Sekitar awal abad kelima Masehi, seorang anak keturunan Fihr (Quraisy) yang bernama Qushay bin Kilab, didaulat menjadi penguasa Kota Makkah. Dia juga berhasil menjadikan dirinya sebagai pemegang kekuasan politik dan spiritual sekaligus. Dengan adanya kekuasaan sebesar ini, Qushay memiliki keleluasaan menata kembali sistem pemerintahan Kota Makkah agar kompatibel dengan kebutuhan masyarakat dunia masa itu.
Berkat apa yang dimulai oleh Adnan dan keturunannya, Kota Makkah berkembang menjadi pusat perdagangan dan ekonomi paling besar di Jazirah Arab. Sebagaimana dikatakan oleh Syed Ameer Ali, “Makkah adalah pusat perdagangan yang telah membedakan bangsa Arab pada satu waktu dengan bangsa timur lainnya. Dari Makkah, kafilah-kafilah (Quraisy) membawa hasil kekayaan Yaman ke wilayah kekuasaan Bizantium (Romawi), Persia dan India. Dan, dari Suriah (syam) mereka membawa bahan pakaian dan sutra ke kota-kota Persia.”[1]
Dari apa yang disampaikan Syed Ameer Ali di atas, bisa dikatakan bahwa ketika itu bukan hanya Makkah yang menjadi pusat penting perdagangan dunia. Tapi kafilah-kafilah Arab, yang tidak lain adalah anak-anak keturunan Adnan – seperti An-Nadhar dan akhirnya Fihr (Quraisy) – menjadi simpul paling penting dalam peta politik, ekonomi, dan perdagangan global kala itu.
Seiring berjalannya waktu, Kabah dan Kaum Quraisy, menjadi identitas terpenting Kota Makkah. Kedua identitas ini menjadi magnet kuat yang menarik perhatian setiap manusia dan raja-raja yang berkuasa di muka bumi.
Di Kota Makkah sendiri, dominasi Kaum Quraisy, atau anak keturunan Fihr makin tak tertahankan. Hingga memasuki abad ke 5 Masehi, seorang anak keturunan Fihr yang bernama Qushay bin Kilab berhasil menikahi putra Hulail yang ketika itu menjabat kepala Suku Kahtan (Bani Khuza’ah), sekaligus juga sebagai penguasa Kota Makkah. Setelah Hulail wafat, masyarakat Makkah tidak memiliki lagi pilihan selain mengangkat Qushay sebagai pemimpin mereka.[2]
Agaknya ada penentangan dari sebagian pihak Suku Kahtan dengan diangkatnya Qushay sebagai pemimpin. Hal ini mengakibatkan terjadinya perang antara Kaum Quraisy dengan Suku Kahtan. Peperangan ini berakhir dengan kemenangan Kaum Quraisy yang dipimpin oleh Qushay. Dia kemudian mengusir orang-orang Kahtan dari Kota Makkah, sehingga nyaris menjadikan kota tersebut sebagai miliki Kaum Qurasy semata.[3]
Sejak saat itu, Qushay bin Kilab menjadi satu-satunya penguasa di Kota Makkah dan juga seluruh kawasan di Hijaz. Dia juga berhasil menjadikan dirinya sebagai pemegang kekuasan politik dan spiritual sekaligus. Dengan adanya kekuasaan mutlak di tangannya, Qushay memiliki keleluasaan menata kembali sistem pemerintahan Kota Makkah agar kompatibel dengan kebutuhan masyaraka dunia masa itu.
Qushay mensterilkan kawasan di sekitar Kabah. Tujuannya adalah untuk melindungi Kabah dari aktifitas amoral yang bisa merusak kesuciannya. Dan melindungi bangunan suci tersebut dari ganggunan kelompok lain yang ingin menguasainya, dia kemudian memanggil orang-orang Quraisy yang sebelumnya bermukim terpencar untuk mengisi kawasan di sekitar Kabah. Mereka kemudian membuat pemukiman yang membentuk formasi laksana benteng yang kuat. Qushay membersihkan semua sisi-sisi Kabah agar aktifitas tawaf bisa dilangsungkan tanpa gangguan. Dengan demikian Kabah menjadi kawasan ekslusif sebagai pusat aktifitas spiritual.[4]
Adapun guna mengelola aktifitas lainnya di Kota Makkah, Qushay membangun sistem pemerintahan yang tersusun secara rapih layaknya kota modern lainnya di dunia. Dia membuat sebuah istana tidak jauh dari Kabah yang dinamakan Darul Azlam (rumah majelis). Istana ini terbagi menjadi dua bagian, yang satu adalah tempat tinggal Qushay dan keluarga intinya, dan yang satu lagi adalah sebuah ruang besar yang dijadikan sebagai balai pertemuan semua kepala-kepala suku di Kota Makkah. Balai pertemuan ini dikenal juga dengan nama Darun Nadwah.[5]
Di Darun Nadwah inilah Qushay bin Kilab bermusyawarah dengan para pemimpin suku lainnya untuk merancang sistem pemerintahan terbaik bagi Makkah. O. Hashem mengandaikan sistem yang dibangun oleh Qushay pada masa itu sangat mirip dengan sistem republik yang ada di Romawi. Meskipun Qushay memiliki kekuasaan yang demikian besar di antara pemuka klan yang lain, tapi dia mendorong adanya musyawarah sebelum memutuskan satu perkara di antara mereka. Di Darun Nadwah inilah mereka menetapkan hukum yang akan dipatuhi bersama, menentukan perang dan damai, membagi tugas atau divisi pekerjaan di kota tersebut, dan membuat pengadilan bila ada masalah ataupun konflik di antara mereka.[6]
Menurut Syed Ameer Ali, sejak pertama kali didirikan oleh Qushay, Darul Azlam menjadi pusat aktifitas sosial dan politik paling penting di Kota Makkah. Di tempat ini, tak seorang pun yang berusia di bawah empat puluh tahun diizinkan masuk, kecuali keturunan Qushay. Di tempat ini dilaksanakan segala hal yang berhubungan dengan kepentingan bersama, termasuk akan berangkat perang, mereka menerima liwa atau panji-panji dari angan Qushay sendiri. Qushay sendiri yang mengikatkan selembar kain putih di ujung tombak dan menyerahkannya atau mengirimkannya melalui seorang anak lelakinya ke kepada Suku Quraisy. Upacara ini kemudian dikenal dengan nama Akd al liwa. Pada masa selanjutnya upacara ini menjadi tradisi yang terus dijaga bahkan hingga masuknya era Imperium Arab Islam.[7] (AL)
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, (Calcutta: S.K. Lahiri & Co, 1902), hal. liii
[2] Ibid, hal. 3
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Lihat, O.Hashem, Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail, (Jakarta: Ufuk Press, 2007), hal. 37
[7] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit