Rasulullah berkata, “Memang, aku telah di-isra-kan ke Baitul Maqdis di Syam (Suriah) tadi malam.” Abu Jahal bertanya, “Dan sekarang engkau telah berada lagi di antara kita?”
Keesokan harinya, setelah peristiwa Isra dan Miraj, Rasulullah duduk sendirian di Masjidil Haram, merenungkan apa yang telah dialaminya. Abu Jahal yang sedang melintas, melihat Rasulullah dan dia mendekatinya dengan maksud untuk mengolok-oloknya.
“Tak adakah lagi hal (wahyu) yang datang kepadamu tadi malam?”
Rasulullah mengangkat wajahnya, melihat Abu Jahal, dan berkata, “Memang, aku telah di-isra-kan ke Baitul Maqdis di Syam (Suriah) tadi malam.”
“Dan sekarang engkau telah berada lagi di antara kita?” ujar Abu Jahal.
“Benar,” kata Rasulullah.
Abu Jahal sudah tidak dapat menahan lagi dirinya untuk mempermalukan Rasulullah, dia berteriak kepada orang-orang di sana, “Hai, Bani Kaab bin Luai! Kemarilah kalian.”
Orang-orang pun berkerumun di sana, sementara Abu Jahal menceritakan kepada mereka apa yang telah didengarnya dengan bersemangat, untuk mengolok-olok Rasulullah. Menurut perkiraannya, ini kesempatan yang baik untuk membuat orang-orang yang telah beriman untuk meninggalkan Muhammad.
Salah seorang Muslim kemudian bertanya, “Benarkah engkau di-isra-kan tadi malam, wahai Rasulullah?”
“Benar, dan di sana aku melaksanakan salat bersama para Anbiya,” jawab Rasulullah.[1]
Orang-orang di sana menjadi riuh rendah mendengarnya. Oleh orang-orang musyrik pernyataan Rasulullah diolok-olok, dan sebagian Muslim malah ada yang merasa ragu.
Tidak sedikit orang yang berkata ketika itu, “Persoalannya sudah jelas. Perjalanan kafilah Makkah-Syam yang terus-menerus pun memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin hanya satu malam saja Muhammad pergi pulang ke Makkah!”
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam kemudian berbalik murtad, dan tidak sedikit pula yang masih merasa ragu. Mereka pergi menemui Abu Bakar, karena mereka mengetahui tentang keimanannya dan persahabatannya dengan Muhammad. Mereka menceritakan apa yang telah dikatakan Rasulullah mengenai Isra.[2]
Al-Hakim meriwayatkan dalam Mustadrak bahwa Aisyah berkata:
Para penyembah berhala datang kepada Abu Bakar dan berkata, “Apa pendapatmu tentang sahabatmu? Dia mengatakan bahwa dia dibawa tadi malam ke Baitul-Maqdis.”
Dia menjawab, “Benarkan dia mengatakan demikan?”
Mereka berkata, “Ya.”
Dia berkata, “Dia sungguh-sungguh mengatakan yang sebenarnya. Aku percaya dan membenarkannya dalam hal-hal yang lebih jauh dari itu: berita dari langit turun pada awal pagi dan sore hari.”
Karena alasan itulah dia disebut ash-Shiddiq (orang yang selalu membenarkan/percaya).[3]
Abu Bakar lalu pergi ke masjid dan mendengarkan Nabi yang sedang melukiskan keadaan Baitul-Maqdis. Abu Bakar sudah pernah mengunjungi kota itu, sehingga dia tahu keadaan di sana. Setelah Nabi melukiskan keadaan masjidnya, Abu Bakar berkata, “Rasulullah, aku percaya.”[4]
Atau dalam riwayat versi lainnya Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku yang jadi tebusanmu, hai Rasulullah! Demi Allah, sesungguhnya engkau benar. Demi Allah, sesungguhnya engkau benar!”[5]
Dalam penelaahannya, ulama Ibnul Qayyim berkata, “Esok harinya tatkala Rasulullah saw berada di tengah kaumnya, beliau mengabarkan apa yang diperlihatkan Allah, berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya yang agung.
“Mereka pun semakin menjadi-jadi dalam mendustakan dan mengejek beliau. Mereka meminta agar beliau menyebutkan ciri-ciri Baitul-Maqdis. Maka Allah menampakkannya, sehingga beliau bisa melihatnya secara langsung. Seketika itu beliau mengabarkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan mereka tidak bisa memberi bantahan sedikit pun.
“Beliau juga mengabarkan tentang kafilah dagang mereka tatkala kepergian dan kepulangannya, tentang seekor unta milik mereka yang terlepas dari rombongan. Setelah kafilah itu tiba, maka apa yang disampaikan beliau itu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
“Namun semua rentetan kejadian ini justru membuat mereka semakin lari menjauhkan diri, dan orang-orang yang zalim tidak menghendaki kecuali kekufuran.”[6]
Berkenaan dengan Abu Bakar, dalam riwayat lainnya al-Hakim dalam Mustadrak meriwayatkan bahwa an-Nazzal bin Sabrah berkata:
Kami berkata kepada Ali, “Amirul Mukminin, beri tahu kami tentang Abu Bakar.”
Dia berkata, “Orang itu, Allah menamainya ash-Shiddiq melalui lidah Jibril dan lidah Muhammad saw. Dia adalah pengganti Rasulullah saw dalam (imam) salat; dia dipenuhi dalam dirinya Din kami, dan kami ridha kepadanya untuk urusan duniawi kami.”
As-Suyuti berkata tentang riwayat di atas, “(Riwayat) ini isnad-nya kuat.”[7]
Setelah Abu Bakar membenarkan peristiwa Isra dan Miraj, sejarawan Muhammad Husain Haekal mengatakan, “Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakar dengan ash-Shiddiq.”[8](PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 54-55.
[2] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar As-Siddiq: Sebuah Biografi, diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia oleh Ali Audah (Litera Antar Nusa: Jakarta, 2003, Cet. Ketiga), hlm 9-10.
[3] Jalal ad-Din as-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The History of the Khalifahs who took the right way oleh Abdassamad Clarke (Ta-Ha Publishers Ltd: Turki, 1995), hlm 4-5.
[4] Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hlm 10.
[5] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 58.
[6] Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah (Vol 1, hlm 402-403), dalam Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 194-195.
[7] Jalal ad-Din as-Suyuti, Op.Cit., hlm 5.
[8] Muhammad Husain Haekal, Loc.Cit.