Kaum Quraisy (11): Abrahah dan Percaturan Politik Dunia (2)

in Studi Islam

Last updated on May 13th, 2019 06:29 am

Atas perintah dari Bizantium, raja Habasyah yang bernama An-Najasy
mengirim pasukan yang berkekuatan tujuh puluh ribu personel ke Yaman.
Pasukan tersebut dikomandani salah seorang yang bernama Aryath, dan salah seorang dari anak buahnya ialah Abrahah. Inilah untuk pertama kalinya langkah kaki Abrahah menapaki panggung sejarah dunia.

Gambar ilustrasi. Sumber:
http://rosulullah-habiballah.blogspot.com

 

Habasyah atau kadang dikenal juga dengan nama Abyssinia, saat ini dikenal dengan nama Ethiopia. Letaknya berada sebelah utara pantai barat Afrika, tepatnya di bibir Teluk Aden, atau tepat berseberangan dengan Yaman. Pada masa itu Habasyah adalah salah satu kerajaan Kristen yang cukup berpengaruh. Namun secara otoritas, mereka mengakui tunduk pada Bizantium.

Sebelum adanya perintah dari Bizantium untuk membantu saudara mereka sesama Kristen yang dianiaya Dzu Nuwas di Yaman, mereka lebih memilih menjaga jarak dari konflik dengan tetangga mereka. Keengganan mereka untuk ikut campur besar kemungkinan karena merasa khawatir bahwa Persia akan membantu Yaman. Di samping itu, mereka juga sudah pernah dikalahkan oleh Persia. Bahkan kerajaan induk mereka, Romawi, tak urung menjadi sasaran amukan Bangsa Persia.

Akan tetapi, setelah datang perintah dari Kaisar Bizantium, mereka menemukan alasan ideologis untuk membela agama dan juga alasan politis untuk memukul balik Persia. Raja Habasyah – yang ketika itu bernama Najasyi – akhirnya menyetujui membantu Daus Dzu Tsalabah, orang Kristen Yaman yang berhasil lolos dari pembantaian Dzu Nuwas. Menurut Tabari, Najasyi mengirim pasukan yang berkekuatan tujuh puluh ribu personel ke Yaman.[1]

Pasukan tersebut dipimpin oleh seorang jenderal yang bernama Aryath. Dalam ekspedisi ini, Aryath membawa salah seorang dari komandan andalannya yang bernama Abrahah Abu Yaksum. Inilah untuk pertama kalinya langkah kaki Abrahah menapaki panggung sejarah dunia. Aryath dan pasukannya termasuk Daus Dzu Tsalabah mengarungi lautan hingga tiba di pesisir Yaman.[2]

Lalu sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Hisyam, Dzu Nuwas dan kabilah-kabilah Yaman yang setia kepadanya datang menghadang Daus dengan dukungan pasukan dari Habasyah. Ketika kedua belah pihak telah bertemu, Dzu Nuwas dan pasukannya terpukul mundur. Ketika Dzu Nuwas mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan pasukannya, dia mengarahkan kudanya ke arah laut, dan berjalan di laut dari air yang dangkal ke air yang dalam hingga tenggelam. Itulah akhir kesudahan Dzu Nuwas. Kemudian Aryath memasuki Yaman dan menguasainya.[3]

Dengan takluknya Yaman oleh pasukan dari Habasyah, berkurang sudah kekuatan Persia di Asia. secara otomatis, Bizantium melalui proxy-nya, berhasil mengembangkan sayap kekuatannya hingga menyentuh tepian Selat Hormuz. Mendengar kekalahan Yaman oleh pasukan dari Habasyah, Persia agaknya tidak terlalu ambil pusing. Dengan kekuatan angkatan bersenjata yang dimilikinya, Kisra Anusharwan sebenarnya dengan sangat mudah mengambil kembali kendali atas Yaman. Hanya saja, saat ini masalah Yaman masih belum masuk dalam prioritasnya.

Setelah berhasil menjadi penguasa Yaman, Aryath menyatakan tunduk kepada Raja Najasyi. Sehingga Aryath ketika itu bertindak sebagai gubernur Habasyah di Yaman. Tapi tak lama setelah dia berkuasa, terjadi kemelut kepemimpinan di Yaman. Abrahah yang diperintahkan Aryath memerintah wilayah Sanaa, tidak mengirim upeti kepada Raja Najasyi. Hal ini kemudian melahirkan kecurigaan pada diri Aryath tentang kesetiaan Abrahah. Maka terjadilah perpecahan di antara mereka.[4]

Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, “Setelah itu, Aryath menetap di Yaman hingga beberapa tahun dan menjadi penguasa Yaman di sana. Kemudian Abrahah berusaha merebut kekuasaan Habasyah di Yaman dari tangan Aryath. Akibatnya orang-orang Habasyah di Yaman terpecah menjadi dua kubu. Orang-orang Habasyah bergabung kepada salah satu kubu dari dua kubu, dan masing-masing kubu menyerang kubu lainnya…”[5]

Ketika kedua kubu saling berhadap-hadapan, Abrahah menulis surat kepada Aryath, “Engkau jangan mempertemukan sesama orang-orang Habasyah, karena hal ini membuat mereka musnah. Datanglah kepadaku, aku pasti datang kepadamu. Siapa di antara kita berdua yang mampu mengalahkan lawannya, maka pasukannya bergabung kepadanya.” Aryath membalas surat Abrahah, “Engkau benar.”[6]

Lalu sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Hisyam, “Kemudian Abrahah yang berpostur besar dan beragama Nasrani datang ke tempat Aryath, dan pada saat yang sama Aryath yang tampan, besar, dan jangkung datang ke tempat Abrahah dengan memegang tombak kecil. Di belakang Abrahah terdapat budaknya, Ataudah yang mencegah kemungkinan Abrahah melarikan diri. Aryath mengangkat tombak kecilnya, dan memukulkannya kepada Abrahah dengan sasaran ubun-ubunnya. Tombak kecil Aryath mengenai dahi Abrahah. Akibatnya, kedua alis Abrahah, hidungnya, matanya, dan kedua bibirnya robek. Karena itulah, Abrahah di namakan Abrahah Al-Asyram (robek). Namun dari belakang. Ataudah, budak Abrahah, menyerang Aryath dan berhasil membunuhnya. Setelah itu, pasukan Aryath bergabung kepada Abrahah, semua orang-orang Habasyah di Yaman bersatu di bawah kepemimpinannya, dan Abrahah membayar “uang darah” atas kematian Aryath.”[7] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wal-mulk) VOLUME V, The Sasanids, the Byzantines, the Lakhmids, and Yemen, translated and annotated by C. E. Bosworth, (University of Manchester: State University of New York Press, 1999), hal. 206-207

[2] Lihat, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Jilid I, (Beirut: Danjl Fikr, 1994), hal. 37

[3] Ibid

[4] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wal-mulk) VOLUME V, Op Cit, hal. 212

[5] Lihat, Lihat, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam,Op Cit, hal. 40

[6] Ibid

[7] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*