Mozaik Peradaban Islam

Kronik Nusantara tentang Kerajaan Islam Pertama di Jawa (8)

in Islam Nusantara

Last updated on September 9th, 2018 03:32 pm

Nararya Sanggramawijaya berhasil mendirikan Majapahit dengan bantuan dari Arya Wiraraja dan keluarganya. Orang-orang yang berjasa tersebut kemudian masing-masing diberikan jabatan. Sayangnya, tidak semua merasa puas atas pembagian kekuasaan itu. Ketidakpuasan ini kemudian memicu terjadinya perang, yang berakhir pada tewasnya Ranggalawe, putra sulung Arya Wiraraja.”

—Ο—

Setelah berhasil mendirikan pondasi kekuatan di Hutan Tarik, Nararya Sanggramawijaya tinggal menunggu momentum untuk merebut kekuasaan dari Jayakatwang. Dan momentum yang ditunggu akhirnya tiba pada tahun 1292 M. Ketika itu, Kubilai Khan, kaisar Mongol yang murka akibat perlakukan Sri Kertanegara pada utusannya, memerintahkan agresi penaklukkan terhadap Singasari. Pada tahun 1293 M, pasukan Mongol yang dipimpin oleh tiga orang panglima beragama Islam, Kua Hsing, Sih Pi, dan Ike Meze, tiba di pulau Jawa.[1]

Nararya Sanggramawijaya dengan sigap memanfaatkan situasi kedatangan pasukan Mongol tersebut. Dalam waktu singkat dia berhasil membuat kesepakatan kerjasama dengan tentara Mongol untuk bersama-sama menyerang Jayakatwang. Tidak diceritakan lebih jauh oleh Agus Sunyoto, apakah faktor kesamaan agama antara punggawa Nararya Sanggramawijaya dengan ketiga panglima Mongol ini yang membuat lobi politik tersebut berjalan lancar. Tapi sejarah mencatat, Nararya Sanggramawijaya berhasil membuat pasukan Mongol percaya bahwa ketika Jayakatwang berhasil ditaklukkan dan kekuasaan kembali kepangkuannya, sebagai pewaris sah Rajasawangsa (Ken Arok), dia bersedia tunduk pada kekaisaran Mongol di utara.[2]

Berdasarkan hasil kesepakatan ini, akhirnya Pasukan Mongol bersedia mengerahkan segenap upayanya untuk mengalahkan Jayakatwang, dan mereka berhasil dengan gemilang. Setelah berhasil mengalahkan Jayakatwang, Nararya Sanggramawijaya secara tak terduga mengkhianati perjanjian mereka dengan menyerang pasukan Mongol yang sudah kelelahan dan mabuk kemenangan. Pasukan yang digunakan Nararya Sanggramawijaya untuk menyerang Mongol tersebut tidak lain adalah pasukan Majapahit yang dipunggawai oleh Arya Wiraraja dan keluarganya.[3]

Sebagaimana sejarah mencatat, serangan mendadak pasukan Majapahit tersebut berhasil mengalahkan dan mengusir pasukan Mongol dari tanah Jawa. Dengan tewasnya Jayakatwang dan perginya pasukan Mongol dari tanah Jawa, secara otomatis satu-satunya kekuatan yang tersisa dari keturunan Sri Rajasawangsa hanyalah Nararya Sanggramawijaya dan pengikutnya yang mendiami wilayah bernama Majapahit. Nararya Sangramawijaya kemudian dinobatkan sebagai raja dengan gelar Abisheka Sri Kertarajasa Jayawardhana, atau dikenal sebagai Raden Wijaya.

Areal kekuasaan Majapahit pada puncak kejayaannya, dengan patihnya bernama Gajah Mada. Sumber gambar: http://toriolo.com

Atas jasa dan pengabdian serta pengorbanan para kerabat dan pengikutnya, Raden Wijaya memberikan jabatan-jabatan penting di kerajaan Majapahit yang dipimpinnya sebagaimana dicatat dalam Prasasti Penanggungan (1296 M), yang meliputi, Arya Wiraraja diangkat menjadi menteri; Arya Adikara Ranggalawe dijadikan Menteri Mancanegara; Arya Lembu Sora diangkat menjadi Patih Daha; Pu Renteng diangkat menjadi Demung; Pu Elam menjadi Kanuruhan; Pu Wahana menjadi Tumenggung; Sang Pranaraja Pu Sina tetap menjadi Pranaraja di Lumajang; dan putra Pu Sina, yang bernama Nambi, menjadi Patih Amangkubumi (Perdana Menteri) Majapahit.[4]

 

Arya Adikara Ranggalawe

Salah satu kisah yang cukup banyak diperbincangkan dalam sejarah awal berdirinya Majapahit adalah pemberontakan Ranggalawe terhadap Raden Wijaya.[5] Berdasarkan penuturan Agus Sunyoto dalam karyanya, awal mula terjadinya pemberontakan ini karena Arya Adikara Ranggalawe – putra sulung Arya Wiraraja yang oleh Sri Kertarajasa Jayawardhana diangkat menjadi menteri mancanegara yang ditempatkan di Tuban – tidak  puas dengan kebijakan Sri Kertarajasa Jayawardhana yang mengangkat putra Pu Sina sang Pranaraja, Nambi, menjadi Patih Amangkubumi Majapahit. Ranggalawe merasa memiliki jasa lebih besar dibanding Nambi. Karena dia adalah orang yang menghubungkan Sri Kertanegara dengan Sri Jayakatwang. Dia juga orang yang memimpin orang-orang Madura membuka hutan Tarik untuk dijadikan perkampungan. Dan dia juga yang memimpin pasukan Majapahit menyerang pasukan Mongol di Tuban; bahkan dia adalah putra Arya Wiraraja, tokoh yang paling banyak berjasa pada Sri Kertarajasa Jayawardhana.[6]

Kisah lengkap pemberontakan Ranggalawe bisa ditemukan dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe. Di dalamnya dikisahkan bahwa pada mulanya Ranggalawe menuntut secara terang-terangan di hadapan Raden Wijaya bahwa jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Arya Lembu Sora, yang juga adalah pamannya. Namun Arya Lembu Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih. Diapun dengan sabar menasehati keponakannya agar memohon maaf pada raja. Tapi Ranggalawe menolak dan memilih pulang ke Tuban.[7]

Khawatir Ranggalawe akan melakukan pemberontakan, maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Arya Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe. Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Dia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam. Melihat keponakannya disiksa sampai mati, Arya Lembu Sora merasa tidak tahan,  dia pun membunuh Kebo Anabrang dari belakang.[8]

Demikianlah, bibit perpecahan pertama yang terjadi di fajar berdirinya Majapahit. Menurut Agus Sunyoto, oleh karena Ranggalawe adalah seorang Muslim, jenazahnya dibawa dari Tambak Beras ke Tuban sebagaimana layaknya seorang Muslim. Sampai saat ini, makam Arya Adikara Ranggalawe di Tuban tetap dikeramatkan oleh masyarakat dan sering diziarahi terutama oleh para bupati dan calon Bupati Tuban.[9] (AL)

Makam Ranggalawe di Kelurahan Sidomulyo, Tuban, Jawa Timur. Sumber gambar: Youtube.com

 

Bersambung ke:

Kronik Nusantara tentang Kerajaan Islam Pertama di Jawa (9)

Sebelumnya:

Kronik Nusantara tentang Kerajaan Islam Pertama di Jawa (7)

Catatan Kaki:

[1] Agus Sunyoto dalam karyanya menyebutkan bahwa ketiga panglima Tartar, Kua Hsing, Sih Pi, dan Ike Meze adalah Muslim. Lihat, Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 129

[2] Lihat, Wikipedia, Serbuan Yuan-Mongol ke Jawa, https://id.wikipedia.org/wiki/Serbuan_Yuan-Mongol_ke_Jawa, diakses 2 September 2018

[3] Ibid

[4] Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 130

[5] Terkait tahun terjadinya pemberontakan Ranggalawe, dalam Wikipedia disebutkan bahwa terjadi perselisihan di dalam naskah-naskah kuno terkait kapan tahun pastinya. Pararaton menyebut pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1295, namun dikisahkan sesudah kematian Raden Wijaya. Menurut naskah ini, pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara naik takhta. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia dan digantikan kedudukannya oleh Jayanagara terjadi pada tahun 1309. Akibatnya, sebagian sejarawan berpendapat bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1309, bukan 1295. Seolah-olah pengarang Pararaton melakukan kesalahan dalam penyebutan angka tahun. Namun Nagarakretagama juga mengisahkan bahwa pada tahun 1295 Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau “raja muda” di istana Daha. Selain itu Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanagara. Lihat, Wikipedia, Ranggalawe, https://id.wikipedia.org/wiki/Ranggalawe, diakses 2 September 2018

[6] Agus Sunyoto, Op Cit

[7] Lihat, Wikipedia, Ranggalawe, Op Cit

[8] Ibid

[9] Agus Sunyoto, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*