Malaikat vang mulia berkata kepada Uzair: “Sebenarnya kamu tinggal di sini selama seratus tahun lamanya.” Allah SWT mematikanmu lalu menghidupkanmu agar engkau mengetahui jawaban dari pertanyaannmu ketika engkau merasa heran dari kebangkitan yang dialami oleh orang-orang yang mati.
Ibnu Katsir adalah salah satu ulama yang menafsirkan bahwa Uzair adalah tokoh yang dikisahkan dalam QS. Al-Baqarah: 259. Menurut riwayat yang dimilikinya, kisah yang menyelimuti diri Uzair adalah sebagai berikut:[1]
Ishak bin Bashar menceritakan, dari Said bin Basyir memberitahu kami, dari Qatadah, dari Kaab, dari Said bin Abi Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, Muqatil, dan Juwaibir, dari Al-Dhahak, dari Ibnu Abbas, dari Abdullah bin Ismail Al-Sadi, dari ayahnya, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas dan Idris, dari kakeknya, Wahab bin Munabbih. Ishak mengemukakan, semua orang di atas itu memberitahuku, tentang Uzair. Kemudian sebagian mereka saling memberi tambahan atas sebagian yang lain. Dengan sanad mereka, mereka berkata:
Uzair adalah hamba yang salih lagi bijak. Pada suatu hari, dia pergi ke kampung asalnya, lalu ketika kembali lagi, dia mendatangi sebuah bangunan yang sudah rusak, yaitu tepat ketika matahari tengah berada lurus di atas kepala dan dia pun terkena oleh terik matahari. Kemudian dia masuk ke dalam bangunan itu, sedang dia masih berada di atas keledainya. Lalu dia turun dari keledainya dengan membawa kantong yang dibawanya yang berisi buah tin, san satu kantong lainnya berisi anggur. Lalu dia berteduh di bawah bangunan itu, selanjutnya dia mengeluarkan bejana yang dibawanya untuk kemudian dia memeras anggur ke dalam bejana tersebut.
Setelah itu dia pun mengeluarkan roti kering yang dibawanya dan memasukannya ke dalam bejana yang berisi perasan anggur tersebut agar basah untuk kemudian dimakannya. Kemudian dia menyandarkan punggungnya dengan kedua kaki di sandarankan pada dinding bangunan itu. Lalu dia melihat atap rumah tersebut dan dia melihat apa yng ada di dalamnya yang tegak berdiri di atas tiang penyangganya sedang penghuninya telah hancur binasa, dan dia juga menyaksikan tulang belulang yang tengah dalam ujian, maka dia pun berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancurnya?”[2]
Dia tak pernah ragu bahwa Allah yang telah menghidupkannya. Apa ungkapannya itu hanya sebagai bentuk kekagumannya saja. Setelah itu Allah SWT mengutus malaikat maut kepadanya untuk kemudian mencabut nyawanya. Selanjutnya Dia mematikan (Uzair) selama seratus tahun.
Setalah seratus tahun berlalu, yang ketika itu di tengah-tengah Bani Israil sedang terjadi berbagai macam peristiwa. Kemudian Allah SWT mengutus seorang malaikat untuk menciptakan hatinya sehingga hatinya dapat merasakan dan akalnya pun dapat berpikir serta kedua matanya dapat melihat, sehingga dapat dimengerti, bagaimana sebenarnya Allah menghidupkan segala sesuatu yang sudah mati.[3]
Selanjutnya tulang belulangnya dilapisi oleh daging, rambut, kulit dan setelah itu ditiupkan roh ke dalamnya. Pada saat itu dia benar-benar melihat dan memahami. Kemudian dia duduk dan melaikat pun berkata padanya, “Berapa lama kamu tinggl di sini?” Dia menjawab, “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Yang demikian itu, karena dia tinggal di situ pada permulaan siang dan dihidupkan kembali pada akhir siang sedang matahari belum terbenam. Dia juga berkata, “Atau setengah hari saja.” Yakni belum satu hari penuh.[4]
Malaikat berkata padanya, “Sebenarnya kamu tinggal di sini selama seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah.” Yakni roti yang kering dan minuman hasil perasan anggur. Tenyata keduanya (makanan dan minuman itu) masih tetap seperti keadaannya semula dan belum mengalami perubaha. Dan itulah makna firman Allah SWT “lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah.”
Demikian halnya dengan buah tin dan anggur yang ada bersamanya, sama sekali tidak mengalami perubahan. Seolah-olah hati Uzair menolak, lalu malaikat berkata padanya, “Apakah engkau mengingkari apa yang ku katakan kepada mu?”
“Lihatlah kepada keledaimu itu.” Ujar malaikat. Maka dia pun menoleh pada keledainya, yang ternyata telah menjadi tulang-belulang dan sudah bercerai berai. Kemudian malaikat menyeru tulang belulang keledai itu, hingga tulang-tulang itu memenuhi seruan malaikat itu dan berdatangan dari segala arah hingga hingga akhirnya keledai itu hidup kembali dan dinaiki oleh malaikat dan Uzair hanya bisa melihat saja.
Kemudian malaikat memasang urat-urat dan otot-ototnya kembali. Lalu dilapisinya dengan daging dan kulit hingga akhirnya tumbuh kulit dan rambut sendiri. Setelah itu, malaikat meniupkan roh ke dalamnya sehingga keledai itu dapat hidup kembali, lalu berdiri seraya mengangkat kepala dan ekornya ke langit, ia mengira hari kiamat telah tiba.
Demikian itulah makna firman Allah SWT: “Dan lihatlah kepada keledaimu yang telah menjadi tulang belulang. Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.’ Maksudnya, lihatlah ke tulang belulang keledaimu bagaimana masing-masing dapat bersusunan kembali sehingga ketika tulang-tulang telah tersusun, maka terlihatlah keledai masih dalam wujud tulang tanpa daging. Kemudian lihatlah, bagaimana Kami melapisinya dengan daging.
“Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: ‘Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.'” Yang di antaranya adalah meniupkan mahluk yang sudah mati dan masih banyak lagi yang lain.[5] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hal 593-594
[2] Ketika menafsirkan potongan ayat ini, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan sebagai berikut: “Perhatikanlah pertanyaannya yang dimulai dengan “Bagaimana..?” Yang bertanya bukannya tidak percaya bahwa Allah mampu menghidupkan yang telah mati, tetapi yang dipertanyakan adalah cara Allah menghidupkannya. Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian membangkitkannya kembali. Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2005), hal. 559
[3] Untuk menghidupkan negeri itu kembali, sekaligus untuk mengbuktikan kekuasaan-Nya menghidupkan yang mati serta menunjukkan caranya, Allah mematikan yang bersangkutan dan menghidupkan bahkan membangkitkannya kembali. Kata “membangkitkan” memberi kesan bahwa dia dikembalikan sebagaimana keadaannya sebelum dimatikan, dalam keadaan sadar, tidak ada perubahan yang terjadi pada dirinya. Kalau dikatakan menghidupkannya, mungkin diduga bahwa keadaannya ketika itu telah berubah, walau dia dalam keadaan hidup. Lihat, Ibid
[4] Menurut M. Quraish Shihab, “Rupanya Allah menidurkan dia seperti yang dialami oleh Ashab al- Kahfi. Dia tidak sadar bahwa malam dan siang telah silih berganti selama seratus tahun. Dia tidak keliru, apalagi berbohong, ketika berkata dia tinggal sehari atau kurang, tetapi dalam saat yang sama Allah juga membuktikan bahwa itu bukan sehari, tetapi seratus tahun. Allah memerintahkan kepadanya, “lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah,” dia tidak basi, tidak juga berkurang dari sebelumnya. Jika demikian dia tidak keliru jika berkata lebih kurang sehari; tetapi lanjut perintah-Nya, “dan lihatlah kepada keledai kamu?‘ ia telah mati bukan beberapa saat yang lalu, tetapi sudah seratus tahun yang lalu, terbukti bahwa ia telah menjadi tulang belulang berserakan.” Lihat, Ibid, hal. 560
[5] M. Quraish Shihab, ketika menjelaskan tafsir atas ayat tersebut berkomentar sebagai berikut: “Sungguh aneh peristiwa ini! Mungkinkah hal tersebut terjadi? Jika Anda menggunakan nalar tanpa iman serta mengukur kekuasaan Allah dengan ukuran kemampuan manusia, maka Anda tidak akan percaya; atau Anda akan berkata, bahwa yang dimaksud dengan hidup dan mati dalam ayat ini adalah dalam pengertian majasi. Hidup adalah semangat hidup dan mati adalah hilangnya semangat itu. Tetapi bagaimana dengan keledai yang tulangnya kembali dibungkus dengan daging? Sulit bagi penulis menemukan jawaban yang memuaskan nalar tanpa mengabaikan redaksi ayat. Penjelasan paling tepat terhadap peristiwa ini adalah dengan mengembalikannya kepada kehendak Dia Yang Maha Mutlak itu, kemutlakan yang terlepas dari syarat- syarat apa yang kita duga sebagai hukum-hukum alam yang pasti. Kepastian hukum-hukum alam tidak lagi menjadi pasti dewasa ini. Para pakar pun kini mengakui adanya apa yang dinamai probability. Kekeliruan sementara orang memahami teks-teks keagamaan yang seperti ini adalah karena mereka memaksakan logika dan pandangan-pandangan ilmiah atas-Allah Yang Maha Kuasa, dan ini pada giiirannya menghasilkan kesalahan beruntun. Paling tidak ada tiga kesalahan yang diakibatkan — menurut Sayyid Quthub — ketika menafsirkan ayat ini dengan menggunakan logika. Pertama, mengukur kekuasaan Allah yang mutlak berdasar hukum- hukum yang diketahui dan diperoleh dari pengalaman kita sebagai manusia yang sangat terbatas, yang kita tafsirkan pula dengan pengetahuan yang sangat terbatas. Kedua, katakanlah bahwa, apa yang kita ketahui itu dan yang kita namai hukum-hukum alam, sifatnya pasti, tetapi apakah ada alasan yang menjadikannya berlaku secara menyeluruh dan tidak mengalami perubahan sedikit pun, atau tidak ada lagi hukum di atasnya yang dapat mengatur dan mempengaruhinya? Ketiga, kalaulah hukum-hukum tersebut telah pasti dan tidak dapat berubah sedikit pun, namun kehendak Allah SWT selalu dapat berada di atas hukum-hukum itu, Dia tidak pernah kehilangan kebebasan-Nya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.” Lihat, Ibid, hal. 560-561