Malcolm X (9): “Terbebaskan” di Dalam Penjara

in Tokoh

Last updated on April 20th, 2018 01:47 pm

Di dalam penjara, “Bulan demi bulan berlalu tanpa saya berpikir sedang dipenjarakan. Bahkan, hingga saat itu, saya tidak pernah merasa benar-benar bebas dalam hidup saya.”

~Malcolm X

–O–

Seorang Narapidana membaca di dalam penjara. Photo: SPAARNESTAD PHOTO/REDUX

Ide-ide dari Elijah Muhammad tentang ras kulit hitam yang merupakan manusia asli di muka bumi, dan ras kulit putih iblis yang sengaja diciptakan untuk membuat kekacauan di muka bumi segalanya tampak menjadi cocok dengan berbagai peristiwa yang dialami Malcolm dari sejak kecil. Segala macam penindasan yang dialaminya sendiri, keluarganya, teman-temannya, dan negro-negro lainnya oleh kulit putih, kini bagi Malcolm menjadi jelas, apa saja alasan di balik semua itu. Maka, Malcolm pun terpengaruh, inilah saatnya bagi kulit hitam untuk mengambil alih kembali semua yang telah diambil oleh kulit putih, si Iblis pengacau dunia.

Malcolm menulis surat kepada Elijah Muhammad, halaman pertama dari surat pertamanya dia tulis berulang kali sampai menurut Malcolm itu cukup untuk dapat dibaca dan dimengerti, Malcolm merasa bahkan untuk dirinya sendiri tulisan tangannya tidak dapat dibaca dan dimengerti. Menurut Malcolm, pada waktu itu dia sangat buruk dalam menuliskan kata dan tata bahasa yang benar.

Walaupun demikian, Elijah Muhammad membalas surat Malcolm. Di antara isi dalam suratnya, Elijah Muhammad berkata, “narapidana kulit hitam merupakan perlambang kejahatan dari masyarakat kulit putih yang membuat orang-orang kulit hitam tertindas, tercerabut, dan bodoh, dan (kerena) tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, mereka berubah menjadi kriminal.”

Elijah berkata kepada Malcolm, bahwa dia harus memiliki keberanian. Dia bahkan menyertakan sejumlah uang untuk Malcolm, yakni sebanyak lima dolar. Di kemudian hari Malcolm mengetahui bahwa Elijah memberikan uang kepada seluruh narapidana di penjara yang mengirim surat kepadanya. Ketika di akhir suratnya Elijah Muhammad memberikan tandatangan dengan titel “Utusan Allah”, hati Malcolm bergetar.

Secara reguler saudara-saudara Malcolm mengirim surat kepadanya, dan mengajaknya untuk shalat, “menghadaplah ke Allah…. Shalat ke arah timur.” Di antara seluruh ide-ide tentang agama baru ini, yang tersulit bagi Malcolm adalah shalat, karena dia harus berlutut. “Anda tahu apa yang telah saya alami dalam hidup? Membongkar kunci rumah seseorang untuk merampok adalah satu-satunya kegiatan yang dapat membuatku berlutut. Saya harus memaksakan diri untuk menekuk lutut saya. Dan gelombang rasa malu dan jengah akan memaksa saya untuk kembali berdiri,” kata Malcolm.

Bagi Malcolm yang pada waktu itu, bahkan oleh teman-temannya di penjara dijuluki “Si Setan”, berlutut, mengakui kesalahannya, dan memohon ampunan dari Tuhan, adalah hal yang paling sulit. Lagi dan lagi, Malcolm terus memaksa dirinya sendiri untuk berlutut dan bersujud. Ketika pada akhirnya dia berhasil bersujud, dia malah tidak tahu apa yang harus dia ucapkan kepada Allah.

–O–

Pada tahun-tahun selanjutnya dalam kehidupan Malcolm di penjara, dia sudah sangat mirip dengan pertapa. Dia menghabiskan waktu-waktunya untuk memikirkan dan merenungkan kehidupannya di masa lalu. Ketimbang bercengkerama dengan teman-temannya di penjara, Malcolm lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menyendiri, atau menulis surat. Dari setiap surat yang didapatkan Malcolm dari saudara-saudaranya, Malcolm selalu mendapat pengetahuan baru tentang agama Islam, agama natural bagi para kulit hitam.

Dalam hal mengais ilmu, Malcolm cukup beruntung, perpustakaan The Norfolk Prison Colony, tempat Malcolm dipenjarakan, ada di gedung sekolah. Berbagai kelas diajarkan di sana oleh instruktur yang berasal dari institusi-institusi pendidikan seperti Universitas Harvard dan Boston. Acara debat mingguan antara tim narapidana juga diadakan di gedung sekolah.

Perpustakaan Norfolk Prison Colony sangat unik, karena dia memiliki koleksi buku yang luar biasa. Seorang milyuner yang bernama Parkhurst, bekerja sama dengan pihak penjara mendirikan perpustakaan dan memindahkan koleksi-koleksi bukunya ke perpustakaan tersebut. Dia mungkin adalah seseorang yang memiliki minat terhadap program rehabilitasi narapidana.

Buku-buku yang bertema sejarah dan agama adalah minat terbesarnya. Ribuan bukunya ada di rak, sementara di luar itu masih ada buku-buku lainnya yang masih tersimpan di dalam peti-peti yang berat. Ada banyak ratusan buku tua yang memiliki jilid bersambung, beberapa di antaranya merupakan buku langka. Universitas manapun akan merasa sangat beruntung apabila bisa mendapatkan buku tersebut.

Malcolm membaca banyak sekali buku, namun ketimbang membacanya di perpustakaan, dia lebih menyukai membaca di dalam selnya, karena di sana lebih sunyi. Ketika Malcolm sedang larut dalam buku bacaannya, setiap jam 10 malam ketika  lampu sel dimatikan oleh petugas, dia merasa sangat kesal. Untungnya, dari sebelah kanan pintu selnya, masih ada sedikit cahaya dari koridor, maka Malcolm akan melanjutkan kegiatan membacanya sambil duduk di lantai. Perlahan, mata Malcolm mulai terbiasa membaca dalam keremangan.

Sejam sekali, sipir penjara akan datang melakukan ronda ke sekeliling penjara. Setiap Malcolm mendengar langkah, maka Malcolm akan melompat ke ranjangnya dan berpura-pura tidur. Semakin hari, Malcolm semakin pintar mengakali keaadaan tersebut, setiap 58 menit, dia akan kembali ke ranjang dan pura-pura tertidur. Dengan pola seperti itu, Malcolm terus melanjutkan bacaannya sampai dini hari. Malcolm hanya tidur selama 3-4 jam setiap harinya.

“Di antara ajaran-ajaran Tuan Muhammad, korespondensi saya, para pengunjung saya — biasanya Ella dan Reginald — dan kegiatan membaca buku saya, bulan demi bulan berlalu tanpa saya berpikir sedang dipenjarakan. Bahkan, hingga saat itu, saya tidak pernah merasa benar-benar bebas dalam hidup saya,” kata Malcolm. (PH)

Bersambung ke:

Malcolm X (10): Keluar Penjara

Sebelumnya:

Malcolm X (8): Asal Muasal Ras Kulit Putih (2)

Catatan:

Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan bebas dari buku karya Malcolm X dan Alex Haley, The Autobiography of Malcolm X, (Ballantine Books: New York 1992), hlm 112-114.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*