Dilihat dari sisi manapun, orang tua Armstrong adalah jenis orang kebanyakan, mereka suka bersolek, ramah kepada siapapun, dan tidak terlalu alim. Hingga suatu waktu Armstrong memutuskan untuk masuk biara, tentu saja ini sangat mengejutkan bagi mereka.
Carol McNicoll, teman sekolah Armstrong sama-sama tidak kalah terkejutnya, dia bercerita, “Karen sangat pintar, dengan kemampuan berpikirnya yang mandiri. Dia adalah orang terakhir di dunia yang saya pikirkan akan mengambil keputusan itu (masuk biara). Pada satu titik dia pernah berangan-angan untuk menikahi Tuhan, (sementara) saya berpikir Dia tidak eksis. Para gadis di sana (sekolah) memiliki pandangan bahwa biarawati adalah sesuatu yang aneh, dan kami mentertawakan mereka. Tentu saja Karen tidak berpikir seperti itu, namun dia tidak mengatakan apapun pada teman-temannya.”
Armstrong dipersiapkan oleh orang tuanya untuk masuk Universitas Oxford, atas keputusan Armstrong mereka sangat kecewa. “Tapi dunia ini tidak memuaskan saya. Saya (adalah tipe orang yang) sangat pemalu dan tidak berbunga-bunga seperti gadis-gadis lainnya. Mungkin saya akan mendapatkan kepercayaan diri lebih tinggi jika saya pergi ke Oxford dan mendapati diri saya berkembang secara intelektual, tapi itu bukan sesuatu yang akan berjalan untuk saya, dan saya memiliki visi tentang hidup yang lebih intens,” ujar Armstrong.
Armstrong memasuki perkumpulan Holy Child Jesus pada bulan September 1962, pukul 5 sore. Terhadap suasana biara tersebut, Lindsey Armstrong (adik perempuan Karen Armstrong) menggambarkannya sebagai tempat yang mencekam. Armstrong mengatakan bahwa dia mengalami saat-saat terburuk ketika sistem lama masih berlaku, sementara reformasi Vatican II[1] baru terjadi setelah dia meninggalkan biara.
Pengalamannya selama di biara menjadi berita utama di media cetak setelah dia menerbitkan buku Through The Narrow Gate pada tahun 1981. Namun itu semua merupakan situasi sejarah yang tidak dapat dihindarkan, dan Armstrong dapat memakluminya, walaupun tetap saja aturan-aturan di dalam biara tersebut membuat dia ingin pergi. Meskipun demikian, pada tahun 1965 Armstrong masih tetap berkomitmen dengan keputusannya menjadi Suster Martha,[2] dan pada tahun yang sama Armstrong mulai berlatih untuk menjadi seorang guru.
Pada tahun 1967, sebagai biarawati dia mendapat perintah untuk sekolah di Oxford. Di Oxford dia mengambil jurusan Bahasa Inggris. Pada saat itu Armstrong sudah sakit-sakitan, dia mengalami gangguan makan dan berbagai penyakit lainnya yang tidak dapat dijelaskan. Selain itu dia mengalami gangguan psikologis yang berat, baginya kehidupan menjadi paradoks, di siang hari dia menemukan bakat alaminya menjadi seorang siswa yang mempertanyakan segala sesuatu, dan sementara di malam hari dia mesti kembali ke biara dengan ketaatan mutlak. Pada tahun 1969, dalam keadaan fisik dan mental yang buruk, dia meninggalkan biara namun tetap tinggal di universitas untuk menyelesaikan gelar sarjananya.
“Sistem biara pada dasarnya adalah sistem pelatihan yang tidak bijaksana dan merusak orang,” katanya sekarang. “Tapi kehidupan masa muda itu keras. Ini adalah kegelisahan yang amat sangat, dan (saya bertanya-tanya) apa yang akan saya lakukan (apabila) di luar?”
Penulis dan penyiar Libby Purves adalah seorang lulusan Oxford, dia bercerita mengenai pengalamannya bersama Armstrong sewaktu kuliah, “bagi saya ini memalukan, tak seorang pun dari kita benar-benar berteman dengannya. Meskipun saya sendiri pernah menjadi gadis biara, tapi berteman dengan seorang biarawati rasanya aneh, dan ada semacam dinding pemisah di antara dia dan murid lainnya karena dia dilabeli dengan kebiasaan (sebagai biarawati) dan dia sangat pemalu. Kenangan yang paling diingat (tentang Armstrong) adalah (dia) canggung, malu seperti tikus kecil (perumpamaan), dan saya menyangka bahwa hampir tidak mungkin bagi kita remaja yang sombong, muda, dan kurang santun untuk dapat berteman baik dengannya.”
Namun, terlepas dari itu, Purves juga mengatakan bahwa Armstrong terlihat jelas sangat pandai, dan tulisannya mencerminkan latihan kedisiplinan yang dia dapat dari biara. “Dia sangat baik dalam melihat inti dari sesuatu. Tahun-tahun kehidupan di biara dapat membuatnya fokus kepada hal yang penting saja dan menyingkirkan hal-hal yang tidak perlu. Mereka (biarawati) menjadi tahan terhadap seluruh gaya hidup yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, biarawati tidak belajar mengenai kegenitan (terhadap lawan jenis), dan itu bukanlah sesuatu yang buruk.”
Saat masuk biara, Armstrong mengatakan bahwa dia merasa “seperti pecandu yang menderita gejala ketagihan karena kurangnya literatur”. Di Oxford, dia menemukan kembali dunianya yang hilang, misalnya, di sana dia sangat menyukai novel Iris Murdoch. Selain itu dia juga mendapatkan kesempatan-kesempatan lain yang tidak didapat selama di biara: literatur yang amat banyak, berbicara dengan komunitas lain, dan tentu saja yang terpenting adalah dapat menekuni suatu ilmu dengan keleluasaan. (PH)
Bersambung ke:
Karen Armstrong (4): “Saya Membenci Agama dan Itulah Inti Dari Buku Saya”
Sebelumnya:
Karen Armstrong (2): Dianggap Pengkhianat Katolik, diterima di Amerika Serikat
Di bawah ini adalah video wawancara Karen Armstrong dengan Desi Anwar sewaktu dia berkunjung ke Indonesia atas undangan penerbit buku Mizan:
Copyright MetroTV
Catatan:
Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan bebas dari artikel: Nicholas Wroe, “Among the believers”, dari laman https://www.theguardian.com/books/2004/apr/10/society.philosophy, diakses 26 Oktober 2017. Adapun informasi lain yang didapat selain dari artikel tersebut dicantumkan dalam catatan kaki.
Catatan Kaki:
[1] Reformasi yang dilakukan oleh Vatican, bertujuan untuk beradaptasi dengan dunia modern.
[2] Salah satu tokoh yang dikisahkan dalam Alkitab.