Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Syuaib (2): Kaum Pedagang

in Sejarah

Last updated on February 7th, 2020 01:57 pm

Berdasarkan pemaparan Alquran, Kaum Madyan adalah kelompok masyarakat kuat yang memiliki profesi sebagai pedagang. Namun mereka melakukannya dengan cara mengurangi hak orang lain dan bertransaksi dengan tidak adil.

Lukisan karya Claes Corneliszoon Moeyaert (1592–1655) tentang Kaum Madyan.

Di dalam Alquran, Nabi Syuaib berkata kepada kaumnya:

“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada barang-barangnya dan janganlah kamu membuat kejahatan di bumi dengan menjadi perusak-perusak; Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.” (QS asy-Syuara [26]: 181-184)

Kata tabkhasu (kamu kurangi) dalam ayat di atas terambil dari kata bahks yang berarti kekurangan akibat kecurangan. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Asyur, mendefinisikan kata ini sebagai pengurangan dalam bentuk mencela, atau memperburuk sehingga tidak disenangi, atau penipuan dalam nilai, atau kecurangan dalam timbangan dan takaran dengan melebihkan atau mengurangi.

Jika Anda berkata di depan umum, “Barang Anda buruk,” untuk tujuan menurunkan harganya padahal kualitas barangnya tidak demikian, maka Anda dinilai telah mengurangi hak orang lain, dalam hal ini si penjual. Demikianlah penjelasan dari Quraish Shihab.[1]

Sementara itu, mengenai takaran dan timbangan yang lurus, penjelasannya terdapat dalam tafsir ayat lain yang ayatnya berbunyi:

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang lurus. Itulah yang baik dan lebih bagus akibatnya.” (QS al-Isra [17]: 35)

Kata al-qisthas atau al-qusthas dalam ayat di atas ada yang memahaminya dalam arti neraca, dan ada juga yang memahaminya sebagai adil. Kata ini merupakan serapan dari bahasa asing – dalam hal ini Romawi – yang masuk berakulturasi dalam perbendaharaan bahasa Arab yang digunakan Alquran. Demikianlah pendapat Mujahid yang ditemukan dalam shahih al-Bukhari.

Ibnu Asyur berpendapat, kedua makna yang dikemukakan di atas dapat dipertemukan, karena untuk mewujudkan keadilan Anda memerlukan tolok ukur yang pasti (neraca/timbangan), dan sebaliknya bila Anda menggunakan timbangan yang benar dan baik, pasti akan lahir keadilan.

Hanya saja jika kita memahami ayat ini ditujukan kepada kaum Muslimin, maka memahaminya sebagai timbangan lebih tepat dan sesuai, sedang dalam surat al-Anam – karena ia adalah sindiran kepada kaum musyrikin, maka di sana digunakan kata bil qisth yang berarti adil untuk mengisyaratkan bahwa transaksi yang mereka lakukan bukanlah yang bersifat adil.[2]

Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keburukan yang telah dilakukan oleh Kaum Madyan adalah mengurangi hak orang lain dan melakukan transaksi yang tidak adil.

Selanjutnya mengenai kalimat “Janganlah kamu membuat kejahatan di bumi dengan menjadi perusak-perusak,” Quraish Shihab menjelaskan bahwa kalimat ini merupakan larangan untuk melakukan perusakan dan aneka kejahatan, apapun bentuknya, baik pembunuhan, perampokan, perzinahan, pelanggaran hak asasi manusia, dan baik material maupun immaterial, dan lain-lain sebagainya.

Dengan demikian, Nabi Syuaib menuntun mereka untuk menghindari sekian banyak pelanggaran, bermula dari pelanggaran tertentu yang telah lumrah mereka lakukan, yaitu mengurangi takaran dan timbangan, kemudian disusul dengan larangan yang bersifat lebih luas dan mencakup larangan yang lalu (kepada umat terdahulu).

Larangan-larangan yang lalu yaitu mencakup tidak mengurangi/mengambil hak orang lain, baik dalam bentuk mengurangi timbangan maupun mencuri harta mereka, atau menipu, merampok, atau mengurangi hak yang seharusnya diterima seseorang.

Selanjutnya beliau melarang dengan larangan menyeluruh sehingga mencakup segala macam kejahatan, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, orang lain, binatang, maupun lingkungan.[3]

Setelah menasihati kaumnya dalam hal-hal khusus yang menonjol menyangkut kedurhakaan mereka, Nabi Syuaib menasihati secara umum dengan menyatakan, “Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Menurut Quraish Shihab, kalimat tersebut merupakan peringatan untuk bertakwa kepada Allah untuk menghindari siksa-Nya dengan cara melaksanakan semua perintah-Nya sepanjang kemampuan dan menjauhi semua larangan-Nya.

Selain itu, dalam kalimat di atas terdapat kata al-jibillah yang seakar dengan kata al-jabal yakni gunung. Al-Biqai memahaminya sebagai umat atau kelompok yang kuat dan kokoh seperti kekokohan al-jabal yakni gunung.

Dengan demikian, ini merupakan peringatan sebagaimana yang terjadi terhadap kaum terdahulu, yang begitu kokoh dan kuat, namun mereka pun tetap dipunahkan karena telah melanggar perintah-Nya.[4] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Tafsir Alquran Surat asy-Syuara Ayat 181-184 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 10 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 129.

[2] Tafsir Alquran Surat al-Isra Ayat 35 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 7 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 462-463.

[3] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 10, Op.Cit., hlm 129-130.

[4] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*