Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Kewarganegaraan Sesudah Pemilu 2019 (1)

in Studi Islam

Last updated on June 9th, 2019 07:00 am


Demokrasi di berbagai belahan bumi menghadapi ancaman baru: populisme yang ditunggangi elit politik. Di Indonesia, umat Islam dapat menghadapinya lebih dewasa walau tantangan aktual lainnya muncul: gerakan transnasional.

Robert W. Hefner. Foto: Gana Islamika

Tahun 1978.  Pemuda 26 tahun asal Amerika Serikat, Robert William Hefner, menginjakkan kakinya di pegunungan Tengger, Jawa Timur. Di sana,  ia mengamati dan mendalami praktik kebudayaan, pasang surut ekonomi hingga tradisi keyakinan masyarakat setempat.

Selama dua tahun, Hefner mewawancarai 342 kepala keluarga dan bergumul dengan kehidupan orang-orang Tengger yang bermukim di dataran rendah pegunungan hingga puncak Gunung Bromo. Riset inilah yang mengantarkan pria yang akrab disapa Bob Hefner ini meraih gelar doktor filsafat (PhD) bidang antropologi di Universitas Michigan Amerika Serikat pada 1982.

Pencapaian akademik ini ternyata tidak membuat Hefner pensiun dari dunia penelitian. Bule yang menguasai bahasa Tengger dan Jawa ini justru semakin rajin berkelintaran di Indonesia dan melahirkan ratusan karya ilmiah. 

Salah satu karyanya yang monumental ialah “Civil Islam”  yang diterbikan Princeton University Press pada tahun 2000. Buku setebal 312 halaman ini menggambarkan tumbuh kembangnya tradisi Islam demokratik di Indonesia. “Inilah studi paling detail tentang Islam pada era Soeharto,” kata antropolog asal Universitas Utrecht Belanda, Martin Van Bruinessen.

Kini, Hefner adalah guru besar antropologi di Universitas Boston Amerika Serikat. Ia juga mengajar di berbagai negara dan mendapatkan ragam penghargaan atas kerja-kerja intelektualnya.

Pada 24 Mei 2019, pria yang menginjak usia 67 tahun ini kembali menyambangi Indonesia. Di sela-sela kesibukannya di Jakarta, Hefner menyempatkan diri berdiskusi bersama kontributor Gana Islamika pada sore menjelang buka puasa Ramadan di bilangan Pasar Minggu.   

Dengan bahasa Indonesia yang fasih dan sesekali bertutur Jawa, ia berbagi pengalaman riset dan pandangannya tentang perkembangan muslim Indonesia sebagai warga negara, termasuk pascapemilihan umum 2019. Berikut petikannya:

Apa sebenarnya ide dasar buku Civil Islam?  

Civil Islam ingin menyampaikan bahwa demokrasi yang ingin berjalan dengan baik memerlukan kultur sosial dan politik yang civil atau rahmah jika menggunakan istilah cendekiawan muslim Nurchalis Madjid. Ini berlaku di mana-mana, termasuk Amerika Serikat. Gagasan ini juga pernah disampaikan sosiolog berkebangsaan Prancis Alexis de Tocqueville (1803-1859).

Kultur pada konteks ini bukan sekadar ide abstrak tapi harus juga harus diamalkan sehari-sehari secara praktis. Sedemikian sehingga menjadi bagian dari kehidupan warga.

Hanya saja, untuk mewujudkan hal ini bukanlah pekerjaan mudah. Struktur politik yang demokratis dapat saja terwujud tapi belum tentu berangkat dari budaya politik yang rahmah.

Pemenang pemilihan umum India 2019, contohnya, diraih oleh partai berbasis Hindu nasionalis BJP. Kemenangan ini sangat dimungkinkan lahir dari proses demokratis. Tapi di sisi lain, hasil pemilu di India itu berangkat dari kultur politik yang tidak rahmah. Kultur yang menolak pengakuan terhadap umat muslim walau komunitas minoritas ini adalah warga negara India. 

Kritik ini bukan ditujukan semata-mata kepada India. Kritik ini ingin menekankan sekali lagi bahwa sistem demokrasi yang berasal dari undang-undang dan struktur formal lainnya tidak cukup.

Saya sebagai warga Amerika Serikat dan teman-teman muslim di sana juga mengalami hal yang sama. Kami melihat bahwa kemenangan Donald Trump pada pemilihan presiden berasal dari proses yang secara formal itu demokratis tapi tidak sama sekali rahmah terhadap sesama warga negara, di antaranya orang Latin dan muslim.    

Jadi, demokrasi formal tidak menjamin pembentukan kultur yang rahmah. Harus ada upaya terus menerus dari organisasi masyarakat, tokoh-tokoh agama dan lain-lain. 

Bagaimana jika kultur warga yang rahmah itu dimanfaatkan oleh elit politik untuk membajak demokrasi?

Salah satu ciri dari politik global belakangan ini adalah naiknya populisme. Namun populisme yang dimaksud di sini adalah istilah baru, yaitu: populisme yang didalangi oleh elit politik yang memanfaatkan identitas sosial. Pemanfaatan ini demi kepentingan yang mungkin saja tidak bertentangan dengan demokrasi formal tapi dapat bertentangan dengan kultur politik yang rahmah. 

Jadi itu (pembajakan) bukan proses yang mengagetkan, tapi mencerminkan tantangan terhadap proses demokrasi. Ini tidak terjadi di Indonesia saja, tapi juga di banyak negara seperti: Belanda, Prancis, Amerika Serikat dan Philipina.

Di Philipina, Presiden Rodrigo Duterte berasal dari masyarakat kelas atas. Pertanyaannya, bagaimana hal ini bisa terjadi?

Jadi kita harus mengambil jarak sembari sedikit santai. Ini supaya kita tidak (terburu-buru, –ed,) menganggap Indonesia adalah sebagai pengecualian. Menurut saya,  Indonesia termasuk salah satu negara yang menghadapi ancaman ini secara lebih dewasa dari segi politik dibandingkan banyak negara lain. Atas penilaian ini, saya menerima kritik dari teman-teman saya. 

Foto: Gana Islamika

Anda tampaknya begitu optimis?

Saya memang optimis, tapi juga realis.  Demokrasi dan politik di seluruh dunia menghadapi ancaman baru. Lihatlah negara-negara Arab yang menghadapi fenomena Musim Semi.

Di Suriah, misalnya, saya menaruh harapan besar kepada masyarakatnya. Karena, sebelumnya, masyarakat Suriah merupakan orang yang cerdas, kelas menengahnya juga dewasa. Tapi sayangnya, mereka dimainkan oleh beberapa kelompok (politik) yang sedang bersaing.

Dengan perbandingan ini, saya menganggap orang Indonesia berhasil menjalankan demokrasi dengan cara yang cukup baik. Karena apa yang dihadapi sekarang ini adalah tantangan baru sekaligus sulit. Meminjam istilah presiden di Amerika, bagi saya, Indonesia adalah negara yang great.

Buku Civil Islam terbit hampir dua dekade silam. Lalu bagaimana pandangan Anda terhadap Islam di Indonesia belakangan ini? Sebagian orang prihatin dengan Islam akhir-akhir ini karena digunakan oleh sejumlah kalangan untuk kepentingan tertentu termasuk politik.

Itu bukan Islam, tapi kelompok-kelompok umat Islam. Bagi saya, Islam merupakan (ajaran) wahyu yang harus dibedakan dengan muslim (sebagai pengikut ajaran). Ini juga saya sampaikan kepada teman-teman di Barat.

Terkait perkembangan muslim belakangan ini, ada hal yang tidak bisa saya nafikan, yaitu: naiknya gerakan muslim transnasional.

Sejatinya, tradisi transnasional (atau lebih tepatnya trans-wilayah) telah ada di dunia Islam sejak dulu. Salah satunya adalah tradisi pembelajaran fikih, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah, yang telah berusia lebih daripada seribu tahun. Namun yang saya maksud pada konteks kali ini ialah transnasional yang menolak kebangsaan.

Nah, salah satu keistimewaan muslim Indonesia adalah pengakuannya bahwa gagasan kebangsaan  tidak mesti bertentangan dengan tradisi Islam. Ini bukan Hefner yang omong, tapi berbagai wacana dan pengalaman organisasi modernis dan tradisionalis telah membuktikannya.

Karena itu, salah satu ciri lain dari kultur politik Indonesia, ialah kultur politik muslim di Indonesia mengakomdir aspirasi kebangsaan. Yang lebih penting lagi, ialah aspirasi kebangsaan yang tidak meniadakan orang yang berbeda etnis, suku dan agama. Ini yang menarik.

Memang hal ini tidak unik karena fenomena yang sama juga terjadi pada muslim di negara lain. Hanya saja, ini salah satu kultur politik sekaligus modal sosial yang memberikan sumbangan signifikan pada aspirasi kebangsaan.

Kembali pada transnasional. Pengertiannya saat ini bukan lagi sekadar lintas-wilayah, tapi gerakan yang ingin meniadakan tradisi wathaniah (kebangsaan) yang selama ini dijalankan dengan baik. Meniadakan kebangsaan berarti juga meniadakan keautentikan dan praktik-praktik sosial yang selama ini dijalankan muslim Indonesia.

Nyuwun sewu (mohon maaf), tanpa mengetakan secara eksplisit, saya melihat sedang terjadi proses pen-takfir-an terhadap sesama orang muslim. Misalnya saja dengan menilai, “Kamu orang NU atau Muhammadiyah, sebenarnya bukan Islam.” Implikasi ini sangat serius. [YS]

Bersambung ke:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*