Malcolm X (10): Keluar Penjara

in Tokoh

Last updated on April 21st, 2018 02:26 pm

“Aku tidak pernah bermimpi tentang suasana seperti itu di antara orang-orang kulit hitam yang telah belajar untuk bangga bahwa mereka berkulit hitam, yang telah belajar untuk mencintai orang kulit hitam lainnya ketimbang iri dan curiga.

–O–

Suasana pertemuan Nation of Islam pada tahun 1960an. Malcolm X (paling kiri) terlihat sedang memotret Muhammad Ali (paling kanan), mantan juara dunia tinju kelas berat. Photo: Bob Gomel

Di dalam penjara Malcolm membaca banyak sekali buku: politik, filsafat, sejarah, perbudakan, dan lain-lain. Kebanyakan yang dia baca merupakan tema yang berhubungan dengan kulit hitam. Hasil jerih payah Malcolm membaca ini, di kemudian hari, ketika dia sudah bebas dari penjara dan aktif di Nation of Islam (NOI), banyak yang menyangka bahwa dia adalah salah seorang lulusan dari universitas. Padahal Malcolm hanya lulusan SMP.

Di antara sekian banyak buku yang dia baca, ada salah satu buku yang menarik minat perhatian lebih bagi Malcolm, yaitu buku tentang genetik. Malcolm merasa perlu mendapatkan penjelasan ilmiah dari teori Elijah Muhammad tentang asal muasal ras kulit putih. Buku tersebut berjudul Findings in Genetics, karya Gregor Mendel.

Malcolm mempelajari buku tersebut dengan serius, dia membacanya sampai berulang kali. Dari situ, dia memperoleh pengetahuan, jika manusia dimulai dengan kulit hitam terlebih dahulu, maka suatu waktu mereka dapat melahirkan anak kulit putih. Sebaliknya, jika manusia dimulai dengan kulit putih terlebih dahulu, maka manusia tidak akan pernah bisa melahirkan anak kulit hitam, karena gen kulit putih bersifat resesif. Dan, semenjak tidak ada seorang pun yang mempersoalkan bahwa generasi manusia pertama itu memang ada, maka kesimpulannya jelas.

–O–

Malcolm semakin mantap dalam memeluk “agama Islam” yang diajarkan oleh Elijah Muhammad, pemimpin NOI. Malcolm juga mulai memanjangkan janggutnya. Malcolm terus berkoresponden melalui surat dengan Elijah Muhammad. Sudah menjadi prosedur bahwa petugas penjara selalu melakukan sensor terhadap keluar masuknya surat, dari sana mereka tahu bahwa Malcolm telah memeluk Islam.

Mereka khawatir bahwa Malcolm akan menyebarkan Islam di dalam penjara. Oleh karena itu, The Norfolk Prison Colony memindahkan kembali Malcolm ke penjaranya yang terdahulu, Charlestown Prison. Lain halnya dengan Norfolk Prison Colony yang lebih mirip dengan tempat rehabilitasi, di mana para narapidana memiliki lebih banyak kebebasan dengan peraturan yang lebih longgar, di Charlestown Prison peraturannya jauh lebih ketat, tempat itu selayaknya penjara pada umumnya yang menampung para kriminal.

Di Charlestown Prison Malcolm mulai menggunakan kacamata, matanya sudah rusak karena terlalu sering membaca dalam kegelapan. Di sana Malcolm mengikuti program kelas Alkitab, banyak negro yang mengikutinya. Pengajarnya adalah seorang kulit putih, berambut pirang, dan bermata biru, sebuah penggambaran yang sempurna bagi seorang “setan”. Dia adalah mahasiswa seminari dari Universitas Harvard.

Ketika pemuda itu sedang membahas tentang Santo Paulus, Malcolm mengangkat tangannya untuk bertanya, dia mengangguk memberi izin, Malcolm kemudian berdiri, bertanya, “apa warna (kulit) Paulus?” Malcolm diam sejenak kemudian melanjutkan, “dia seharusnya hitam, karena dia adalah Ibrani, dan orang-orang Ibrani asli adalah hitam, bukankah begitu?”

Pemuda kulit putih itu wajahnya mulai memerah, dan dia berkata, “Ya.” Malcolm melanjutkan, “apa warna Yesus? Dia adalah Ibrani juga, bukankah begitu?” Baik narapidana kulit putih maupun hitam mulai gaduh. Pemuda itu mulai berjalan dengan rikuh, lalu dia berkata, “Yesus (berkulit) coklat.” Malcolm membiarkannya, dia tidak ingin mendesak lebih jauh.

–O–

Demikianlah, hari demi hari dilalui Malcolm di dalam penjara, hingga akhirnya hari pembebasannya telah tiba. Malcolm mendapatkan keputusan dari Dewan Pembebasan Negara Bagian Massachusetts untuk dibebaskan dari penjara pada tahun 1952. Malcolm keluar dari gerbang penjara tanpa menoleh ke belakang sama sekali.

Keluar dari penjara, selanjutnya Malcolm memilih untuk tinggal di Detroit, karena di sanalah basis umat Islam negro berada. Di Detroit, Malcolm bekerja di sebuah toko mebel milik orang Yahudi, di mana kakak Malcolm yang bernama Wilfred menjadi manajernya. Malcolm mendapatkan posisi menjadi salesman.

Wilfred dengan baik hati menawarkan Malcolm untuk tinggal di rumahnya. Hangatnya suasana di dalam rumah keluarga Wilfred memberikan nuansa “penyembuhan” bagi Malcolm yang sudah bertahun-tahun tinggal di dalam dinginnya penjara. Namun yang lebih membuat Malcolm senang adalah suasana di dalam rumah yang membuat Malcolm menjadi lebih sering shalat, mereka semua adalah Muslim.

Di rumah ini Malcolm mempelajari lebih dalam tentang praktik keaagamaan orang-orang Islam: cara berwudhu, cara shalat, cara mengucapkan salam, cara mengucapkan takbir, bismillah, hamdallah, dan seterusnya. Oleh Wilfred, Malcolm mendapatkan penjelasan, bahwa keluarga Muslim shalat ketika matahari sudah berada di dekat cakrawala. Jika waktu itu terlewatkan, shalat harus ditunda sampai matahari melewati cakrawala. “Muslim bukanlah penyembah matahari. Kami shalat menghadap timur dalam kebersamaan bersama dengan 725 juta saudara dan saudari (Muslim) sisanya di seluruh dunia Muslim,” kata Wilfred.

Di Detroit Malcolm mulai mengunjungi “Kuil Nomor Satu” (Temple Number One) milik Elijah Muhammad. Kuil ini dibangun oleh Guru W. D. Fard pada tahun 1931. Di sana Malcolm melihat suasana kekeluargaan yang begitu tinggi. “Aku tidak pernah bermimpi tentang suasana seperti itu di antara orang-orang kulit hitam yang telah belajar untuk bangga bahwa mereka berkulit hitam, yang telah belajar untuk mencintai orang kulit hitam lainnya ketimbang iri dan curiga. Saya senang bagaimana kami para pria Muslim menggunakan kedua tangan untuk meraih kedua tangan seorang saudara laki-laki (kulit) hitam, berkata dan (mengungkapkan) kebahagiaan ketika bertemu dengannya lagi.

“Para wanita Muslim, baik yang sudah menikah maupun lajang, diberi kehormatan dan rasa hormat yang belum pernah saya lihat pada pria kulit hitam berikan kepada wanita mereka, dan itu terasa luar biasa bagiku. Sambutan yang kami berikan satu sama lain begitu hangat, dipenuhi dengan rasa saling menghormati dan kemuliaan: ‘Saudara…. Saudari…. Bu…. Tuan.’ Bahkan anak-anak ketika berbicara kepada anak-anak lain menggunakan cara-cara ini. Indah!” kata Malcolm. (PH)

Bersambung ke:

Malcolm X (11): Bertemu Elijah Muhammad, “Sang Nabi”

Sebelumnya:

Malcolm X (9): “Terbebaskan” di Dalam Penjara

Catatan:

Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan bebas dari buku karya Malcolm X dan Alex Haley, The Autobiography of Malcolm X, (Ballantine Books: New York 1992), hlm 114-127.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*