Di era pemerintahan Sultan Mahmud Syah, Malaka layaknya jantung kehidupan ekonomi, sosial dan politik di kepulauan Nusantara. Ia memompa peredaran ilmu, agama, budaya, hingga komoditi. Sehingga gugusan pulau-pulau di nusantara ini hidup layaknya satu tubuh.
Pada tahun 1488 M, Sultan Alauddin Riayat Syah wafat. Ketika itu usianya masih 30 tahun. Dia digantikan oleh putranya yang masih berusia sekitar 11 tahun bernama Mahmud Syah. Di era Mahmud Syah, Kesultanan Malaka masih bertengger di puncak kejayaannya. Pengaruh mereka demikian bersinar, hingga terasa ke seluruh kepulauan Nusantara. Lewat pengaruh inilah Islam dan bahasa Melayu yang menjadi identitas khas Malaka, secara perlahan diadopsi menjadi identitas pemersatu di Nusantara. Setiap kerajaan umumnya bisa berbahasa Melayu, dan sudah menganut agama Islam.[1]
Kaum Alawiyin[2] yang menjadi ulama-ulama di Malaka, dengan cerdik menggunakan pengaruh Malaka untuk mengembangkan Islam ke seluruh pelosok. Syiar agama menjadi lebih mudah, karena masyarakat umumnya mengenal bahasa Melayu. Dan yang terpenting, kaum Alawiyin ini juga sejak sebelumnya sudah diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat Nusantara. Melalui jejaring inilah Islam menyebar dengan sangat pesat di akhir abad ke 15.[3]
Di pulau Jawa, anak keturunan Alawiyin ini demikian dihormati masyarakat. Mereka dikenal sebagai Wali Songo. Melalui dakwah damai yang mereka bawa, Islam berhasil mendapat sambutan yang luas. Masyarakat mulai dari ningrat hingga rakyat biasa berbondong-bondong mendalami agama ini.[4]
Karena kecakapan dan jaringan mereka yang sangat luas, kaum Alawiyin ini dipercaya oleh para raja di Nusantara menjadi syahbandar, seorang diplomat ekonomi yang bertugas mengatur gerak perdagangan antara kerajaan setempat dengan para importir. Tak ayal, pelabuhan-pelabuhan yang ada di tiap pulau kala itu selain berfungsi sebagai urat nadi ekonomi, juga menjadi simpul yang mengikat pulau-pulau di Nusantara.[5]
Kaum Alawiyin ini adalah orang-orang yang terbuka dan adaptif. Dengan ilmu dan keutamaan yang dimiliki, mereka dengan tangkas berhasil memanjat strata sosial di tengah masyarakat. Para raja, menawarkan persaudaraan dan menikahkan putri-putri mereka dengan para ulama ini. Mereka tidak menganut superioritas ras, sekalipun mereka adalah anak keturunan Rasulullah Saw. Dengan senang hati, mereka menjalin ikatan kekeluargaan dengan masyarakat setempat. Maka Islam pun berhasil menyusup masuk ke relung terdalam ranah sosial kehidupan di Nusantara.[6]
Melalui mereka ini, kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara terikat tidak hanya secara politis, tapi juga secara sosial dan geneologis. Bersama-sama, mereka melahirkan sebuah warna sosiologis Nusantara yang sama sekali baru. Warna ini mengikat secara solid rasa kebersamaan masyarakat yang secara kasat mata terpisahkan oleh lautan ini.[7]
Pada masa ini, Malaka layaknya jantung kepulauan nusantara. Ia memompa peredaran ilmu, agama, budaya, hingga komoditi.[8] Sehingga gugusan pulau-pulau di nusantara ini hidup layaknya satu tubuh.
Sudah menjadi tradisinya di Nusantara, laut adalah instumen pemersatu. Inilah nadi kehidupan masyarakat Nusantara sejak zaman purba. Skema peradaban seperti ini, tidak dipahami oleh masyarakat kontinental seperti Eropa. Mereka tidak menyadari, bahwa gugusan kepulauan yang kompleks ini adalah sebuah terminal peradaban yang memeram semua anasir baik dari Timur maupun Barat.
Kita jangan membayangkan bangsa Eropa sebelum abad 15 seperti sekarang ini. Setelah peradaban Yunani dan Romawi hilang dilamun waktu, Eropa tak lebih dari sebuah peradaban paria yang terpencil. Secara geo-strategis, posisi mereka sangat tidak menguntungkan karena berada di ujung terjauh peradaban manusia. Kondisi mereka makin mengenaskan disebabkan perang saudara yang berlarut tanpa henti. Sehingga peradaban mereka pun terpuruk ke titik nadir. Mereka sendiri menyebut era ini sebagai “zaman kegelapan” (The dark age). (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Prof. Azyumardi Azra, dalam salah satu tulisannya mengatakan, “Kaum muslim Nusantara tidak hanya memiliki ortodoksi Islam yang bersumber dari para ulama otoritatif, tapi wilayah Nusantara sendiri terbentuk menjadi ranah budaya Islam (Isilamic Culture Spheres) yang distingtif…”Ranah budaya Islam Nusantara mengandung sejumlah faktor pemersatu, yang membuat kaum Muslimin Indonesia dari berbagai suku, traidisi, dan adat istiadat berada dalam satu kesatuan. Faktor pemersatu itu antara lain, tradisi keulamaan dan keilmuan Islam yang sama, bahasa Melayu sebagai lingua franca dan tradisi sosial budaya dan adat istiadat yang memiliki banyak kesamaan daripada perbedaan. Lihat, Prof. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara, dalam ‘Islam Nusantara; Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan”, Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (Edt), Bandung, Mizan, 2016, hal. 172
[2] Beberapa kesimpulan lain yang umum didapat para sejarawan, bahwa Islam menyebar di Nusantara secara damai, dan mengandung muatan sufistik yang kental. Tak ayal temuan-temuan ini mengarah pada satu asumsi yang sama, bahwa Islam di Nusantara menyebar dengan dibawa oleh satu kelompok kaum yang memiliki narasi perjalanan keilmuan dan keturunan yang sama. Mereka dikenal sebagai kaum Alawiyin, atau sekarang lebih populer disebut Habib. Ulasan lebih jauh mengenai asal usul Kaum Alawiyin ini bisa merujuk pada artikel yang perna diterbutkan redaksi ganaislamika.com. Untuk membaca, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-1-siapakah-habib/
[3] Lihat, Ismail Farjrie Alatas, Menjadi Arab: Komunitas Hadrami, Ilmu Pengetahuan Kolonial &Etnisitas, dalam L.W.C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, Depok, Komunitas Bambu, 2000, hal. xxx
[4] Uraian lebih jauh tentang kiprah Kaum Alawiyin di Nusantara, bisa merujuk serial studi Islam yang diterbitkan ganaislamika.com dengan judul, “Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI.” untuk mengakses, bisa melalui link berikut: https://ganaislamika.com/sejarah-pekembangan-islam-di-nusantara-studi-kiprah-keturunan-arab-meracik-nkri-1/
[5] Lihat, Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013, hal. 13
[6] Lihat, Ismail Farjrie Alatas, Op Cit, hal. xxxiii-xxxiv
[7] Ibid
[8] Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991, hal. c