Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Syuaib (3): Peringatan-Peringatan

in Sejarah

Last updated on February 8th, 2020 12:01 pm

Ketika pemuka Madyan berkata kepada Nabi Syuaib, “Engkau harus kembali ke agama kami,” maknanya bukan berarti dia pernah menjadi penyembah berhala, melainkan mereka memintanya untuk diam, jangan mengganggu.

Foto ilustrasi: Free Bible Image

Setelah sebelumnya Nabi Syuaib memperingatkan kaumnya terkait transaksi yang tidak adil dan perilaku mereka yang merusak di muka bumi, kali ini dia memperingatikan mereka terkait ajakan mereka terhadap orang-orang yang beriman. Sebagaimana dikatakan di dalam Alquran:

“Dan janganlah kamu duduk di setiap jalan, menakut-nakuti dan menghalang-halangi yang beriman dari jalan Allah dan menginginkannya menyimpang. Dan ingatlah ketika dahulu kamu berjumlah sedikit, lalu Dia memperbanyak kamu, dan perhatikanlah bagaimana kesudahan para perusak.” (QS al-Araf [7]: 86)

Menurut Quraish Shihab, ayat ini menggambarkan tentang Kaum Madyan yang secara sungguh-sungguh menghalangi jalan kebaikan yang akan diambil oleh orang-orang yang menelusurinya. Selain itu, mereka juga digambarkan terus menerus menghalang-halangi siapa yang beriman kepada jalan Allah dan menginginkannya agar jalan itu menjadi “bengkok”, yakni dengan mencari-cari dalih atau berusaha mencari-cari kelemahannya untuk menanamkan keraguan terhadapnya.

Upaya yang mereka lakukan bertujuan untuk mengurangi jumlah orang-orang yang beriman, maka peringatan yang disampaikan oleh Syuaib selanjutnya adalah, “Dan ingatlah ketika dahulu kamu berjumlah sedikit, lalu Dia memperbanyak kamu.” Kalimat ini mengindikasikan bahwa dulunya Kaum Madyan berjumlah sedikit dan belum memiliki kemampuan sebesar sekarang.

Dengan demikian, mereka diberi peringatan agar jangan membalas nikmat yang mereka peroleh sekarang dengan kebalikannya, yaitu dengan melakukan usaha pengurangan terhadap orang-orang baik yang beriman, karena ini akan mengundang murka dan siksa Allah.

Kemudian untuk meyakinkan mereka tentang hal tersebut, nasihat di atas dilanjutkan dengan firman-Nya, “Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan para perusak.” Maksudnya adalah agar mereka mengambil pelajaran dan tidak mesti mengalami nasib serupa, yakni terkena murka dan siksa Allah.

Pelajaran yang dapat diambil dari kesudahan orang-orang durhaka, adalah bahwa mereka pada akhirnya akan punah, dan binasa, betapapun besarnya kekuasaan mereka. Walau mereka meninggalkan nama, tetapi itu nama yang buruk, sehingga mereka dikenang dalam keburukan dan kebejatan. Manusia hendaknya dapat mengambil pelajaran dari kesudahan mereka agar tidak mengalami nasib serupa.[1]

Setelah Nabi Syuaib memperingatkan mereka tentang dampak buruk kedurhakaan mereka, sambil mengajak mereka beriman, dia berkata:

“Dan jika ada segolongan dari kamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah hingga Allah memutus perkara antara kita dan Dia adalah sebaik-baik para hakim.” (QS al-Araf [7]: 87)

Ayat ini mengindikasikan, bahwa Kaum Madyan nantinya akan terbagi menjadi dua kelompok, yakni orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman. Dan Syuaib tampaknya sudah menduga, bahwa kaum lemah yang beriman akan ditindas oleh para pemuka yang durhaka.

Dari sini ajakan tabah dan sabar menjadi sangat penting lagi amat berguna, lebih-lebih dengan ajakan untuk menyerahkan putusan akhir kepada Allah SWT. Ini mengantar kaum beriman untuk tidak berputus asa, atau hidup dalam kegelisahan dan rasa takut.

Di sisi lain, hal itu baik juga bagi yang kafir karena dengan menyerahkan kepada Tuhan mereka tidak akan bertindak secara keliru, dan tidak juga mereka akan dianiaya, karena putusan Allah pastilah putusan yang haq.[2]

Ayat selanjutnya berkata:

“Dan pemuka-pemuka yang amat sombong dari kaumnya berkata, ‘Sungguh kami pasti mengusirmu hai Syuaib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami atau engkau harus kembali ke agama kami.’

“Dia menjawab, ‘Apakah walau kami tidak menyukai? Sungguh kami telah mengada-adakan kebohongan terhadap Allah jika kami kembali kepada agama kamu sesudah Allah menyelamatkan kami darinya. Dan tidak lah patut kami kembali ke dalamnya kecuali jika Allah Tuhan kami menghendaki.’

“‘Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah kami bertawakkal. Tuhan kami putuskanlah antara kami dan antara kaum kami dengan haq (adil) dan Engkaulah Pemberi putusan yang sebaik-baiknya.’.’’ (QS al-Araf [7]: 88-89)

Quraish Shihab menjelaskan, Kaum Nabi Syuaib tidak mampu menjawab apa yang beliau sampaikan, tidak ada dalih yang dapat mereka ucapkan, mereka juga tidak melaksanakan anjuran beliau untuk bersabar dan menanti putusan Allah.

Maka sebagaimana kebiasaan orang-orang terpojok, pemuka-pemuka yang amat sombong itu berkata, “Sungguh kami pasti mengusirmu hai Syuaib.” Demikian mereka memanggil nabi mereka dengan namanya tanpa panggilan penghormatan.

Bukan hanya hendak mengusir Syuaib, mereka juga hendak mengusir orang-orang yang beriman, kecuali jika mereka mau kembali ke agama lama. Menurut Quraish Shihab, makna “kembali kepada agama kami” bukan berarti menjadi penganut agama lama, tapi lebih kepada permintaan agar Syuaib diam dan membiarkan mereka menjalankan apa yang mereka mau.

Argumentasi dari Quraish Shihab tentang hal ini adalah, bahwa, sebagaimana keadaan para nabi sebelum dan sesudahnya, mereka tidak pernah ada yang dalam keadaan kufur/menyembah berhala.

Maka jawaban Syuaib, jika diperjelas menggunakan keterangan tambahan akan menjadi seperti ini, “Apakah kamu akan mengusir atau mengembalikan kami ke keadaan semula, walau kami tidak menyukai keadaan itu dan tidak menyukai dan merestui apa yang kamu kerjakan?

“Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang besar terhadap Allah jika kami kembali, walau sesaat kepada agama yang kamu anut atau diam merestui apa yang kamu kerjakan, apalagi sesudah Allah menyelamatkan kami darinya dengan memberi kami hidayat menuju kebenaran.

“Dan karena itu tidaklah patut kami kembali terpuruk masuk ke dalamnya kecuali jika Allah Tuhan kami menghendaki, tetapi mustahil Dia merestui kekufuran atau kedurhakaan, Allah begitu mulia, sehingga tidak akan menarik nikmat yang telah dianugerahkan-Nya tanpa sebab yang wajar.”

Lebih lanjut Nabi Syuaib berkata, “Kami mengaitkan pernyataan kami itu dengan kehendak Allah, karena pengetahuan kami terbatas, kami tidak tahu masa depan sedang pengetahuan Tuhan kami meliputi sejak dahulu hingga kini segala sesuatu.

“Kepada Allah saja kami bertawakkal, yakni berserah diri setelah berupaya semaksimal mungkin. Dia akan memilih yang terbaik buat kami setelah berserah diri kepada Allah.”

Selanjutnya Nabi Syuaib bersama pengikutnya memohon, tanpa menggunaikan kata “wahai” untuk mengisyaratkan kedekatan mereka kepada Allah. Mereka berkata, “Tuhan kami putuskan lah antara kami dan antara kaum kami dengan haq, yakni adil, dan Engkaulah Pemberi putusan yang sebaik-baiknya.”[3] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Tafsir Alquran Surat al-Araf Ayat 86 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 169-170.

[2] Tafsir Alquran Surat al-Araf Ayat 87 dalam Quraish Shihab, Ibid., hlm 171-172.

[3] Tafsir Alquran Surat al-Araf Ayat 88-89 dalam Quraish Shihab, Ibid., hlm 173-174.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*