Ketegangan Teori dan Praktik Jihad: Studi Komparatif Al-Qaedah dan Hizbullah (2)

in Studi Islam

Last updated on January 22nd, 2022 10:24 am

Konsep dan praktik jihad di kalangan gerakan-gerakan Islam demikian kompleks, sehingga muncul pertentangan yang ekstrem antara aktor-aktor jihad di lapangan. Kompleksitas ini sering menimbulkan persepsi yang distorif dan membingungkan tentang jihad di opini publik umat Islam, sehingga jihad sering diidentikkan secara serampangan dengan terorisme

Sumber gambar: id.pinterest.com

Nawaf al-Musawi, ketua departemen luar negeri Hizbullah Lebanon, secara tegas menolak serangan terhadap warga sipil World Trade Center. Dia mengecam tindakan itu sebagai aksi terorisme. Pernyataan resmi Hizbullah mengutuk aksi Al-Qaeda yang menyasar masyarakat sipil New York, tapi tidak memberikan pernyataan soal serangan ke Pentagon. Hizbullah juga mengutuk rangkaian aksi pembantaian di Aljazair oleh kelompok bersenjata Islam GIA, serangan-serangan Al-Jama’ah Al-Islamiyyah, serangan pada para wisatawan di Mesir, pembunuhan Nick Berg, pengeboman Gereja Koptik di Aleksandria (Situs Muqowama, 2011) dan yang terakhir pengeboman Bandara Moskow.[1]

Hasan Nashrullah, sekretaris jenderal Hizbullah, dalam berbagai kesempatan mengutuk aksi-aksi kekerasan terhadap sasaran-sasaran sipil yang mengatasnamakan jihad. Dia juga mengungkapkan bahwa ada perbedaan mendasar antara sasaran-sasaran sipil dan militer di dalam dan di luar Israel. “Di tanah pendudukan Palestina, kita tidak bisa membedakan antara sipil dan tentara, karena mereka semua adalah penjajah, perampok dan perampas tanah.” Sebaliknya, Hizbullah mengutuk keras seluruh aksi kekerasan, terutama bom bunuh diri, yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan bersenjata yang berafiliasi dengan Al-Qaedah di tempat-tempat ibadah dan ruang-ruang publik lainnya, terutama di Gaza, Irak, Pakistan, dan Afghanistan terhadap kelompok-kelompok Muslim yang berbeda mazhab.[2]

Hasan Nashrullah, dalam sebuah wawancaranya dengan televisi Al-Manar (Oktober, 2011), menyatakan bahwa musuh utama bangsa Arab dan umat Islam dewasa ini ada tiga: politik Amerika Serikat di Timur Tengah; gerakan Zionis; dan aliran takfiri (al-tayyar al-takfiri) yang cenderung mengkafirkan kelompok-kelompok Muslim di luar lingkaran sempitnya dan mendorong penggunaan senjata dalam merealisasikan program-program politiknya. Oleh karena itu, dia mengajak mayoritas Muslim Ahlus Sunnah, minoritas Muslim Syiah, dan minoritas Kristen di Timur Tengah untuk melawan ketiga musuh itu secara bergandengan tangan.[3]

Perbedaan konsep dan praktik jihad menjadi semakin rumit ketika dikaitkan dengan konsep takfir (pengkafiran)yang secara luas diadopsi oleh gerakan-gerakan Islam Wahabi yang bernaung di bawah Al-Qaedah. Salah satu gerakan jihad yang dibentuk pada tahun 1990-an oleh Abu Mus’ab al-Zarqawi dengan nama al-Tawhid wa al-Jihad dan kemudian bergabung di bawah komando Al-Qaidah dengan jelas melancarkan aksi-aksi kekerasan terhadap mayoritas Muslim Syiah di Irak yang telah dikafirkannya.[4]

Dalam pandangan kelompok-kelompok ini, takfir adalah cara efektif untuk mengidentifikasi sasaran jihad yang absah dan merupakan konsep yang khas dari ideologi Wahabi. Konsep inilah yang membawa gerakan-gerakan Islam di bawah Al-Qaidah memiliki kultur jihad yang sangat eksklusif. Ia tidak mengenal aliansi, koalisi atau sekadar kerjasama dengan kelompok yang tidak sejalan dengan ideologinya. Bahkan, dengan mudah kelompok ini dapat berpecah dan bertikai satu sama lain hanya karena salah satunya berkoalisi dengan kelompok-kelompok di luar lingkaran eksklusif ideologinya.

Di sisi lain, Hizbullah sebagai sebuah organisasi gerakan Islam tidak mengenal diskursus takfir dan dengan demikian tidak bermusuhan dengan kelompok-kelompok Muslim lain. Bahkan, ia menjalin hubungan politik dan strategis dengan kelompok-kelompok sekuler atau penganut-penganut agama lain. Muhammad Fnyasy, anggota legislatif dari fraksi Hizbullah di Parlemen Lebanon, mengecualikan kalangan sekuler yang “menghina prinsip-prinsip dan kesucian-kesucian Islam” atau yang memaksakan sekularisme sebagai ideologi negara.[5](Amal Saad- Ghorayeb, 2002, hal. 20).

Dalam kenyataannya, Hizbullah selalu melakukan aliansi, koalisi dan kerjasama dengan berbagai kelompok Muslim maupun non-Muslim lain dalam kerangka perjuangan politik dan militernya melawan Israel. Di pentas politik nasional Lebanon, misalnya, Hizbullah menjalin koalisi yang kuat dengan Gerakan Patriotik Merdeka (Free Patriotic Movement atau Al-Thayyar Al-Wathani Al-Hur) yang dipimpin oleh Jenderal Michel Aoun dari Kristen Maronit. Pada tahun 2006, Gerakan Patriotik Merdeka yang sudah berubah menjadi partai politik Maronit terpopuler, menandatangani memorandum kesepahaman dengan Hezbollah. Untuk menghindari sensitivitas dan eksklusivitas dalam istilah jihad, Hizbullah lebih sering menggunakan istilah muqowamah (perlawanan, resistence) dalam pernyataan-pernyataan politiknya.

Implikasi serius lain yang muncul dari perbedaan pandangan dalam penerapan jihad ialah penentuan musuh dan wilayah yang diistilahkan oleh sejumlah teoritisi jihad dengan dar al-harb (wilayah perang) sebagai lawan dari dar al-Islam (wilayah Islam). Dalam konteks ini, kita dapat kembali melihat perbedaan pandangan yang mencolok antara Hizbullah dan Al-Qaedah. Mengikuti teori fiqih Syiah, Hizbullah tidak mengakui dikotomi yang dicetuskan oleh Abu Hanifah dan dikembangkan oleh Ibn Taymiyyah ini. Oleh karena itu, dalam pandangan Hizbullah, tidak terdapat legitimasi untuk mengangkat senjata melawan negara Lebanon. Malah sebaliknya, Hizbullah menuntut penguatan negara Lebanon dalam segala bidang, termasuk bidang militer.[6]

Sebaliknya, dalam pandangan gerakan-gerakan Islam Wahabi yang bernaung di bawah organisasi induk al-Qaedah, Lebanon termasuk dalam dar al-harb yang membolehkan diterapkannya jihad melawan negara. Hal ini, misalnya, bisa dilihat dari perilaku Fatah Al-Islam yang berafiliasi dengan Al-Qaedah di Lebanon. Pertempuran antara Fatah Al-Islam dan militer Lebanon di kamp pengungsi Palestina pada bulan Mei tahun 2007, Nahr Al-Barid, menurut Hassan Mneimneh, menunjukkan jihad model al Qaeda terhadap konsep negara Lebanon. Dari berbagai pengakuan yang diberikan oleh para militan Fatah Al-Islam terungkap adanya rencana untuk mengumumkan berdirinya “imarah” (teritori kekuasaan) di Lebanon utara sebagai basis untuk menggulingkan negara Lebanon. Mneimneh menjelaskan bahwa para pemikir dan ideolog Al-Qaedah mendukung dan memuji Syakir al-Absi, pemimpin Fatah al-Islam kelahiran Yordania yang selamat dari pertempuran tersebut.[7]

Beberapa kasus di atas menggambarkan betapa kompleksnya konsep dan praktik jihad di kalangan gerakan-gerakan Islam, sehingga muncul pertentangan yang ekstrem antara aktor-aktor jihad di lapangan. Kompleksitas ini sering menimbulkan persepsi yang distorif dan membingungkan tentang jihad di opini publik umat Islam, sehingga jihad sering diidentikkan secara serampangan dengan terorisme. (MK)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Saad-Ghorayeb, Amal. (2002). Hizbullah: Politics and Religion. London: Pluto Press. Hal. 20

[2] Ibid, hal. 24

[3] Wawancara dengan Hassan Nashrullah. (Oktober, 2011). http://almanar.com.lb/main.php

[4] Mneimneh, Hassan. (Mei, 2009). The Jihadist International: Al Qaedas Advance In The Levant. A Report Of The American Enterprise Institute. http://www.aei.org/paper/100015,

[5] Amal Saad- Ghorayeb, Op Cit

[6] Ibid, hal. 40

[7] Hassan Mneimneh, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*