Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar,” maka tatkala ia telah terbenam, dia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
Kemudian, datanglah waktu ketika Ibrahim keluar dari goa saat hari sedang siang. Dia melihat cahaya matahari demikian benderang, hingga meliputi segala sesuatu yang dilihatnya. Kekagumanannya membuncah, dan dia pun berseru, “Inilah Tuhanku. Inilah yang lebih besar.” Namun lagi-lagi, tatkala sore datang, matahari itupun redup, dan akhirnya tenggelam.
Menyaksikan itu, Ibrahim pun berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” Demikian salah satu kisah Nabi Ibrahim dari masa kelahiran hingga masa kecilnya yang dituturkan oleh Tabari.[1]
Terkait pengalaman Ibrahim tersebut, Allah Swt mengabadikannya dalam Alquran sebagai berikut:
“Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: ‘Inilah Tuhanku. Inilah yang lebih besar.’ Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.’.” (QS al-An’am [6]: 78-79)
Hanya saja, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama terkait tafsir ayat tersebut. Perbedaan tersebut terkait apakah ayat tersebut dan ayat-ayat sebelumnya (QS al-An’am [6]: 76, 77, 78 dan 79) menggambarkan proses pemikiran Nabi Ibrahim yang sebenarnya hingga beliau menemukan Allah swt, Tuhan seru sekalian alam yang Maha Esa itu, atau ini cara yang beliau tempuh untuk membuktikan kesesatan kaumnya?
Bila melihat dari salah satu riwayat Tabari tentang kisah kelahiran dan masa kecil Ibrahim yang sudah kita ceritakan sebelumnya, ayat-ayat di atas menggambarkan proses pemikiran Ibrahim yang sejak lahir belum pernah melihat tanda-tanda kebesaran Allah swt di dunia.
Akan tetapi, bila kita melihat dari dari kelanjutan ayat-ayat tersebut, di mana pada akhirnya Ibrahim berseru pada kaumnya, bahwa ‘…, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.’,” tampaknya ayat-ayat ini memang menggambarkan tentang cara yang beliau tempuh untuk membuktikan kesesatan kaumnya.
Bila dilihat dari konteks masa itu, di antara kaum Nabi Ibrahim ada juga yang menyembah benda-benda langit, seperti bintang, bulan, dan matahari. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, kata al-afilin/yang tenggelam padaQS al-An’am [6]: 76, adalah bentuk jamak yang digunakan menunjuk kepada yang berakal.
Ini agaknya sengaja dipilih oleh Nabi Ibrahim karena penyembah bintang dan benda angkasa menduga bahwa benda-benda tersebut memiliki akal, pengetahuan, dan kehendak. Atau beliau seakan-akan berkata, “Kalau yang berakal tetapi tenggelam pun tidak patut di sembah dan dipertuhankan, maka apalagi yang tidak berakal.”
Memang, dalam banyak dialog Nabi Ibrahim dengan kaumnya, sering kali beliau menekankan ketidakwajaran untuk dipertuhankan siapa atau apa pun yang tidak berakal, atau tidak mendengar. Demikian menurut Quraish Shihab.[2]
Namun bila merujuk pada riwayat Ibnu Katsir, konteks ayat QS al-An’am [6]: 76, 77, 78, dan 79 justru terjadi pada waktu Ibrahim sudah mulai memasuki usia dewasa. Dikisahkan bahwa pada suatu malam, Ibrahim meninggalkan rumahnya dan pergi ke gunung setelah sebelumnya beliau melakukan perdebatan yang panjang dengan ayahnya mengenai berhala yang dibuat oleh ayahnya. Di gunung tersebut, Ibrahim terus berjalan sendiri dalam kegelapan hingga dia menemukan sebuah goa.[3]
Di goa tersebut dia beristirahat sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Dari tempat tersebut dia bisa melihat panorama langit yang ditaburi bintang dan bulan. Tiba-tiba dia teringat pada sebagian kaumnya yang juga menyembah benda langit tersebut. Hatinya pilu membayangkan kesesatan yang melanda kaumnya tersebut.
Pikirannya menjelajah kepada apa yang ada di balik bulan, bintang, dan planet-planet (yaitu Allah swt) dan heran, bagaimana benda-benda langit ini disembah manusia, padahal semua itu diciptakan (sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah – pen) agar manusia menyembah dan mematuhi Pencipta mereka, dan mereka muncul dan tenggelam atas perintah-Nya.[4]
Dari hasil perenungan inilah, kemudian Ibrahim mendatangi kaumnya yang menyembah benda-benda langit dan menggunakan metodologi yang demikian lembut untuk mengajak, menyadarkan, dan membawa mereka kembali. Menurut Ibnu Katsir, inilah konteks dari tafsir QS al-An’am [6]: 75- 79.[5]
Allah swt berfirman:
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim malakut langit dan bumi, dan agar dia termasuk al-Muqinin (yakni orang-orang yang mantap keyakinannya, bahwa tiada Pencipta dan Pengatur di alam raya ini selain Allah Swt). Ketika malam telah menutupinya (menjadi gelap), dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.”
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, “Aku tidak suka yang tenggelam.”
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku.”
Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar,” maka tatkala ia telah terbenam, dia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi secara lurus (hanifan) dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (AL)
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’l-muluk), VOLUME II, Prophets and Patriarchs, translated and annotated by William M. Brinner, University of California, Berkeley, State University of New York Press, 1987, hal. 50
[2] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)., hal. 166
[3] Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah (Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 5, Prophet Ibrahim (Abraham).
[4] Ibid
[5] Ibid