Kesultanan Malaka (5): Puncak Kejayaan (1)

in Sejarah

Last updated on March 11th, 2019 06:15 am

Pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah, Kesultanan Malaka mencapai puncak kejayaannya. Pencapaian ini tidak lepas dari peran sosok bernama Tun Perak. Dialah yang meracik fundamen kedaulatan Malaka, sehingga bisa berdiri menjadi kekuatan yang disegani di perairan internasional.


Gambar ilustrasi. Sumber: kanzunqalam.com


Raja Kassim atau Sultan Muzaffar Syah, diangkat sebagai Sultan pada tahun 1446 M. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Malaka secara resmi menjadikan Islam sebagai agama negara. Pada masa ini, Malaka tidak hanya aktif mengundang guru-guru dan ulama dari berbagai negeri, tapi juga mereka mulai mengirimkan para da’i untuk menyebarkan Islam ke berbagai daerah, mulai dari Jawa, Kalimantan, hingga Filipina.

Pada masa pemerintahan Muzaffar Syah inilah muncul orang kuat dalam pemerintahan yang dikenal sebagai Tun Perak. Dia adalah putra dari seorang bendahara negara pada masa pemerintahan Raja Ibrahim. Menurut tradisi, tidak hanya jabatan sultan yang diwariskan, tapi juga jabatan tinggi pemerintahan lainnya. Dengan demikian, setelah wafat ayahnya, Tun Perak adalah orang yang berhak atas jabatan bendahara negara. Hanya saja, dikarenakan ayahnya Tun Perak mengabdi pada Sultan Ibarahim, maka jabatan itupun dialihkan kepada Tun Ali, yang merupakan orang kepercayaan Sultan Muzaffar Syah. Dan demikianlah, Tun Perak harus kembali merangkak dari bawah untuk mengambil hak dan kedudukannya.[1]

Awalnya dia dipercaya memimpin sejumlah armada untuk menaklukkan tentara Siam, dan dia berhasil mengemban amanat tersebut dengan baik. Tentara Siam berhasil dipukul mundur, dan Tun Perak mendapat kenaikan pangkat yang luat biasa. Lambat laun, dia menjadi sangat berpengaruh, hingga menyaingi popularitas Tun Ali. Terjadilah gesekan antara kedua orang kuat ini, sehingga mengakibatkan keguncangan dalam istana. Melihat hal ini, sultan kemudian memberi solusi. Dia menikahkan Tun Ali dengan saudari kandung Tun Perak. Tanpa disangka, pernikahan ini ternyata membuahkan hasil yang baik. Hubungan kekerabatan di antara kedua orang kuat ini, melahirkan kerjasama yang apik antar keduanya.[2]

Lama kelamaan, akhirnya Tun Ali pun rela untuk melepaskan jabatan bendahara negara dan menyerahkannya pada Tun Perak. Sejak saat itu, pengaruh Tun Perak makin tak terbendung. Pengaruhnya makin luas – tidak hanya sebatas mengurusi kas negara – dia diduga juga bertindak sebagai perdana menteri. Dia yang mengatur kapan dan dengan siapa Malaka akan berperang atau berdamai. Bahkan, pada masa selanjutnya, dia juga yang menentukan siapa yang layak diangkat sebagai putra mahkota. [3]

Menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana, Tun Perak adalah orang dibalik layar dalam suksesi tiga sultan setelah Muzaffar Syah. Tun Perak adalah seorang yang ambisius dan haus kekuasaan. Tapi dia pun memahami, bahwa dia tidak memiliki dasar legitimasi untuk menjadi sultan. Maka dia memilih jalan sebagai “king maker”. Dia menampilkan sultan-sultan muda agar mudah dipengaruhi, dan bergantung sepenuhnya pada nasehatnya.[4]

Meski demikian, menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana, Tun Perak lah sosok yang berhasil membawa Kesultanan Malaka mencapai puncak kejayaannya. Dikatakan, bahwa Tun Perak adalah seorang ahli strategi yang mumpuni. Keahlian ini digunakannya untuk memastikan dominasi Kesultanan Malaka di jalur pelayaran internasional, daripada melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah. Oleh sebab itu, orientasi perang Kesultanan Malaka lebih pada upaya menaklukkan kerajaan-kerajaan di sepanjang jalur Selat Malaka. Sebab bila kota-kota pelabuhan di sekitar Selat Malaka bisa ditundukkan, secara otomatis Kesultanan Malaka menjadi satu-satunya penguasa di jalur laut internasional tersebut. Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat akan terjamin, dan kejayaan Kesultanan Malaka dengan sendirinya akan menyusul.[5]

Maka demikianlah, segera Tun Perak menggerakkan armada perang Malaka ke Timur untuk menundukkan Muar, Bengkalis, Kepulauan Karimun, pulau Bintan, dan Johor. Demikian juga dengan kota-kota pelabuhan di wilayah timur pulau Sumatera, tak lepas dari cengkaramannya. Tercatat kota-kota pelabuhan seperti Aru/Barumun, Rokan, Siak, Kampar, dan Indragiri ditundukkan oleh armada perang Kesultanan Malaka. Boleh dikatakan, pada masa ini, hampir seluruh kota pelabuhan di pantai timur Pulau Sumatera telah masuk dalam kekuasaan Malaka, kecuali Palembang di ujung selatan, dan Pasai di ujung utara.[6]

Sebagai catatan, salah satu terobosan besar yang dilakukan oleh Kesultanan Malaka, adalah pembuatan satu ordonansi laut atau hukum laut internasional. Sebagaimana dikatakan James Reddie, dalam An Historical view of the law of Maritime Commerce, hukum laut yang dimiliki oleh Kesulatanan Malaka ini menjadi salah satu hukum laut tertua yang diakui secara internasional oleh masyarakat dunia masa itu. Catatan mengenai hukum ini, ditulis oleh Sir Stamford (Raffles). Dimana disebutkan, bahwa hukum ini dibuat pada masa Sultan Muhammad Syah.[7]

Di dalam hukum tersebut, dikatakan bahwa hukum laut merupakan hukum independen yang terpisah dengan hukum darat. Dan ditegaskan pula, bahwa hukum laut dan hukum darat tidak boleh saling mengganggu. Apapun yang terjadi di laut, akan tetap di laut, dan diselesaikan dengan hukumnya sendiri. Semua urusan ini dikendalikan oleh para nahkoda. Untuk itu, maka para nahkota, yang merupakan subjek utama hukum laut ini, pada masa itu dijuluki sebagai “Raja di Laut”.[8]  

Agaknya disebabkan hal inilah kemudian Tun Perak lebih memfokuskan sistem keamanan laut daripada darat. Karena wilayah darat, sebenarnya relatif aman, dan sudah sepenuhnya dikuasai oleh Kesultanan Malaka. Jalur laut internasional yang merupakan urat nadi kehidupan Malaka, adalah jauh lebih penting dari apapun. Di tempat ini semua anasir bergerak sangat dinamis. Bisa berdampak positif, tapi juga bisa berdampak negatif bagi Kesultanan Malaka. Maka untuk memastikannya, Tun Perak berusaha menundukkan semua kota-kota pelabuhan sekitar. Selain untuk mengukuhkan dominasinya di jalur laut internasional tersebut, dia juga ingin memastikan tegakkan hukum laut ini, agar kedaulatan bersama bisa dijaga. Dan benar saja, sejarah mencatat, bahwa pada masa inilah Kesultanan Malaka mencapai puncak kejayaannya. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Muzaffar Shah of Malacca, https://www.revolvy.com/page/Muzaffar-Shah-of-Malacca, diakses 4 Februari 2019

[2] Ibid

[3] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LkiS, 2005, hal. 150

[4] Ibid

[5] Ibid. hal. 151

[6] Ibid

[7] Lihat, James Reddie, An Historical view of the law of maritime commerce, London, W. Blackwood and sons, 1841, hal. 483

[8]First of all, Patih Harun and Patih Elias assembled Nakhoda Zainal, Nakhoda Dewa and Nakhoda Ishak, for the purpose of consulting and advising relative to the usages at sea, and of compiling , in conformity thereto, a code of Undang-Undang, or institutions. After they had consulted together, and collected the laws, they presented them to Datuk Bendahara, in the kingdom of Melaka, who laid them at the feet of the illustrious Muhammad Shah; whereupon the ruler said – I grant the request of the Bendahara, and establish these laws and institutions for your government and that of your posterity. When you administer these laws at sea, they shall not be afterwards interfered with on shore. Henceforth let the laws of the sea be carried into effect at sea, in like manner as those of the land are carried into effect on land; and let them not interfere with each other; for you (addressing himself to the nakhodas) are as rajas (‘king’) at sea, and I confer authority on you accordingly.” Lihat, Ibid, hal. 484

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*