Megatruh: Sebuah Syarah Kesejarahan (1)

in Studi Islam

Last updated on June 14th, 2019 11:16 am

Ya. Inilah judul pidato kebudayaan saya malam ini, Megatruh (Megat-ruh). Megat artinya memutus. Jadi, megatruh adalah memutus ruh. Suasana dukacita yang mendalam. Bukan suasana perasaan semata, tetapi suasana roh yang putus dan berada dalam alam lain.”


Gambar ilustrasi. Sumber: djarumfoundation.org


Siapa yang tidak kenal dengan Alm. Willibrordus Surendra, atau lebih populer dikenal dengan nama WS Rendra. Pria yang juga dijuluki “Burung Merak” ini, lahir dari keluarga Kristen Kathotik di Solo, pada 7 November 1935.[1]  Ayahnya bernama R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan ibunya bernama Raden Ayu Catharina Ismadillah. Kedua orang tuanya adalah pelaku seni. Ayahnya adalah seorang pendrama, dan juga guru bahasa Jawa dan bahasa Indonesia di sekolah Katolik di Solo. Adapun ibunya adalah seorang penari Serimpi yang sering manggung untuk keraton Solo.[2]

Dalam perjalanan hidupnya, Rendra dikenal sebagai penyair, seniman, dan juga seorang budayawan. Sebagian kalangan bahkan menganggap bahwa WS. Rendra adalah penyair terbesar di era Indonesia modern setelah Charil Anwar.

Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya yang berjudul Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern, Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa dia mempunyai kepribadian dan kebebasan tersendiri.[3]

Salah satu yang membedakan Rendra dari banyak penyair lainnya, adalah kemampuannya merentangkan rumusan-rumusan saintifik ke dalam bahasa sastra yang kompleks dan penuh makna. Sebagaimana dikatakan oleh Bakdi Soemanto, bahwa karya ilmiah berbeda dengan karya sastra. Karya ilmiah menyusun fakta sebagaimana adanya. Karena yang dibutuhkan oleh karya ilmiah adalah ketepatan makna. Sedang karya sastra, memerlukan nuansa dan kedalaman makna.[4]

Di samping berdiri di atas metodologi ilmiah yang ajeg,
karya-karya Rendra juga mampu menyajikan nuansa dan memiliki kedalaman makna yang tinggi. Bakdi Soemanto mencontohkan kepiawaian Rendra tersebut tercermin dalam salah satu teaternya yang berjudul “Mostodon dan Burung Kondor”. Teater tersebut dipentaskan pada tahun 1973, ketika perekonomian Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru mulai menggeliat dan pembangunan sedang gencar-gencarnya diselenggarakan.

Dalam kondisi demikian, stabilitas keamanan menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Pementasan yang direncanakan Rendra mengundang kecurigaan dari aparat. Tapi disinilah juga kelebihan Rendra. Selain pandai mencipta karya sasta, dia juga mahir dalam menyadur lakon dan mengadaptasikannya dengan realitas yang dekat di sekitarnya. Di dalam pementasan Mostodon dan Burung Kondor, nama-nama lakonnya adalah Jose Karosta, Pedro Aros, Emanuel Vardes, dan lain-lain, berhasil menyamarkan pesan sesungguhnya dari pementasan tersebut.[5]

Dalam pementasan tersebut, ada salah satu tokoh yang bernama Max Kharlos, seorang yang mewakili rezim militer yang menguasai negeri itu. Dia suatu ketika berpidato sebagai berikut, ”…Itulah sebabnya kami telah mengambil alih kekuasaan, memberantas unsur-unsur perpecahan. Kami mampu memberikan arah kepada pembangunan. Inilah semua yang dibutuhkan oleh rakyat yang menderita. Inilah obat untuk negara yang telah lama menderita luka perpecahan. Sekarang sudah delapan tahun pemerintahan ini berjalan. Lihatlah apa yang telah dikerjakan; hotel-hotel internasional kelas satu dimana-mana. Shopping center kita tegakkan. Pabrik-pabrik bermunculan. Pendapatan nasional meningkat 260%. Coba bayangkan 260%! Sungguh suatu sukses yang gemilang. Hasil di bidang pendidikan pun lebih nyata, Universitas-universitas tertib rapih. Mahasiswa-mahasiswa kembali rajin memenuhi tugasnya. Mereka tidak lagi tenggelam ke dalam kekacauan politis, tetapi kegiatan terarah dalam organisasi positif yang kita namakan ‘Batalyon Pembangunan’.”[6]

Lalu datanglah lakon utama dalam pementasan itu yang bernama Jose Karosta, yang menanggapi pidato yang dipaparkan oleh
Max Kharlos dengan data yang kontras, bahwa ternyata semua pembangunan yang dibanggakan itu tidak memiliki dampak ekonomi kepada masyarakat banyak. Jumlah pengangguran tetap tinggi, dan jurang si miskin dan si kaya makin menganga.

Dari dialog ini, Rendra berhasil menghadirkan ironi dan sentuhan-sentuhan yang menggugah. Menurut Bakdi Soemanto, suasana protes kepada kondisi tidak adil itu diduga merupakan suasana hati Rendra. Dari gugusan data yang memang merupakan peristiwa yang terjadi di Amerika Latin (bekas jajahan Spanyol), Rendra berhasil mengadaptasikannya dengan apik, sesuai kondisi yang tejadi di Indonesia masa itu. Dengan demikian, lakon Mostodon dan Burung Kondor tidak semata-mata menelanjangi rezim orde baru yang sedang berkuasa waktu itu, tapi juga menjadi sebuah refleksi kebangsaan yang menggugah.[7]

Demikianlah Rendra, selain memiliki talenta kemampuan memeras data saintifik dan menyajikannya ke dalam pentas seni yang bermutu tinggi, dia juga mampu secara cerdik mengemas pesan yang ingin disampaikannya dengan teknik yang tak terduga.

Selain memiliki talenta dalam bidang seni, Rendra juga dikenal sebagai seorang petualang ruhani yang tangguh. Meski terlahir dari keluarga yang beragama Kristen, Rendra juga tercatat pernah mendalami agama Budha, dan juga agama-agama Asia, seperti Hindu, Taoisme dan semacamnya. Hingga akhirnya, petualangan ruhani nya berakhir di agama Islam.

Tapi Rendra tetaplah Rendra. Setelah memeluk agama Islam, dia tidak kehilangan jati dirinya sebagai petualang ruhani yang haus pada kebenaran. Syair-syair yang buatnya tetap kritis dan menggugah. Bahkan lebih dari itu, teknik penyampaiannya terasa kian matang, kompleks, dan tersusun dari gugus narasi ilmiah yang makin kokoh.

Salah satu yang cukup monumental adalah pidato kebudayaannya yang disampaikan pada peringatan HUT ke-29 Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Secara kebetulan, momen tersebut itu juga bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 1997. Pidato kebudayaan tersebut, dia beri judul “Megatruh”. Dalam pengantarnya sebelum pidato tersebut, Rendra menyatakan: [8]

“Ya. Inilah judul pidato kebudayaan saya malam ini, Megatruh (Megat-ruh). Megat artinya memutus. Jadi, megatruh adalah memutus ruh. Suasana dukacita yang mendalam. Bukan suasana perasaan semata, tetapi suasana roh yang putus dan berada dalam alam lain.” (AL)

Bersambung…

Catatan kaki:


[1] Uraian lebih jauh mengenai WS. Rendra dan lika-liku perjalanan hidupnya dalam mencari Kebenaran, redaksi ganaislamika.com perna menerbitkan serial artikel berjudul, “WS. Rendra: Sang Penyair”. Untuk membacanya, bisa mengakses link berikutu: https://ganaislamika.com/ws-rendra-1/

[2] Lihat, Biografi W.S. Rendra — Penyair dan Sastrawan Indonesia, http://www.biografi.id/2014/07/biografi-ws-rendra-penyair-dan.html, diakses 9 Oktober 2017.

[3] Lihat, WS Rendra Memeluk Islam Karena Baca Al-Ikhlas…Mengetarkan, “http://pribuminews.co.id/2016/12/29/ws-rendra-memeluk-islam-karena-baca-al-ikhlas-mengetarkan/”, diakses 9 Oktober 2017.

[4] Lihat, Bakdi Soemanto, Rendra: Karya dan Dunianya, (Jakarta: Grasindo, 2003), hal. 5

[5] Ibid, hal. 8

[6] Ibid, hal. 6-7

[7] Ibid, hal. 9

[8] Lihat, Rendra: Ia Tak Pernah Pergi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hal. 241

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*