Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (4)

in Studi Islam

Last updated on March 18th, 2019 05:18 pm

Humanisme Renaisans adalah “ibu kandung” darwinisme, kapitalisme, dan kolonialisme. Nalar pemikiran-pemikiran inilah, yang memantik impuls orang Eropa untuk menggelar perbudakan dan mengobarkan kekerasan di jagat raya.”

—Ο—

Ekses-ekses

Penuhanan manusia meniscayakan kekuasaan dan kekayaan dan kehancuran manusia itu sendiri. Yang berlaku adalah hukum: lebih besar kekuasaan dan kekayaan, lebih layak manusia untuk hidup (baca: teori evolusi). Humanisme, rasisme, kapitalisme, dan kolonialisme berjalin-berkelindan membentuk sejarah modern yang sarat tragedi dan ironi.[1]

Jean-paul Sartre dalam kata pengantarnya untuk buku Franz Fanon, The Wretched of the Earth, menjelaskan: “Tidak ada yang lebih konsisten dibanding humanisme rasis, sebab orang Eropa hanya mampu menjadi seseorang dengan jalan menciptakan budak-budak dan monster-monster.”[2] Humanisme Renaisans memantik impuls orang Eropa untuk menggelar perbudakan dan mengobarkan kekerasan di jagat raya.

Jules Harmand, “pejuang” Perancis abad ke-19, dengan jelas mempertautkan asumsi keunggulan ras (rasisme) dan kehendak menguasai dunia lain (kolonialisme).

Maka, adalah penting untuk menerima, sebagai suatu prinsip dan titik tolak, kenyataan bahwa ada suatu hierarki ras dan peradaban, dan bahwa kita termasuk ras dan peradaban yang unggul… legitimasi-dasar penaklukan atas rakyat pribumi merupakan kepastian dari keunggulan kita … martabat kita terletak pada kualitas itu, dan melandasi hak kita untuk memerintah golongan umat manusia lainnya. Kekuatan material itu tidak lain dari sarana untuk mencapai tujuan tersebut.”[3]

Keunggulan moral, rasial, dan intelektual manusia Renaisans, secara ironis melahirkan kolonialisme dan imperialisme. Seperti dikatakan oleh Harmand, untuk merealisasikan dan menjustifikasi keunggulan tersebut, maka kekuatan material adalah syarat yang mutlak. Tidaklah aneh apabila kemudian kapitalisme Adam Smith bisa secara cepat menduduki mainstream masa itu.[4]

Kapitalisme berpusat pada kompetisi bebas dalam sistem produksi dan distribusi kekayaan, menggantikan “pengekangan” Abad Pertengahan. Kapitalisme dalam pengertian ini, menurut Arnold Toynbee, ialah soko-guru dari revolusi industrial. Perkembangan “ilmu ekonomi”, mengikuti Arnold Toynbee, lebih banyak berperan membenarkan upaya perluasan imperialisme.[5]

Di Inggris, tanah kelahiran imperialisme, ilmu ekonomi berkembang melintasi tiga fase. Pertama ialah fase Adam Smith dengan An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations (1776). Dalam karya ini, Smith menyelidiki sumber-sumber kekayaan dan berupaya mengganti “pembatasan lapangan produksi” dengan kebebasan industrial. “Tujuan besar dari sistem ekonomi-politik setiap negara adalah menambah kekayaan dan kekuasaan, “ ungkap Smith. Karya Adam Smith lantas menandai malam pertama revolusi industrial.

Fase kedua ditandai oleh terbitnya Essay on the Principle of Population. (1798) oleh Thomas Malthus. Tulisan ini merupakan respons Malthus atas revolusi yang sedang melaju dengan tempo yang amat tinggi tersebut. Di saat Smith memusatkan perhatiannya pada produksi, Malthus mengarahkan penelitiannya pada populasi. Menurutnya, populasi cenderung berkembang lebih cepat daripada persediaan makanan. Maka itu, perang dan penyakit yang akan menyeleksi kelebihan populasi ini. Gagasan Malthus ini mengilhami Charles Darwin melahirkan teori evolusi yang bersandar pada asumsi konflik dan perjuangan untuk hidup.

Tahap ketiga ditengarai oleh terbitnya karya John Stuart Mill yang berjudul sama dengan buku David Ricardo (1817), Principles of Political Economy (1848). Sebagai ahli ekonomi-politik yang berpengaruh, Mill mengungkapkan betapa kapitalisme (dengan dua pilarnya: kompetisi dan kebebasan industrial) membenarkan Inggris untuk melakukan penjajahan di India Barat. Tulisnya: “Koloni-koloni India Barat kita, misalnya, tidak dapat dianggap sebagai negeri-negeri dengan modal (Inggris: capital) produktif mereka sendiri …. (melainkan lebih tepat) sebagai tempat di mana Inggris merasa cocok untuk menjalankan produksi gula, kopi, dan beberapa komoditi tropis lainnya.”[6]

Sejak diterbitkannya buku Charles Darwin, The Origin of Species (1859),[7] gagasan kompetisi bernaung di bawah hukum struggle for life. Darwinisme dan “Smithisme” adalah satu dari sekian banyak parasitisme pemikiran yang sering kita jumpai dalam sejarah Barat. Maka itu, tak heran bila Darwinisme kemudian ditetapkan sebagai hukum yang absolut. Dan usaha untuk mengandalkan kompetisi dan mengurangi dampak eksesifnya dipahami sebagai menentang “kodrat alam.”

Apa yang saya katakan ini tampak-nyata dari berbagai pendapat mengenai kemutlakan “mekanisme pasar”. Pasar adalah kata-kunci sistemik untuk membinasakan individu. Di pasar, individu tidak bisa memberontak. Barang-barang dipaksakan untuk diterima, dengan harga-harga yang sudah ditetapkan. Pemberontakan hanyalah tindakan kerdil, sepele, abnormal, dan harus diabaikan.

Gejala inilah yang mengantarkan terjadinya pemassaan (massifikasi) kebudayaan. Di dalamnya terselip asumsi akan adanya sebuah jaringan berjangkauan-luas yang menebar simbol, nilai, harga, dan piranti-piranti kebudayaan lainnya. Karena itu, istilah kebudayaan massa muncul secara paralel dengan fenomena pasar (market), pabrik, dan arus informasi yang merembes  ke semua pelosok.[8]

Setelah era David Ricardo, kompetisi sepenuhnya diyakini sebagai hukum universal. Dari “hukum universal” itu semua resep praktis diturunkan dan ekonomi pasar dikumandangkan. Revolusi industrial pun lalu mendapatkan pengukuhan alamiahnya. Keganasan pertarungan memperebutkan asset dan modal semata-mata dianggap sebagai growing pains kemajuan dalam koridor evolusionisme. (MK)

Bersambung ke:

Kematian Manusia: Sebuah Karikatur  (5)

Sebelumnya :

Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (3)

Catatan kaki:

[1] Salah seorang pemikir yang gigih mengemukakan jalinan ontologis dan teleologis dari keempat tendensi modern ini ialah Edward W. Said. Entah dalam orientalism (Vintage Books, New York, 1979) maupun dalam Culture and Imperialism  (Alfred A. Knoff, New York, 1993), Said mencoba memaparkan secara berani dan imajinatif bagaimana keempat ekses tersebut merajuti kebudayaan (Barat) modern.

[2] Pengantar Jean-Paul Sartre untuk Franz Fanon, The Wretched of the Earth, terjemahan Constance Farrington, New York, Grove, 1968, hlm. 26.

[3] Dikutip dari Imperialism yang diedit oleh Philip D. Curtin, New York, Walker, 1971, hlm. 294-295. Pemberian italic dari saya.

[4] Peter L. Berger, The Capitalist Revolution: Fifty propositions About Prosperity, Equality, and Liberty, Basic Books, 1986.

[5] Arnold Toynbee, 1884 Lectures on The Industrial Revolution in England, sumber dari Internet.

[6] John Stuart Mill, Principles of Political Economy, suntingan J.M. Robson, Jilid III, Toronto, University of Toronto Press, hlm. 693.

[7] Judul lengkap karya Darwin tersebut ialah: On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for life (Ihwal asal-usul berbagai spesies secara seleksi alam, atau pemeliharaan ras-ras yang dikehendaki dalam perjuangan hidup).

[8] Jean-Chistophe Agnew, Worlds Apart: The Market and The Theatre in Anglo- American Thought, 1550-1750, New York, Cambridge University Press.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*