Mozaik Peradaban Islam

Kronik Nusantara tentang Kerajaan Islam Pertama di Jawa (1)

in Islam Nusantara

Last updated on August 26th, 2018 06:20 am

Bertolak dari sisa-sisa dan ideofak yang dapat dilacak, kita bisa temukan fakta bahwa kerajaan Islam yang awal di Jawa bukanlah Demak, melainkan Lumajang yang disusul Surabaya, Tuban, Giri, dan baru Demak. Keislaman Lumajang paling sedikit menunjukkan kurun waktu sekitar abad 12 Masehi, yaitu saat kerajaan Singasari di bawah kekuasaan Sri Kertanegara.” (Agus Sunyoto)

—Ο—

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kronik adalah catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya.[1] Mirip dengan metode penuturan sejarah pada umumnya, penulis kronik memperoleh informasi secara bervariasi, beberapa kronik ditulis dari pengetahuan pelaku, beberapa dari saksi atau peserta dalam peristiwa, atau melalui mulut ke mulut. Beberapa bahan-bahan tertulis adalah piagam, surat, atau karya-karya penulis sejarah sebelumnya. Yang lain berupa cerita tentang asal-usul yang tidak diketahui sehingga memiliki status mitos. Penyalin kronik juga berpengaruh dalam hal penyalinan kreatif, dengan melakukan koreksi, memperbarui atau melanjutkan sebuah kronik dengan informasi yang dulunya tidak tersedia bagi penulis asli.[2]

Salah satu tantangan cukup besar bagi para sejarawan di Indonesia, khususnya mengenai sejarah Islam di Nusantara adalah menulis sejarah peradabannya secara otentik. Mengingat selama lebih dari tiga abad di bawah pengaruh bangsa kolonial, tidak sedikit fakta-fakta sejarah Nusantara yang dibelokkan, diganti, atau tercampur dengan mitos masyarakat setempat. Sehingga sangat sulit menemukan narasi sejarah yang otentik tentang sejarah Nusantara, khususnya tentang Islam Nusantara.[3]

Prof. DR. KH. Said Aqil Siraj, dalam kata pengantar buku Atlas Wali Songo, karya Agus Sunyoto menyatakan bahwa “Selama ini, dalam membaca sejarah para Wali Songo, kita selalu terombang ambing antara mitos dan fakta. Akibatnya, ketika menyampaikannya, kita merasa kurang yakin”. Ketua PB NU itu juga menyampaikan bahwa “Selama ini saya hanya mendengar kisah Wali Songo dari cerita lisan berdasarkan sumber yang tidak dapat dikonfirmasi, sehingga validitasnya juga rendah, tetapi hanya itu yang ada…, akan tetapi, dengan membaca Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah ini, kita bisa mendapatkan bukti-bukti historis yang meyakinkan tentang sejarah Wali Songo yang kita hormati itu, sehingga tingkap kredibilitas dan validitasnya lebih tinggi. Dengan demikian, kehadiran Wali Songo tidak lagi ditempatkan dalam pinggiran sejarah sebagaimana yang terjadi selama ini.” demikian menurut Kyai Said.[4]

Bagaimanapun, bukan hal yang mudah merekonstruksi sejarah peradaban Nusantara yang sudah berlangsung ribuan tahun. Dibutuhkan kehati-hatian dan kecermatan yang tinggi untuk merangkai narasi peristiwa dari waktu ke waktu agar presisi dengan bukti-bukti arkeologis yang ada. Dan salah satu isu cukup penting yang dikembangkan Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo adalah tentang kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.

Selama ini, narasi yang kita ketahui tentang kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa hanya sebatas proses kejatuhan kerajaan Majapahit dan lahirnya kerajaan Demak yang kemudian dianggap sebagai kerajaan Islam di Nusantara. Dari narasi tersebut kemudian lahirlah sejumlah proposisi sejarah Islam yang membingungkan, bahkan bersifat ambivalen dengan sejumlah temuan arkelogis yang cukup banyak berserakan di pulau Jawa. Salah satunya adalah prasasti Mula Malurung yang bertahun 1255 M, yang menyebutkan bahwa Kerajaan Lumajang adalah Juru, bagian dari Kerajaan Tumapel (Singasari).

Berangkat dari bukti arkeologis tersebut, Agus Sunyoto menyimpulkan dalam bukunya, Atlas Wali Songo, bahwa dogma sejarah yang mengatakan Demak adalah Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa pada dasarnya tidak benar karena tidak didukung oleh data arkeologis maupun historis yang memadai…., Lebih kauh menurut Agus Sunyoto, “bertolak dari sisa-sisa dan ideofak yang dapat dilacak, kita bisa temukan fakta bahwa kerajaan Islam yang awal di Jawa bukanlah Demak, melainkan Lumajang yang disusul Surabaya, Tuban, Giri, dan baru Demak. Keislaman Lumajang paling sedikit menunjukkan kurun waktu sekitar abad 12 Masehi, yaitu saat kerajaan Singasari di bawah kekuasaan Sri Kertanegara.”[5]

Menariknya, berangkat dari proposisi awal tersebut, dalam buku tersebut Agus Sunyoto agaknya berhasil merekonstruksi kronik nusantara dan Islam di pulau Jawa secara lebih proporsional dan akurat. Salah satu yang cukup progresif adalah besarnya peran kaum Muslimin kala itu dalam membidani lahirnya imperium raksasa di Nusantara yang bernama Majapahit. (AL)

Bersambung…

Kronik Nusantara tentang Kerajaan Islam Pertama di Jawa (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, https://kbbi.web.id/kronik, diakses 23 Agustus 2018

[2] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Kronik_(sejarah), diakses 23 Agustus 2018

[3] Masalah tentang pembelokan sejarah Islam di Nusantara ini pernah dibahas secara serius pertama kali secara resmi dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963. Seminar tersebut masih terus berlanjut pada tahun 1978 di Banda Aceh, dan pada tahun 1981 di kota yang sama. Hasil tiga seminar ini kemudian melahirkan sebuah buku berjudul “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia” yang diterbitkan tahun 1993. Buku ini merupakan kompilasi tulisan para ulama dan cendikiawan Muslim baik dari Indonesia maupun dari Negara-negara tentangga seperti Malaysia. Tujuannya tidak lain untuk merekonstruksi kembali sejarah Nusantara secara otentik, lepas dari pengaruh narasi buatan bangsa Kolonial. Prof. Hasymi selaku ketua pelaksana Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 19980 menulis Pidatonya dengan judul “Sejarah yang Disusun Penjajah Racun Bagi Kita”. Lihat, Prof. Hasymi, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia; (Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh)”, Medan, PT. Ma’arif, 1993

[4] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. ix

[5] Ibid, hal. 122-123

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*