“Pemberontakan Tuan Guru tidak mudah dipadamkan oleh Belanda dan berlangsung terus sampai tahun 1894. Pemberontakan itu berpusat di Praya (Lombok Tengah), dan pucuk pimpinannya adalah Guru Bangkol, seorang bangsawan setempat, yang sekaligus salah seorang guru tarekat Naqsyabandiyah.”
–O–
Orang Jawa, Makasar, Bugis, Bali, Belanda dan Jepang berhasil menguasai Lombok lebih kurang satu millennium. Kerajaan Hindu-Majapahit dari Jawa Timur, masuk ke Lombok pada abad ke-7 dan memperkenalkan Hindhu-Budhisme ke kalangan orang Sasak. Setelah dinasti Majapahit jatuh, agama Islam dibawa untuk pertama kalinya oleh para raja Jawa Muslim pada abad ke-13 ke kalangan orang Lombok dari Barat laut. Islam segera menyatu dengan ajaran sufisme Jawa yang penuh mistisisme.[1]
Orang-orang Makassar tiba di Lombok Timur pada abad ke-16 dan berhasil menguasai Selaparang (kerajaan orang Sasak asli), mereka berhasil mendakwahkan Islam Sunni, meskipun kebanyakan dari mereka masih mencampurkan Islam dengan kepercayaan lokal yang non-Islami. Pendudukan selanjutnya datang dari Kerajaan Bali Karangasem, mereka menduduki pulau Lombok Barat sekitar abad ke-17, dan kemudian mengkonsolidasikan kekuasaannya terhadap seluruh Lombok setelah mengalahkan kerajaan Makasar pada tahun 1740.[2]
Kekalahan ini mendorong para bangsawan Sasak meminta campur tangan militer Belanda untuk mengusir kerajaan Bali. Belanda kemudian berhasil menaklukan dan mengusir kerajaan Bali dari Lombok, namun akibatnya Belanda malahan menjadi penjajah baru di Lombok. Namun, di sisi lain kehadiran Belanda di Lombok juga memberikan beberapa dampak positif. Belanda memperkenalkan kapal uap yang memungkinkan kalangan Muslim Lombok untuk dapat menunaikan ibadah haji pada tahun-tahun awal abad ke-19, dan kebanyakan dan mereka tidak langsung kembali ke Lombok namun menetap beberapa tahun untuk belajar Islam di Mekah.[3] Sebagaimana telah dibahas pada artikel sebelumnya, para pelajar yang naik haji inilah yang kemudian menjadi Tuan Guru di Lombok.
Pada awalnya, Belanda memanfaatkan perbedaan antara Islam Wetu Telu dan Waktu Lima. Mereka mempertajam jurang perbedaan di antara dua kelompok ini dan membentur-benturkannya.[4] Kemudian setelah kepulangan para Tuan Guru dari Mekah, mereka memimpin gerakan dakwah yang membuat perbedaan di antara Wetu Telu dan Waktu Lima menjadi terpolarisasi. Jika kelompok pertama, memberikan loyalitas mereka kepada para bangsawan Sasak sebagai pemimpin tradisional dan kuat mempertahankan adat lokal, maka kelompok kedua mengikuti para Tuan Guru sebagai pemimpin keagamaan kharismatik mereka.[5]
Di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat Sasak mengalami kontrol dan penindasan yang lebih keji daripada penguasa-penguasa sebelumnya. Para pemimpin Islam, seperti Tuan Guru, yang telah melakukan dakwah untuk menyiarkan ajaran-ajaran Islam di kalangan Wetu Telu sebelum kedatangan Belanda, akhirnya menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan ideologis untuk melawan penjajah Belanda yang dianggap kafir.[6]
Sepanjang pemerintahan kolonial Belanda, Tuan Guru mengalihkan gerakan dakwah mereka menjadi pemberontakan-pemberontakan lokal yang bernuansa keagamaan untuk menghalau Belanda. Gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh para Tuan Guru memperoleh pengikut yang banyak. Di antara Tuan Guru yang terlibat langsung dalam pemberontakan itu adalah TGH Ali Batu dari Sakra Lombok Timur, TGH Muhammad Sidik dari Karang Kelok Lombok Barat, dan Guru Bangkol dari Praya Lombok Tengah. Tokoh-tokoh tersebut merupakan mursyid Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah dan Syaikh Abdul Karim Banten[7] yang mengembangkan tarekat Qâdiriyah dan Naqsyabandiyah. Mereka merupakan tokoh-tokoh kuat yang mengobarkan semangat anti penjajahan dan penindasan dari pihak manapun,[8] sehingga gerakan anti kolonial dan anti penindasan menjadi suatu gerakan yang membangkitkan semangat berperang melawan penjajah dan penindasan.[9]
Mengenai perlawanan melawan penjajahan dan penindasan ini, Martin Van Bruinessen menjelaskan bahwa pada tahun 1891 terjadi pemberontakan dari kaum Muslimin suku Sasak melawan orang-orang Bali yang menguasai sebagian besar pulau itu. Berbeda dengan pemberontakan-pemberontakan sebelumnya, pemberontakan kali ini tidak mudah dipadamkan dan berlangsung terus sampai 1894. Pemberontakan itu berpusat di Praya (Lombok Tengah) dan pucuk pimpinannya adalah Guru Bangkol, seorang bangsawan setempat, yang sekaligus salah seorang guru tarekat Naqsyabandiyah.[10]
Gerakan yang dipimpin oleh pemimpin tarekat cukup mengkhawatirkan pihak penjajah Belanda, ketika terjadi pemberontakan di Banten tahun 1888 M. Pada waktu itu, Engelenberg seorang Kontrolir Belanda, sedang berada di Banten. Dari peristiwa itu tumbuh kecurigaan yang kuat dalam dirinya terhadap gerakan tarekat. Ia memperhatikan bahwa para pemimpin pemberontakan Sasak, ternyata ada kaitannya dengan tarekat.[11]
Pemerintah Belanda mempunyai kesimpulan bahwa tarekat mengancam kekuasaannya, akibatnya pihak Belanda berusaha secara aktif mencari informasi mengenai kegiatan-kegiatan tarekat. Di Praya umpamanya, TGH Makmun – salah seorang pemimpin tarekat Qâdiriyah wa Naqsyabandiyah — tidak luput dari incaran. Namun, tatkala penyelidik Belanda tiba di depan kampungnya yang bernama Karang Lebah, mereka hanya melewatinya saja dengan berkali-kali bolak-balik. Akhirnya, mereka menjadi bosan karena kelelahan dan tidak dapat menemui TGH Makmun.[12] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm 9-10, dalam Agus Dedi Putrawan, Dekarismatisasi Tuan Guru di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (In Right, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia: Vol. 5, No. 2, Mei 2014), hlm 295.
[2] Ibid.
[3] Erni Budiwanti Ibid., hlm 9-11, dalam Agus Dedi Putrawan, Ibid., hlm 295, 287.
[4] Mohamad Iwan Fitriani, Kepemimpinan Kharismatis-Transformatif Tuan Guru Dalam Perubahan Sosial Masyarakat Sasak-Lombok Melalui Pendidikan (Jurnal Al-Tahrir, Vol. 16, No. 1 Mei 2016), hlm 186.
[5] Asnawi, Respons Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam (Jurnal Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005), hlm 14.
[6] Ibid., hlm 12
[7] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning dan Tarekat (Bandung : Mizan, 1995), hlm 217, dalam Asnawi, Ibid., hlm 12.
[8] Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram (Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidi, 1998), hlm 144, dalam Asnawi, Ibid., hlm 12-13.
[9] Inggela Gerdin, The Unknown Balinese: Land Labour and Inequality in Lombok (Sweden: Vasastadents Bokbinderi, 1982), hlm 38, dalam Asnawi, Ibid., hlm 13.
[10] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), hlm 28, dalam Asnawi, Ibid.
[11] Ibid.
[12] Penjelasan ini disampaikan oleh TGH Muhammad Najamuddin Makmun salah seorang putera TGH Makmun pada tanggal 15-1-2002. TGH Muhammad Najamuddin Makmun juga mengembangkan tarekat Qadîriyah dan Naqsyabandiyah di pulau Lombok, dalam Asnawi, Ibid.