Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (12): Abdul Qadir (9)

in Monumental

Last updated on December 26th, 2018 02:02 pm

William Makepeace Thackeray, penyair ternama Inggris, demi membebaskan Abdul Qadir, menuliskan sebuah puisi untuknya, “Hancurkan sangkarmu, maka sayapmu yang tidak berdaya akan membentang kembali.”

Bebas

Di Inggris, baik jurnalis maupun penyair sama-sama mengangkat pena mereka untuk menuliskan kisah tentang pahlawan Aljazair yang mereka anggap eksotis ini. Jika sebelumnya pers Inggris senang memberitakan tentang kesulitan yang diberikan oleh Abdul Qadir kepada Prancis dalam perang, maka sekarang arahnya mereka menunjukkan simpati kepada Abdul Qadir sebagai pihak yang dikhianati. Penyair Inggris yang terkenal, William Makepeace Thackeray, menuliskan sebuah puisi tentang Abdul Qadir, berikut ini penggalannya:

Tiada lagi sayap elangmu yang lentur dan membentang dan kehidupan padang pasir bagimu;

Tiada lagi engkau dapat melintas di atas pasir panas di mana engkau dapat menukik dengan bebas:

Cakar yang didiamkan menjadi tumpul, paruh yang didiamkan, yang menolak untuk dirantai,

Hancurkan sangkarmu, maka sayapmu yang tidak berdaya akan membentang kembali.[1]

William Makepeace Thackeray, penyair ternama Inggris. Lukisan karya Samuel Laurence (1812-1884). Sumber: New York Public Library

Seorang bangsawan Inggris, Marquis of Londonderry, memutuskan untuk melihat apa yang dapat dia lakukan secara langsung terhadap Abdul Qadir. Bersama istri dan putrinya dia berangkat mengunjungi Abdul Qadir di chateau di Amboise. Izin diberikan — tetapi otoritas Prancis cukup membuat mereka mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dengan membuat mereka mesti menunggu berjam-jam di ruangan yang dingin dan kotor, sampai akhirnya mereka diizinkan untuk melihatnya.[2]

Abdul Qadir menyambut para tamu dengan hangat, dan kemudian mengucapkan selamat tinggal dengan pelukan yang cukup kencang sehingga Londonderry mengeluh lehernya menjadi sakit setelahnya. Meskipun demikian dia menulis, “Saya pikir pemimpin tua yang mulia dan tak terlukiskan ini sangat senang dan terpengaruh oleh kunjungan kami.” Usia Abdul Qadir sebenarnya belum cukup tua, sekitar pertengahan 40-an dan masih sangat bugar. Namun tampaknya orang-orang Inggris lebih menyukai penggambarannya sebagai seseorang yang berusia tua.[3]

Londonderry kemudian menulis surat kepada Louis-Napoleon, Presiden Prancis, mengatakan bahwa bahkan jika ada sedikit risiko dalam membebaskan Abdul Qadir, namun itu akan sangat diimbangi oleh kekaguman dunia atas kemurahan hati Prancis. Louis-Napoleon menjawab dengan sangat hati-hati, “Saya akan sangat senang menemui Amir, tetapi saya hanya bisa menemuinya untuk mengabarkan berita baik.” Meskipun kecewa, tetapi dia bertekad untuk melanjutkan usahanya, Marquis dan keluarganya kembali ke London.[4]

Bulan demi bulan berlalu, dan kemudian bertambah menjadi menahun, api protes Abdul Qadir meredup dan dia tampak semakin pasrah pada nasibnya. Dia hanya menunggu dan mencoba percaya bahwa Louis-Napoleon akan membebaskannya. Dia mengatakan kepada para pengunjung bahwa dia pikir Prancis seharusnya tidak menilainya dalam satu waktu tertentu, tetapi dari sejarah interaksi mereka yang panjang.[5]

Terpenjara selama lima tahun bagi Abdul Qadir sebenarnya bukan akhir dari semangat hidupnya. Dia tidak mundur ke dalam keputusasaan dan kelesuan, baik secara intelektual ataupun spiritual. Sebaliknya, dia terus tumbuh. Setelah bertekad untuk belajar tentang pemikiran dan kebudayaan Prancis, dia mengembangkan pemahaman yang jauh lebih akurat — dan sebagian besar, positif — tentang bekas musuhnya. Banyaknya pengunjung memberinya kesempatan untuk mengamati dan merenungkan tentang berbagai macam jenis orang Eropa dan mentalitas mereka. Dalam hal ini Prancis cukup bijaksana untuk mengizinkan terjadinya interaksi semacam ini.[6]

Semakin Abdul Qadir belajar dan berpikir tentang peradaban Prancis – dan peradaban barat pada umumnya – minatnya semakin bertambah besar. Dia melihat kekuatan, kelemahan, dan kegagalan bangsa Barat ini. Dia bahkan mencoba membayangkan peran untuk dirinya sendiri yang dapat membantu memperkuat kehidupan spiritual bangsa yang telah memenjarakannya ini. Atas dorongan dari Boissonnet, penerjemah kepercayaannya, Abdul Qadir menuliskan pemikirannya tentang agama, politik, sains, sejarah, dan budaya. Karyanya ini di kemudian hari akan diterbitkan dengan judul Surat untuk Prancis.[7]

Lambat laun, bahkan ketika perdebatan sengit masih berlangsung di Parlemen Prancis, pemerintah melonggarkan larangan yang dikenakan kepada Abdul Qadir dan pengikutnya. Pada tahun 1850, sebagai uji coba, Louis-Napoleon mengizinkan sembilan belas warga Aljazair untuk kembali ke negara mereka, dan ternyata tidak ada kegemparan dari pers atau publik. Puisi berisi pujian yang ditulis Abdul Qadir kepada presiden telah memicu korespondensi di antara kedua pria itu.[8]

Abdul Qadir juga mulai membiarkan dirinya sedikit lebih santai. Dia berjalan-jalan di taman resmi chateau, dan dia belajar bermain catur. Abdul Qadir mengagumi permainan tersebut karena membutuhkan disiplin mental dan ada kemiripan dengan strategi militer. Pada musim semi tahun 1851 dia mulai menerima beberapa undangan sosial. Demi mengembalikan niat baik yang ditunjukkan oleh warga Amboise kepadanya, dia mulai mengunjungi chateau-chateau lain di wilayah tersebut. Dia mengizinkan beberapa laki-laki Aljazair untuk menjelajahi kota Amboise sendiri. Hari-hari ketika Abdul Qadir menolak semua hal yang berbau Prancis sudah berlalu. Sekarang dia menangkap peluang yang akan mengarah pada pembelajaran dan pengalaman baru.[9]

Tetapi bagi banyak orang Aljazair lainnya, terputus begitu lama dari cara hidup normal mereka, depresi tidak terhindarkan, begitu pula penyakit dan kematian. Selain mereka yang meninggal di Pau, dua puluh lima orang dewasa dan anak-anak akhirnya meninggal dan mereka dimakamkan di pemakaman kecil di taman chateau di Amboise pada musim panas 1852. Beberapa di antara mereka adalah keluarga dekat Abdul Qadir. Kesedihan menghampiri Abdul Qadir, namun untuk saat ini dia hanya bisa menunggu.[10]

Kompleks pemakaman sahabat-sahabat dan beberapa keluarga Abdul Qadir di taman chateau di Amboise. Photo: Turb/Wikimedia

Pada suatu sore di pertengahan Oktober 1852, hampir lima tahun setelah dia menyerah kepada Prancis, Abdul Qadir sedang berjalan-jalan di luar ketika dia menerima perintah yang tidak terduga. Dia diminta untuk segera hadir di salah satu ruang tamu chateau. Tiba di sana, dia bertemu dengan Louis-Napoleon, Presiden Republik Prancis, yang telah menunggunya.”Abdul Qadir,” kata Louis-Napoleon, “Saya datang untuk memberi tahu Anda bahwa Anda dibebaskan.” [11]

Lukisan karya Ange Tissier (1814–1876) yang menggambarkan peristiwa pembebasan Abdul Qadir oleh Louis-Napoleon. Sumber: Palace of Versailles

Kemudian Boissonnet menerjemahkan pernyataan tertulis Presiden dengan penuh emosi, “Untuk waktu yang lama, seperti yang Anda tahu, penahanan Anda telah menyebabkan saya benar-benar sedih, karena itu mengingatkan saya terus-menerus bahwa pemerintahan yang mendahului saya tidak menepati janjinya kepada (bekas) musuh yang tidak berbahagia….” Meskipun tadi belum diterjemahkan, Abdul Qadir telah mengenali satu kata penting “liberté” (kebebasan). Penantiannya yang lama sekarang hampir berakhir. Dia menghampiri Presiden, merendah dan mencium tangannya.[12] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (13): Abdul Qadir (10)

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (11): Abdul Qadir (8)

Catatan Kaki:

[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 68.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid., hlm 69.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid., hlm 70.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid., hlm 71

[12] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*