“Dari apa yang diutarakan Agus Sunyoto, agaknya bisa kita asumsikan bahwa benar agama Islam menyebar di Nusantara, khususnya Pulau Jawa secara damai, tanpa pertempuhan darah, apalagi perang. Kerajaan Majapahit yang oleh banyak sejarawan disebut belum beragama Islam sepertinya memiliki iklim demokrasi dan toleransi yang luar biasa luas.”
—Ο—
Berangkat dari laporan perjalanan Tome Pires,[1] seorang Portugis yang datang ke Pulau Jawa pada tahun 1513 M, Agus Sunyoto merekonstruksi alur narasi sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Jawa. Salah satunya, laporan yang ditulis oleh Tome Pires, bahwa ia menyaksikan pada tahun 1513 M Kerajaan Demak dipimpin oleh orang yang disebutnya “Pate Rodin Jr”, yang tidak lain adalah Sultan Trenggana. Menurut Tome Pires, Demak pada tahun 1513 M tidak dipimpin oleh Raden Patah atau Pate Rodin Sr, yang tampaknya sudah meninggal satu dasawarsa sebelumnya. Tome Pires dalam laporannya yang diterbitkan dengan judul Suma Oriental menegaskan bahwa Pate Rodin Sr atau Raden Patah adalah orang yang tegas dalam mengambil keputusan dan bangsawan berjiwa ksatria – dan yang mengundang tanda tanya kemudian, Tome Pires juga menyatakan bahwa Raden Patah adalah teman seperjuangan Pate Zainal dari Gresik, Pate tertua di Jawa.[2]
Menurut Agus Sunyoto, yang dimaksud Pate Zainal dari Gresik oleh Tome Pires, tidak lain adalah tokoh Zainal Abidin gelar Sunan Dalem Wetan (Sunan Giri II), yang menurut Babad ing Gresik adalah putra sulung Sunan Giri bergelar Prabu Satmata. Jadi Pate Zainal yang disebut sebagai teman seperjuangan Pate Rodin Sr atau Raden Patah adalah keponakan Raden Patah karena ibu dari Pate Zainal yang bernama Murtosiyah adalah kakak kandung dari istri Raden Patah yang bernama Dewi Murtosimah, keduanya adalah putri Raden Rahmat atau Sunan Ampel.[3]
Lebih jauh, catatan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Pate Zainal adalah Pate tertua di Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa Kerajaan Giri di Gresik adalah kerajaan Islam yang lebih tua dibanding Demak, terutama karena ayah dari Pate Zainal, yaitu Raden paku yang masyhur disebut Sunan Giri memiliki nama Abhiseka Prabu Satmata (hanya seorang raja yang memiliki gelar prabu), sebagaimana ditulis dalam Babad tanah Jawi, Babad Ing Gresik, dan Serat Kandha.[4]
Dengan demikian, menurut Agus Sunyoto, secara otomatis klaim yang menyatakan bahwa Demak adalah kerajaan tertua di Jawa perlu dikaji ulang. Tidak sampai di situ, menurut Agus Sunyoto, muncul pula data historiografi yang menegaskan bahwa Kerajaan Surabaya yang dirajai Arya Lembu Sura yang beragama Islam dan Kerajaan Tuban yang dirajai Aria Teja yang juga beragama Islam, jauh lebih dahulu berdiri dibanding Kerajaan Giri di Gresik. Artinya, beberapa kerajaan Islam sudah ada dan berkembang di Jawa beberapa generasi sebelum lahirnya Demak.
Yang menarik – mengutip P.J. Zoetmulder (1997) – Agus Sunyoto menjelaskan bahwa sebutan “Pate” yang digunakan Tome Pires, tidak bisa dimaknai lain yang lebih tepat kecuali dipungut dari kata Pati, Bhupati atau adipati, yaitu kosa kata Bahasa Jawa Kuno yang sama maknanya dengan Raja Bawahan, raja vassal dari kerajaan yang lebih besar yang dipimpin oleh Raja atau Maharaja. Sayangnya, Agus Sunyoto tidak menjelaskan lebih jauh, pada Maharaja yang mana para “Pati” ini merujuk? Apakah mungkin ketika itu Demak merujuk pada Kerajaan Giri yang dirajai oleh Prabu Satmata atau Sunan Giri?
Masih berdasarkan catatan para penjelajah dari Barat, disebutkan bahwa kala itu kerajaan Majapahit sebenarnya masih memiliki kekuatan yang luar biasa kuat di wilayah pedalaman. Berdasarkan kesaksian Tome Pires yang pada tahun 1513 M bahwa kerajaan Majapahit yang bukan Islam masih tegak di pedalaman Dayeuh dengan raja bernama Vigaya (Wijaya/Brawijaya?) yang dicatat oleh Tome Pires masih memiliki pasukan bersenjata senapan sekitar 100.000 orang prajurit. Catatan lain dari Antonio Pigafetta, seorang penjelajah dari Italia juga menyebutkan hal yang sama. Ketika dia tiba di Jawa tahun 1522 M, menegaskan bahwa Kerajaan Maghepahert yang bukan Islam masih berkuasa di pedalaman dengan pasukan yang masih kuat.
Sebagai perbandingan, menurut Prof. Slamet Muljana, dikutip dari catatan Tome Pires, bahwa ketika itu Pate Rodin memiliki kekuatan armada sebanyak 30.000 orang dan angkatan laut sebanyak 40 jung (kapal).[5] Yang artinya bala tentara Demak masa itu masih jauh di bawah kekuatan bala tentara Majapahit dengan 100.000 prajurit.
Dengan demikian, cukup terbuka kemungkinan bahwa pada masa itu Demak dan Kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang sudah tumbuh di Pulau Jawa masih menginduk pada Majapahit. Karena bila mengacu pada sumber sejarah, hanya Majapahit satu-satunya imperium yang memungkinkan memiliki pengaruh kekuasaan demikian kuat pada akhir abad pertengahan di Nusantara.
Dengan asumsi yang lebih jauh, Agus Sunyoto dalam catatannya juga mengatakan bahwa sumber-sumber historiografi yang menuturkan bahwa Kerajaan Majapahit di bawah Prabu Brawijaya runtuh akibat serangan dari Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah perlu dikaji ulang. Dan berdasarkan kesaksian dua orang Eropa yang datang ke Jawa pada perempat awal abad 16 ini, tidak dapat ditafsirkan lain bahwa legenda dan dongeng yang dipungut dari historiografi seperti Babad Kadhiri, Serat Darmahandhul, Babad Tanah Jawi versi Olthof, Kronik Cina Klenteng Sampokong, terutama dongeng mengenai serangan raden Patah ke Majapahit yang dirajai oleh ayah kandungnya sendiri, Raja Brawijaya, yang berakibat pada berakhirnya kerajaan tua itu, tidak dapat lagi dipertahankan karena sangat jelas jauh dari fakta sejarah.[6]
Dari apa yang diutarakan Agus Sunyoto, agaknya bisa kita asumsikan bahwa benar agama Islam menyebar di Nusantara, khususnya Pulau Jawa secara damai, tanpa pertempuhan darah, apalagi perang. Kerajaan Majapahit yang oleh banyak sejarawan disebut belum beragama Islam sepertinya memiliki iklim demokrasi dan toleransi yang luar biasa luas. Ini terbukti dari demikian leluasanya para pendakwa Muslim menyiarkan agamanya selama berabad-abad, hingga akhirnya dapat menggaet satu persatu para bangsawan berdarah biru yang pada akhirnya menjadi “Pati” atau raja-raja yang memiliki kedaulatan otonom untuk mengelola wilayahnya sendiri. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Tomé Pires (Lahir di Portugal 1468 M- wafat di Kiangsu, China, 1540 M pada usia 72 tahun) merupakan penulis dan Bendahara Portugis. Karya terbesarnya, Suma Oriental (Dunia Timur), menceritakan penjelajahan pedagang Portugis hingga menguasai anak benua India dan Kesultanan Malaka pada tahun 1511 M. Buku tersebut memberikan banyak informasi berharga mengenai keadaan Nusantara pada abad ke-16. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Tom%C3%A9_Pires, diakses 25 Agustus 2018
[2] Lihat, Prof. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindi-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LKiS, 2005, hal. 117-118
[3] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 120
[4] Ibid, hal. 121
[5] Lihat, Prof. Slamet Muljana, Op Cit. Banyak pendapat menyebutkan, Istilah jung berasal dari kata chuan dari bahasa Mandarin yang berarti perahu. Hanya saja, perubahan pengucapan dari chuan menjadi jung nampaknya terlalu jauh. Yang lebih mendekati adalah “jong’ dalam bahasa Jawa yang artinya kapal. Kata jong dapat ditemukan dalam sejumlah prasasti Jawa kuno abad ke 9. Undang-undang laut Melayu yang disusun pada abad ke-15 juga menggunakan kata jung untuk menyebut kapal pengangkut barang. Yang jelas berasal dari sebuah bahasa di Tiongkok adalah kata wangkang yang artinya kurang lebih sama dengan jung. Lihat, http://www.wacana.co/2009/02/kapal-jung-nusantara/, diakses 25 Agustus 2018
[6] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit