Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Kewarganegaraan Sesudah Pemilu 2019 (3)

in Studi Islam

Last updated on June 16th, 2019 11:24 pm

Ketika itu, saya belum yakin seratus persen dengan apa yang saya anggap sebagai keistimewaan Indonesia. Tapi setelah saya mengamati negara-negara seperti Turki, Mesir dan Afganistan, apa yang pernah saya saksikan di Indonesia memang benar-benar istimewa.

Robert W. Hefner. Foto: Gana Islamika.

Tapi Anda menganggap warga Indonesia masih dewasa menghadapi semua itu?

Iya. Sebagian masyarakat Indonesia memang tergoda. Saya tidak sedang bicara terkait Prabowo dan Jokowi, karena masalah ini tidak sesederhana itu. Saya tidak mau hanya mengutuk elit, seolah-olah masalah itu hanya datang dari elit. Tidak demikian. Ini masalah sosial-politik yang lebih luas sebagaimana di Amerika Serikat. Tidak mungkin Trump muncul tanpa perubahan nilai-nilai moral di masyarkat. Ini adalah proses individualiasi yang kurang bertanggung jawab dan salah satu proses – yang menurut saya – sekuler walau kadang-kadang dijalankan atas nama agama.

Apa yang Anda maksud dengan dewasa?

Cobaan yang dihadapi Indonesia bukan hanya pemilu, tapi lebih besar dari itu. Karena itu godaan politik dan sosialnya sangat besar. Hanya saja, sebagian besar masyarakat Indonesia menolak tawaran itu. Masyarakat Indonesia mengucapkan, “Terimakasih, tapi tidak. Kami mau menjalankan cita-cita yang berangkat dari nilai-nilai lebih luhur, jauh lebih dalam dibandingkan dengan semboyan-semboyan yang dilontarkan oleh orang-orang tertentu.” Karena itu,  masyarakat Indonesia telah membuktikan dirinya walaupun masih ada tantangan yang harus dihadapi secara terus-menerus

Kontribusi untuk menahan godaan itu datang dari mana?

Dari sinergi kebangsaan dan agama yang merupakan keistimewaan Indonesia. Di negeri ini, tradisi kebangsaan menerima nilai-nilai agama, terutama – saya mohon maaf kepada teman-teman Kristen, Hindu, dan Budha –  berasal dari Islam yang ditafsrikan kembali untuk dimuat dalam proyek kebangsaan. Sebagian orang mengaggap tradisi kebangsaan itu hanya semboyan saja. Menurut saya tidak demikian. Justru yang menarik adalah prosesnya, baik dari segi sosiologi, sejarah dan moral publik. Inilah kunci bagi kekuataan Indonesia menghadapi godaan dan cobaan yang juga dialami oleh sejumlah negara lain tapi tidak berhasil.

Apakah kita masih sedang berada di jalan itu?

Di jalan tentunya selalu saja ada batu krikil, selalu ada pengalaman baru. Artinya Indonesia sedang menghadapi tantangan baru. Ini bukan asal memuji. Semua yang saya sampaikan ini berasal dari diskusi saya dengan orang Indonesia seperti Zainal Abidin Bagir (Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadja Mada) dan tokoh masyarakat era tahun 1990-an seperti Cak Nur, Dawam Rahardjo, Ahmad Syafi’i Ma’arif termasuk Mohammad Natsir.

Saya juga sempat absen cukup lama berkunjung ke Indonesia setelah terbitnya buku Civil Islam pada tahun 2000. Karena setelah tahun 2000, saya banyak melakukan studi di negara-negara lain termasuk negara berpenduduk mayoritas muslim. Ketika itu, saya belum yakin seratus persen dengan apa yang saya anggap sebagai keistimewaan Indonesia. Tapi setelah saya mengamati negara-negara seperti Turki, Mesir dan Afganistan, apa yang pernah saya saksikan di Indonesia memang benar-benar istimewa.

Negeri ini pernah menghadapi krisis yang rumit seperti peristiwa 1965-1966. Pada dasawarsa 1970-an, banyak teman saya yang meyakinkan saya bahwa Indonesia tidak mungkin menjadi negara demokratis. Tidak mungkin ada gagasan demokratis lahir dari umat Islam. Pada waktu itu, saya hanya mengatakan: alon-alon wae (santai saja), lihat nanti.

Pada awal dasawarsa 1980-an, Pancasila memang paling banyak dibicarakan dan terjadi represi terhadap arus tertentu termasuk arus politik muslim. Walau demikian, pada masa itu mulai muncul kelas menengah baru, mulai lahir tokoh intelektual muslim yang menciptakan sesuatu di luar dugaan. Beberapa tahun setelah krisis 1998 yang berdampak luas itu, orang-orang mulai mengatakan Indonesia telah keluar dari cobaan besar dan kembali pada arus pokok. Arus pokok ini bukan datang belakangan tapi memang telah menjadi keistimewaan Indonesia, yaitu kebudayaan politik, moral, agama masyarakat Indonesia bersintesis, terus menerus berkembang, nilai-nilai Islam ditafsirkan kembali agar penerapannya lebih relevan.  Kebangsaan pun diberikan warna di luar dugaan, termasuk di luar dugaan Ben Anderson (Indonesianis dari Universitas Cornell Amerika Serikat). Karena Pak Ben menganggap nilai-nilai agama tidak pernah memberikan sumbangan terhadap pembentukan nasionalisme yang baik. Saya tidak setuju dengan pendapat beliau. Nyuwun sewu Pak Ben. Saya menghormati Pak Ben. Tapi beliau selalu kembali pada posisinya pada dasawarsa 1970-an bahwa Pancasila merupakan formula sekularis.

Anda sepertinya menaruh simpati kepada tokoh-tokoh Islam yang di era Orde Baru dianggap bermasalah. Apakah Anda melihat mereka tidak sebagaimana penilaian pada umumnya?

Memang begitu. Mohammad Natsir, misalnya, adalah sosok yang jauh lebih rumit dibandingkan penilaian banyak orang. Mengapa demikian? Salah satunya karena dia dipojokkan, dipenjara. Jadi kita harus berhati-hati dengan stereotip. Pak Natsir juga berbicara tentang sintetis Islam dan kebangsaan, tapi kita tidak tahu apa yang dipikirkannya di penghujung usianya. Itulah akibat dari marginalisasi yang beliau alami.[YS]

Tamat

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*