Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (13): Abdul Qadir (10)

in Monumental

Last updated on December 27th, 2018 01:21 pm

Ketika hendak meninggalkan Prancis, salah seorang biarawati yang pernah bertemu dengannya menulis, “Tidak ada kebajikan Kristen yang tidak dipraktikkan Abdul Qadir kecuali dalam tingkat tertinggi.”

Menuju Konstantinopel

Sebelum meninggalkan Prancis, Abdul Qadir ingin melihat kota Paris terlebih dahulu, untuk belajar lebih banyak tentang peradaban Prancis, dan menyatakan penghargaannya atas dukungan yang ditunjukkan oleh begitu banyak orang Prancis. Pada tanggal 28 Oktober 1852, dia berangkat untuk tur ke ibukota Prancis tersebut. Di Paris Abdul Qadir diundang untuk menghadiri opera Paris yang sangat terkenal pada masa itu. Setelah diyakinkan bahwa Louis-Napoleon juga akan hadir, akhirnya Abdul Qadir bersedia untuk hadir. Di sana mereka bertegur sapa dengan hangat.[1]

Hari berikutnya, atas permintaannya sendiri, tur Abdul Qadir dimulai dengan mengunjungi beberapa gereja besar di Paris. Tempat pertama yang dia kunjungi adalah Madeleine, sebuah monumen besar yang menyerupai kuil Romawi. Bangunan ini dibangun oleh Napoleon Bonaparte untuk menghormati pasukannya, tetapi kemudian berubah menjadi gereja Katolik Roma. Berdiri di samping pendeta, Abdul Qadir berdoa dengan tenang di altar. Kerumunan orang yang menyaksikannya terkagum-kagum, dan Abdul Qadir dikatakan menyukai momen tersebut, di mana orang-orang Prancis dapat menyaksikan seorang Muslim dapat berdoa di sebuah gereja Kristen.[2]

Abdul Qadir kemudian pergi ke katedral abad pertengahan di Notre Dame yang terkenal. Di sana dia sangat tertarik untuk melihat benda-benda bersejarah religius dan jubah yang dikenakan Napoleon pertama kalinya ketika dinobatkan sebagai kaisar pada tahun 1804. Setelahnya, Abdul Qadir juga mengunjungi beberapa tempat bersejarah lainnya di Paris. Selama di Paris, pers Prancis menjuluki Abdul Qadir sebagai “Sang Singa”.[3]

Salah satu tempat di Paris yang dinamai place de L’Emir Abdel Kader pada tahun 2006 untuk menghormati Abdul Qadir. Salah satu alasan lainnya adalah tempat ini dekat dengan Masjid Agung Paris. Photo: allevents.in

Pada 22 November 1852 Prancis kembali melakukan pemungutan suara untuk menentukan pengangkatan kaisar baru. Louis-Napoleon lah yang dipilih oleh masyarakat Prancis untuk menjadi kaisar baru. Secara kebetulan, pada tanggal yang sama 20 tahun sebelumnya, Abdul Qadir diangkat menjadi Amirul Mukminin di Aljazair untuk bangkit melakukan perlawanan terhadap penjajahan Prancis. Abdul Qadir kemudian melakukan kunjungan singkat lainnya ke Paris pada awal Desember 1852 untuk menyaksikan Louis-Napoleon diangkat menjadi kaisar. Setelah menjadi kaisar, dia menggunakan gelar sebagai Kaisar Napoleon III.[4]

Kembali ke Amboise, Abdul Qadir sibuk menulis surat terima kasih kepada orang-orang yang telah membantunya. Secara khusus dia mengucapkan rasa terima kasih kepada para biarawati Dominika yang telah merawat para wanita dan anak-anak Aljazair ketika mereka sakit. Salah satu biarawati menggambarkan sosok Abdul Qadir seperti ini:  “Mengizinkan pengecualian tertentu yang bersifat teologis (waktu itu Abdul Qadir menolak dokter laki-laki dengan alasan tidak diperkenankan dalam Islam), tidak ada kebajikan Kristen yang tidak dipraktikkan Abdul Qadir kecuali dalam tingkat tertinggi.” Warga kota Amboise kemudian mengumpulkan dana untuk perawatan kuburan kecil di taman chateau tempat orang-orang Aljazair yang meninggal dimakamkan. Pada gilirannya, Abdul Qadir membeli lampu kristal yang elegan dari chateau itu sendiri, untuk diberikan kepada Gereja di Paris.[5]

Akhirnya Abdul Qadir, keluarganya, dan para pendukungnya telah siap untuk meninggalkan Prancis. Sekali lagi keberangkatan mereka disambut dengan keramaian di sepanjang jalan, mereka menuju ke pelabuhan Marseilles di Laut Mediterania. Di sana, pada 21 Desember 1852, hampir lima tahun setelah Abdul Qadir menyerah dan tertawan di Prancis, mereka berangkat naik kapal besar yang mewah menuju ke Mediterania timur. Tapi ke manakah tujuan Abdul Qadir? Dia pergi bukan ke salah kota Arab yang telah dijanjikan kepadanya, Alexandria di Mesir atau Acre di Palestina. Sebagai gantinya, sekali lagi pemerintah Prancis mengatur ulang kehidupan Abdul Qadir. Mereka mengirimnya ke jantung Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman), Konstantinopel.[6]

Abdul Qadir memang telah diberitahu sebelumnya tentang keputusan ini. Tapi apa yang memicu perubahan ini? Mungkin kaisar, dengan segala hormatnya kepada Abdul Qadir, tetap masih merasa khawatir apabila Abdul Qadir dibebaskan ke negara Arab. Sementara itu, apabila di Turki dia masih bisa diawasi lebih dekat, dan jika perlu, dikendalikan. Kemungkinan lainnya adalah pemerintah Prancis berpikir bahwa kehadiran Abdul Qadir di Turki dapat memperkuat aliansi mereka dengan pemerintah Ottoman untuk melawan gangguan Rusia di Timur Tengah. Atau mungkin juga, orang Prancis menganggap bahwa itu tidak akan membuat banyak perbedaan. Toh Konstantinopel masih salah satu kota Muslim, mereka mungkin beralasan, Konstantinopel sama baiknya dengan kota lainnya, dan setidaknya jantung Kesultanan Ottoman dengan segala peradabannya akan lebih menarik ketimbang kota-kota di provinsi di Mesir atau Palestina.[7]

Tetapi tidak perlu waktu lama bagi Abdul Qadir untuk menyadari sikap dingin dari para diplomat Prancis di Konstantinopel. Di Prancis dia adalah sahabat kaisar, dan di mana-mana dia disambut dengan baik. Di sini dia tampaknya masih dicurigai. Di Konstantinopel Abdul Qadir mendapatkan seorang penerjemah baru, Georges Bullad, seorang pemuda dari keluarga Kristen Suriah terkemuka, dia tumbuh besar di Prancis. Abdul Qadir menyukainya, tetapi dia sadar bahwa tugas-tugas Bullad adalah termasuk membaca surat-suratnya dan mengirim laporan harian ke kementerian perang Prancis, yang masih mempertahankan kendali atas kegiatannya. Abdul Qadir tidak lagi menjadi elang yang terkurung, tetapi dia juga masih belum dapat terbang bebas.[8] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (14): Abdul Qadir (11)

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (12): Abdul Qadir (9)

Catatan Kaki:

[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 72-73.

[2] Ibid., hlm 73.

[3] Ibid.

[4] Ibid., hlm 74.

[5] Ibid., hlm 74-75.

[6] Ibid., hlm 75.

[7] Ibid.

[8] Ibid., hlm 76.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*