dinamai Abdul Qadir, dan kuda itu memenangkan kompetisi tersebut selama dua tahun berturut-turut pada tahun 1850 dan 1851.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 65.
[2] Ibid., hlm 66.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm 67.
[6] Harold Kurtz, “Michel Ney, duke d’Elchingen”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Michel-Ney-duc-dElchingen, diakses 24 Desember 2018.
[7] Ahmed Bouyerdene, Emir Abd El-Kader: Hero and Saint of Islam, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Gustavo Polit (World Wisdom, 2012), hlm 71.
[8] Elsa Marston, Loc.Cit.