Mozaik Peradaban Islam

Islam di Lombok (1): Pulau Seribu Masjid

in Islam Nusantara

Last updated on May 31st, 2018 01:34 pm

“Ada dua jenis praktik agama Islam di Lombok, yaitu Waktu Lima dan Wetu Telu. Islam Waktu Lima mempraktikan rukun Islam, sedangkan Islam Wetu Telu tidak. Islam Wetu Telu masih sangat kuat berpegang teguh pada adat-istiadat nenek moyang, misalnya mereka shalat dzuhur hanya sekali pada hari Jum’at, atau sembahyang pada hari Kamis sore, atau sembahyang subuh pada dua hari raya.”

–O–

Lombok merupakan pulau terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Lombok sendiri terbagi dalam 5 bagian yaitu, Kotamadya Mataram, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kabupaten Lombok Barat.[1] Lombok memiliki julukan “Pulau Seribu Masjid” karena saking banyaknya masjid di sana. Di dalam satu kelurahan, bisa terdapat delapan masjid. Antara masjid satu dengan masjid lainnya hanya dipisahkan sebuah jalan atau tiga sampai empat rumah. Berdasarkan catatan Kantor Wilayah Departemen Agama, NTB, jumlah masjid di Lombok pada tahun 2001 telah mencapai 4.500 buah. Ini belum termasuk jumlah musholla. Bila dibandingkan dengan luas wilayah NTB yang mencapai 20.153 meter persegi, maka, rata-rata, setiap 500 meter terdapat masjid.[2]

Hampir 90% penduduk Lombok beragama Islam.[3] Suku Sasak adalah penduduk asli Lombok, dan saat ini merupakan kelompok mayoritas dengan jumlah populasi sebesar 90% dari seluruh suku-suku lainnya. Kelompok suku lainnya terdiri dari suku Bali, Sumbawa, Jawa, Arab, dan China yang merupakan pendatang. Di antara mereka, suku mayoritas kedua terbesar adalah suku Bali yang jumlah populasinya mencapai 3%. Orang-orang Bali rata-rata tinggal di Lombok Barat dan Lombok Tengah, dan mereka memiliki tanah sendiri. Kepemilikan tanah orang Bali bermula ketika orang Bali menganeksasi Lombok pada abad ke-17. Sebagian besar orang Bali yang tinggal di Lombok merupakan keturunan dari para penakluk yang datang dari Karangsem.[4]

 

Tuan Guru

Di Lombok, dari sejak abad ke-20, tokoh yang memainkan peran sentral dalam tradisi keagamaannya adalah Tuan Guru, atau sering disingkat dengan TG. Oleh masyarakat Lombok mereka dianggap sebagai warathat al-anbiyā’i sekaligus sebagai penafsir yang sah dari ajaran agama Islam, sehingga apa yang difatwakan atau dilakukan Tuan Guru dijadikan marāji’ oleh umat Muslim Sasak. Kebenaran yang diterima dari Tuan Guru merupakan kebenaran otoritatif yang yang memiliki pengaruh yang kuat bagi para pengikutnya. Apabila dibandingkan dengan tradisi Islam di pulau Jawa, Tuan Guru posisinya mirip dengan ulama yang mempunyai pengaruh kuat secara kultural.[5] Varian lainnya dari TG adalah TGH (Tuan Guru Haji) atau TGKH (Tuan Guru Kyai Haji), mengenai hal ini akan kita bahas kemudian.

Adapun ajaran arus utama Islam yang didakwahkan oleh para Tuan Guru di Lombok biasanya berasal dari organisasi keagamaan mayoritas di Pulau Lombok yaitu Nahdlatul Wathan (NW) dan Nahdlatul ‘Ulama’ (NU). Para Tuan Guru baik dari kalangan NW maupun NU (secara mayoritas) mengusung orthodoksi teologi al-Asy’ari, Fiqh Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali yang berciri khas moderat. Hasil penelitian Faizah menunjukkan bahwa dalam masalah teologi, mayoritas masyarakat Sasak mengikuti pandangan aliran Asy’ariyah yang dinisbatkan pada pendirinya Abū al-Hasan al-‘Asy’arī yang memahami bahwa sifat-sifat khabariyah yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an bersifat metaforis dan memerlukan penafsiran.[6]

 

Praktik Ajaran Islam: Waktu Lima dan Wetu Telu

Agama Islam di Lombok dalam praktiknya ada dua tipe, yaitu praktik Islam Waktu Lima (W5) dan Islam Wetu Telu (W3). Islam Waktu Lima dalam praktik keagamaan sesuai dengan ajaran Islam puritan. Kelompok ini disebut juga sebagai kelompok Muslim ortodoks. Menggambarkan Muslim ortodoks sebagai ―Waktu Lima (biasanya dihaluskan sebagai ―Lima Jalan), merupakan indikasi eksplisit bahwa kelompok Muslim ini, mengakui kewajiban untuk memenuhi lima rukun Islam yang diawali dengan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan menunaikan ibadah haji ke Makkah.[7]

Masyarakat Muslim Wetu Telu di Lombok. Photo: Sportourism

Sedang kelompok Muslim Wetu Telu dalam praktik kehidupan sehari-hari, masih sangat kuat berpegang teguh pada adat-istiadat nenek moyang. Pelaksanaan keagamaan hanyalah dikerjakan oleh kiai dan penghulu mereka. Dalam masyarakat Wetu Telu, masih tersisa pengaruh ajaran pribumi dan agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan dipeliharanya sarana peribadatan yang disebut Pedewaq sebagai tempat pemujaan, meskipun mereka mengucapkan dua kalimah syahadat menurut ketentuan Islam.[8]

Pelaksanaan ritual kelompok Wetu Telu ini bervariasi, misalnya shalat dzuhur hanya sekali pada hari Jum’at, atau sembahyang pada hari Kamis sore, atau sembahyang subuh pada dua hari raya. Shalat yang diikuti oleh jama’ah di masjid hanya shalat dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Puasa Ramadhan dilakukan hanya tiga hari yaitu awal, tengah, dan akhir bulan.29[9]

Apa yang menyebabkan praktik agama Islam di Lombok dapat terbagi menjadi dua jenis? Dan di manakah peran Tuan Guru dalam menyingkapi perbedaan ini? Pembahasan mengenai hal ini akan dibahas dalam artikel selanjutnya. (PH)

Bersambung ke:

Islam di Lombok (2): Masuknya Islam

Catatan Kaki:

[1] “Tentang Lombok”, dari laman http://visitlomboksumbawa.com/tentang-lombok, diakses 30 Mei 2018.

[2] Adhar Hakim, “Merenda Perdamaian di Pulau Seribu Masjid”, dari laman https://www.liputan6.com/news/read/11670/merenda-perdamaian-di-pulau-seribu-masjid, diakses 30 Mei 2018.

[3] “To Know The History Of Islam At Bayan Beleq Mosque”, dari laman http://www.lombokindonesia.org/history-islam-bayan-beleq-mosque/, diakses 30 Mei 2018.

[4] Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm 6, dalam Suparman Jayadi, Rasionalisasi Tindakan Sosial Masyarakat Sasak terhadap Tradisi Perang Topat, (Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2016), hlm 2.

[5] Mohamad Iwan Fitriani, Kepemimpinan Kharismatis-Transformatif Tuan Guru Dalam Perubahan Sosial Masyarakat Sasak-Lombok Melalui Pendidikan (Jurnal Al-Tahrir, Vol. 16, No. 1 Mei 2016), hlm 179

[6] Faizah, Gerakan Salafi di Lombok (Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. 11 No. 4, Oktober – Desember, 2012), hlm 67, dalam Mohamad Iwan Fitriani, Ibid., hlm 180.

[7] John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, ter. Imron Rosyidi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm 100, dalam Asnawi, Respons Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam (Jurnal Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005), hlm 10.

[8] Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram (Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidi, 1998), hlm 138, dalam Asnawi, Loc.Cit.

[9] Fathurrahman Zakaria, Ibid., hlm 139, dalam Asnawi, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*