Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Syuaib (1): Kaum Madyan

in Sejarah

Last updated on February 5th, 2020 12:50 pm

Ibnu Humaid meriwayatkan, “Setiap kali Rasulullah menyebut nama Syuaib, beliau seringkali berkata, ‘Dia adalah pengkhotbahnya para nabi!’ Beliau mengatakan ini karena keindahan cara Syuaib (dalam berdakwah).”

Lukisan karya James Tissot (1836–1902) yang menggambarkan pertemuan Nabi Syuaib dan Nabi Musa di pengasingan. Sumber: Public Domain

Nama Nabi Syuaib AS di dalam Alquran disebutkan sebanyak 11 kali. Di dalam surat al-Ankabut, disebutkan tiga nama nabi yang diutus kepada kaumnya karena mereka telah melakukan keburukan di muka bumi. Nabi-nabi tersebut adalah Nuh, Luth, dan Syuaib.

Ahli tafsir Alquran Ibrahim bin Umar bin Hasan ar-Ribat bin Ali bin Abi Bakar asy-Syafii al-Biqai (wafat 885 H / 1480 M), atau sering disebut al-Biqai saja, mengatakan, bahwa kisah tentang pengutusan Nuh, Luth, dan Syuaib dalam surat al-Ankabut konteksnya adalah uraian tentang kebinasaan para pendurhaka, serta ujian orang-orang saleh yang tidak memiliki penolong dan pendamping dalam kehidupan di dunia ini, baik karena keterasingannya di satu tempat setelah dia berhijrah, maupun karena dianggap remeh oleh kaumnya karena yang percaya kepada mereka hanya sedikit.

Nabi Syuaib adalah salah seorang nabi yang jumlah pengikutnya sedikit. Jumlahnya disebut dengan rahth, yakni sejumlah orang yang kurang dari sepuluh, atau dari tujuh hingga sepuluh. Bahkan ada yang berpendapat jumlahnya tidak sampai tujuh walau sedikitnya adalah tiga orang.

Berapapun jumlahnya, yang jelas pengikut beliau sangat sedikit. Di samping itu, beliau adalah keturunan Nabi Ibrahim karena itu uraian kisahnya di dalam surat al-Ankabut disinggung setelah uraian tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Luth.[1]

Di dalam Taurat, sebagaimana disampaikan oleh Tabari, dikatakan bahwa silsilah Syuaib adalah Syuaib bin Sayfun bin Anga bin Thabit bin Madyan bin Ibrahim. Namun sejarawan Ibnu Ishak tidak sependapat, menurutnya silsilahnya adalah Syuaib bin Mikail. Mikail adalah salah satu keturunan dari Madyan.[2] Sementara itu, menurut Quraish Shihab, di dalam Kitab Perjanjian Lama beliau dinamai Rehuel (Keluaran 2: 18) dan juga Yitro (Keluaran 3: 1), yang mana di sana dia disebut sebagai mertua dari Nabi Musa AS.[3]

Ibnu Humaid meriwayatkan sebuah hadis tentang Syuaib, “Setiap kali Rasulullah menyebut nama Syuaib, beliau seringkali berkata, ‘Dia adalah pengkhotbahnya para nabi!’ Beliau mengatakan ini karena keindahan cara Syuaib yang terus menerus (menyampaikan) kepada umatnya tentang permasalahan yang dipersoalkan.”[4]

Lalu siapakah yang dimaksud dengan Madyan, sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran, “Dan (Kami telah mengutus) kepada Madyan saudara mereka Syuaib.” (QS al-Araf [7]: 85)? Quraish Shihab di dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan Madyan pada mulanya adalah nama putra Nabi Ibrahim dari istri beliau yang ketiga yang bernama Qathura, yang beliau kawini pada akhir usia beliau.

Madyan kemudian kawin dengan putri Nabi Luth. Selanjutnya kata Madyan dipahami dalam arti satu suku keturunan Madyan putra Nabi Ibrahim. Suku Madyan tinggal di pantai laut Merah sebelah tenggara gurun Sinai, yakni antara Hijaz, tepatnya di Tabuk di Saudi Arabia kini dan Teluk Aqabah. Menurut sebagian sejarawan, populasi mereka sekitar 25.000 orang.[5]

Sementara itu, Ibnu Katsir dalam Qisas Al-Anbiya mengatakan orang-orang Madyan adalah suku Arab yang tinggal di negara Ma’an, yang sekarang berada di sebagian wilayah Suriah Raya. Mereka adalah orang-orang serakah yang tidak beriman kepada Allah dan menjalani kehidupan yang buruk.  

Mereka memberikan ukuran yang dikurangi, memuji barang-barang mereka melebihi nilai yang sebenarnya, dan menyembunyikan cacatnya. Mereka berbohong kepada pembeli mereka, sehingga bisa dikatakan telah melakukan penipuan.[6]

Mengenai kecurangan yang mereka lakukan, Alquran berkata:

“Dan (Kami telah mengutus) kepada Madyan saudara mereka Syuaib. Dia berkata: Wahai kaumku sembahlah Allah tidak ada bagi kamu satu tuhan pun selain-Nya. Sungguh telah datang kepada kamu bukti yang nyata dari Tuhan kamu; maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan jangan kamu kurangi bagi manusia barang-barang mereka dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah perbaikannya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu orang-orang mukmin.” (QS al-Araf [7]: 85).

Quraish Shihab mengatakan, dari ayat di atas terlihat bahwa Nabi Syuaib menekankan tiga hal pokok — setelah Tauhid — yang harus menjadi perhatian kaumnya, yaitu: Pertama, memelihara hubungan harmonis khususnya dalam interaksi ekonomi dan keuangan. Kedua, memelihara sistem dan kemaslahatan masyarakat umum. Dan, ketiga, kebebasan beragama.[7] (PH)

Bersambung ke:

Catatan Kaki:


[1] Tafsir Alquran Surat al-Ankabut Ayat 85 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 10 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 490-491.

[2] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 143.

[3] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 168; Lihat juga “Keluaran 3:1”, dari laman https://alkitab.sabda.org/verse.php?book=keluaran&chapter=3&verse=1, diakses 3 Februari 2020.

[4] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 144-145.

[5] Tafsir Alquran Surat al-Araf Ayat 85 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5, Ibid.

[6] Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah (Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 11, Prophet Shuaib.

[7] Tafsir Alquran Surat al-Araf Ayat 85 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5, Op.Cit., hlm 168-169.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*