Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Kewarganegaraan Sesudah Pemilu 2019 (2)

in Studi Islam

Titik tolak gagasan kewargaan bukanlah hak, tapi pengakuan.

Robert W. Hefner. Foto: Gana Islamika

Dua atau tiga dekade silam, Indonesia mempunyai figur intelektual seperti Cak Nur, Gus Dur, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Amien Rais juga ketika itu dipandang sebagai figur intelektual. Tapi mengapa figur-figur yang muncul sekarang banyak yang terlalu politis?

Fenomena ini terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Bandingkan saja Barack Obama yang begitu intelektual dengan Donald Trump. Saya mohon maaf tapi ini memang betul. Bagaimana bisa sosok seperti Trump bisa naik (sebagai tokoh publik)? Karena adanya media sosial dan media massa. Jadi terjadi semacam populerisasi atau – istilah lain yang mirip- vulgarisasi proses politik supaya, misalnya, gagasan rumit dapat diterima lebih luas di masyarakat. Ini juga terjadi di Indonesia.

Jika bersandar pada definisi Barat, gagasan kewargaan umumnya bertumpu pada prinsip kesadaran terhadap hak. Apakah gagasan ini juga cocok diterapkan di Indonesia, khususnya umat Islamnya, mengingat di sini rata-rata masih berpikir kawula atau menurut istilah atropolog sangat patron-klien?

Pertama, Ini bukan masalah Islam dan Barat. Jika mau dibandingkan, gagasan hak itu lebih berakar dan lebih awal ditemukan dalam tradisi peradaban muslim daripada dalam pemikiran politik Barat.

Kedua, bagi saya, titik tolak kewargaan bukanlah hak. Tahap yang lebih awal dari kewargaan bukan hak, tapi pengakuan (recognition). Tahap pengakuan juga berkaitan dengan konsep yang sangat islami: penyaksian atau menjadi saksi. Artinya, hak kewargaan Anda dapat terjaga jika Anda diakui sebagai manusia atau sebagai warga negara Indonesia yang sama seperti orang lain.

Di Jawa, sepertinya gagasan itu dapat diungkapkan dengan istilah diwongke?

Ya benar, konsep itu ada di Jawa dan juga dalam tradisi sufi. Pengakuan sebagai sesama manusia bukan hanya lebih dahulu tapi juga lebih penting. Jika hak hanya dijamin lewat konstitusi tanpa ada pengakuan secara praktis sehari-hari seperti saya melihat Anda sesama warga negara dan menganggap Anda adalah bagian dari saya begitu juga sebaliknya, maka hak tidak mungkin dipenuhi secara praktis.

Sejumlah riset menyimpulkan gerakan intoleransi secara umum meningkat di Indonesia pascareformasi 1998. Memang kebebasan berpendapat lebih terjamin, namun di sisi lain ada peningkatan ekspresi kebencian dan permusahan. Menurut Anda, apakah ini fenomena biasa?

Ini tidak biasa. Tapi – sekali lagi – ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menekankan bahwa naiknya ekspresinya kebencian merupakan fenomena yang bertentangan dengan agama. Saya menekankan ini karena orang kerap menilainya terkait dengan agamisasi di Indonesia yang semakin mengeras. Bagi saya, ini bukan soal agama, bukan soal Islam atau Kristen. Saya mohon maaf kepada teman-teman saya yang beragama Kristen dan Hindu. Kalau ke Manado dan Bali, kita pun menemukan laskar di sana. Sebagian orang berpendapat bahwa ini adalah konsekuensi kebebasan yang terlalu liberal. Menurut saya, tidak sesedarhana itu.

Jadi, dibandingkan mengaggap masalah ini terjadi karena pengaruh agama, saya lebih memilih berpendapat bahwa ini mencerminkan pengaruh nilai-nilai sekuler yang justru bertentangan dengan agama tapi kadang ditafsirkan sebagai hal agamais. Maka terlihatlah kebencian Islam kepada Kristen, begitu juga sebaliknya. Padahal tidak demikian. Ini terjadi karena adanya politik yang melanggar batas sopan santun agama. Saya pikir ini yang perlu digarisbawahi di Indonesia.

Apa yang Anda maksud dengan sekuler dalam konteks ini?

Nilai-nilai yang kadang ditafsirkan sebagai agamais, tapi sebenarnya berasal dari keinginan pribadi seseorang. Ini ironi yang sangat menonojol. Orang menganggap kebencian dan polarisasi terjadi karena adanya peranan agama yang menguat. Tapi menurut saya tidak demikian. Ini menceriminkan proses politik yang menggunakan bahasa agama untuk kepentingan yang bertetangan dengan agama. Salah satu ciri dari proses itu adalah kembalinya individualisme. Memang ada sisi baiknya. Misalnya, saya adalah Kristen dan saya bertanggungjawab atas agama saya. Proses ini juga pernah terjadi ratusan tahun silam ketika naiknya protestanisme di Eropa Barat.

Tapi di sisi lain, ada juga orang-orang yang tidak begitu peduli pada ilmu agama yang benar-benar berakar pada khazanah keagamaan masing-masing, baik dalam tradisi Islam maupun Kristen. Orang-orang inilah yang mengendapankan tafsir mereka. Misalnya, mereka yang menilai hal ini yang harus diperjuangkan dibandingkan yang lain. Padahal ini hanyalah dampak dari persaingan politik yang intinya adalah sekuler, bukan agama.

Apakah Anda ingin mengatakan elit politik sekarang ini sebenarnya tidak memiliki pemahaman agama?

Saya tidak mau menggugat elit saja. Ini juga terjadi pada orang biasa. Di negara saya, misalnya, enam puluh persen pendukung Trump adalah orang biasa. Selain tidak begitu terdidik, yang lebih penting lagi adalah mereka tidak begitu peduli. Mereka hanya memandang hak mereka masing-masing: Ini hak saya sebagai seorang yang berdaulat. Inilah inti sekularisasi. Saya mengambil jarak dari tradisi yang dijalankan ribuan tahun atas nama saya dan hak saya sendiri untuk menjalankan agama saya sendiri. Memang ada baiknya. Akan tetapi dalam situasi politik,  ada saja orang yang berkepentingan  walau tidak menyangkut isu agama. Kepentingan mereka lebih menyangkut patronase atau kekuasaan. Proses inilah yang saya maksudkan sebagai sekularisasi walau sering digambarkan sebagai perjuangan agama.  [YS]

Bersambung…

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*