Mengingat kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang mujtahid, sebagian besar Muslim Sunni selama beberapa abad telah berpendapat bahwa pintu ijtihâd telah tertutup. Golongan Syi’ah, sebaliknya, menganggap hal itu selalu terbuka.
Kata taqlîd sering dikupas dalam tulisan-tulisan pemikir Muslim zaman modern, yang biasanya dia menggambarkannya sebagai celaan masyarakat Islam. Bagaimanapun, bahasan-bahasan di sini, tidak berfokus pada taqlîd sebagai lawan dari tahqîq, tapi sebaliknya sebagai lawan dari ijtihâd. Mengingat pentingnya masalah ini di kalangan penulis Muslim kontemporer, saya perlu menjabarkan dari awal bahwa saya tengah membicarakan sesuatu yang lain.
Ijtihâd berarti pencapaian dari penguasaan memadai dalam disiplin yurisprudensi (fiqh) untuk melakukan penilaian independen saat menurunkan kesimpulan Syariah (hukum Islam). Seseorang yang mencapai peringkat ini disebut mujtahid.
Orang semacam itu tidak perlu mengikuti otoritas ahli hukum lainnya dalam hal Syariah. Meskipun demikian, penguasaannya tetap pada aras pengetahuan nukilan, yakni yang masih didasarkan pada Al-Quran, Hadis, dan riwayat-riwayat dari para pendahulu dan para guru dari disiplin tersebut.
Mengingat kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang mujtahid, sebagian besar Muslim Sunni selama beberapa abad telah berpendapat bahwa pintu ijtihâd telah tertutup. Golongan Syi’ah, sebaliknya, menganggap hal itu selalu terbuka.
Dari sudut pandang yurisprudensi (fiqh), seseorang yang dirinya bukan mujtahid harus meniru seseorang yang sudah mujtahid—entah itu mujtahid hidup (seperti dalam Mazhab Syi’ah) atau mujtahid yang sudah lama mati (seperti dalam Mazhab Sunni).
Orang mengikuti mujtahid karena dia hanya bisa belajar Syariah dari seseorang yang sudah mengetahuinya. Bagaimanapun, situasinya dalam ilmu-ilmu intelektual tidaklah begitu. Seorang mujtahid, dengan semua penguasaannya atas ilmu nukilan yurisprudensi, tidak berarti menjadi seorang muhaqqiq, salah seorang yang telah mencapai tahqiq atau realisasi dalam pengetahuan intelektual.
Pertama-tama, pengetahuan intelektual tidak bergantung pada proses transmisi. Seorang muhaqqiq, pada prinsipnya, bisa menguasai semua ilmu intelektual tanpa bantuan generasi masa lalu atau wahyu ilahi.
Anda tidak perlu seorang nabi untuk memberitahu Anda bahwa dua tambah dua sama dengan empat atau bahwa Tuhan itu tunggal. Pengetahuan itu sendiri, ketika dipahami, bersifat swabukti, yakni ia membawa sendiri buktinya dalam tindak pemahaman itu.
Para ulama Syariah secara implisit mengenali perbedaan watak pengetahuan intelektual ketika mereka mengatakan kepada kita, sebagaimana mereka sering melakukannya, bahwa keimanan (îmân) atas dasar taklid atau imitasi tidak diterima Tuhan.
Seorang Muslim tidak bisa dipandang memiliki keimanan sejati jika ia berkata, “Saya beriman kepada Allah karena orang tua saya bilang begitu.”
Orang seperti ini akan mengatakan bahwa sekiranya ia diperintahkan untuk tidak beriman kepada Tuhan, ia tidak mau, maka imannya hanyalah kata-kata kosong.
Walaupun secara teori kita dapat membedakan antara pengetahuan nukilan dan pengetahuan intelektual, namun dalam praktiknya dua pengetahuan tersebut selalu saling terkait erat, dan ilmu-ilmu intelektual selalu dibangun di atas ilmu-ilmu nukilan.
Orang tidak dapat berbicara dengan baik tanpa tata bahasa, dan orang tidak dapat memahami secara spesifik ajaran-ajaran Islam tanpa Al-Quran dan Hadis. Namun, fakta bahwa orang-orang mungkin unggul dalam memiliki dan menguasai ilmu-ilmu nukilan tidak berarti bahwa mereka tahu segalanya tentang ilmu-ilmu intelektual.
Kemampuan untuk menyampaikan teori-teori metafisika dan kosmologi dari para intelektual besar Muslim tidak membuktikan bahwa ia mempunyai pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan teori-teori tersebut.
Baik pengetahuan nukilan maupun pengetahuan intelektual sangatlah penting bagi kelangsungan hidup agama apa pun, namun keduanya kini mulai hilang. Secara umum, bagaimanapun, ilmu-ilmu nukilan lebih terjaga dan terpelihara daripada ilmu-ilmu intelektual, dan alasannya cukup jelas.
Siapa pun dapat menghafal Al-Quran dan Hadis, tetapi hanya sedikit yang bisa benar-benar memahami apa yang Allah dan Nabi bicarakan. Orang hanya dapat memahami dalam kadarnya sendiri, dan hanya segelintir orang yang melakukan pelatihan yang diperlukan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan mereka.
Jelaslah, seseorang tidak dapat memahami matematika (atau ilmu lainnya) tanpa kemampuan bawaan dan latihan. Meskipun seseorang kebetulan punya bakat besar, ia tak akan pernah beranjak jauh tanpa belajar bertahun-tahun.
Jika keadaan yang berlaku benar seperti itu untuk ilmu-ilmu seperti matematika atau tata bahasa, yang masih merupakan kenyataan-kenyataan yang relatif dekat dengan kita, maka kebenarannya jauh lebih benar untuk metafisika, yang berkaitan dengan realitas terdalam, yang terjauh dari pengalaman sehari-hari kita. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya: