Para pemimpin bangsa kita, dari sejak zaman raja-raja dahulu kala, memang tidak pernah menaruh perhatian kepada pengembangan Daulat Manusia pada umumnya. Karena tatanan masyarakat leluhur kita…, berlandaskan kenyataan bahwa yang kuat itu yang benar (might is right). Dan yang terkuat di dalam masyarakat tentunya raja. Jadi sabda raja (dekrit raja atau Keppraj, yaitu keputusan raja) yang menjadi sumber kebenaran.
Di awal pidato kebudayaanya, Rendra menyampaikan puisi yang berjudul Megatruh. Dalam puisi tersebut Rendra secara gamblang memaparkan ironi zaman ini. Zaman yang tak dikenali bentuk dan identitasnya. Warnanya tersusun dari serangkaian kontradiksi yang memalukan. Berikut kata Rendra:
O, AKAL SEHAT JAMAN INI !
BAGAIMANA MESTI KUSEBUT KAMU ?
KALAU LELAKI KENAPA SEPERTI KUWE LAPIS ?
KALAU PEREMPUAN KENAPA TIDAK KEIBUAN ?
DAN KALAU BANCI KENAPA TIDAK PUNYA KEULETAN ?
AKU MENAHAN AIR MATA
PUNGGUNGKU DINGIN
TETAPI AKU MESTI MELAWAN
KARENA AKU MENOLAK BERSEKUTU DENGAN KAMU !
KENAPA ANARKI JALANAN
MESTI DITINDAS DENGAN ANARKI KEKUASAAN ?
APAKAH HUKUM TINGGAL MENJADI SYAIR LAGU DISCO ?
TANPA PANCAINDRA UNTUK FAKTA
TANPA KESADARAN UNTUK JIWA
TANPA JENDELA UNTUK CINTA KASIH
SAYUR MAYURLAH KAMU
DIBIUS PUPUK DAN INSEKTISIDA
KAMU HANYA BERMINAT MENGGEMUKKAN BADAN
TIDAK MAMPU BERGERAK MENGHAYATI CAKRAWALA
TERKESIMA
TERBENGONG
TERHIBA-HIBA
BERAKHIR MENJADI HIDANGAN PARA RAKSASA
O, AKAL SEHAT JAMAN INI
KERNA MENOLAK MENJADI EDAN
AKU MELAWAN KAMU !
Ketidakjelasan warna dan identitas zaman itu, menurut Rendra telah menjadikan manusia yang dihidup di dalamnya sebagai hidangan para raksasa. Anarki kekuasaan menindas kebebasan asasi individu manusia; karena hukum tinggal menjadi syair lagu disco; sudah diatur sedemikian rupa, tanpa berpijak pada fakta empiris, tanpa kesadaran tentang keadilan dan cinta kasih. Masyarakatnya sibuk pada urusan materi, tak memiliki visi peradaban yang jelas. Mereka hanya bisa terkesima melihat kemajuan bangsa lain, terbengong, dan akhirnya terhiba-hiba.
Selanjutnya, Rendra memaparkan alur gerak peradaban Nusantara, khususnya Jawa. Kisah sejarah kehidupan Nusantara adalah kisah tentang elit, bukan tentang rakyat. Karena tatanan masyarakat leluhur kita…, berlandaskan kenyataan bahwa yang kuat itu yang benar (might is right). Dan yang terkuat di dalam masyarakat tentunya raja. Jadi sabda raja (dekrit raja atau Keppraj, yaitu keputusan raja) yang menjadi sumber kebenaran. Kenyataan ini secara otomatis menegasikan martabat sejati manusia dan masyarakat; atau dalam istilah Rendra, “daulat manusia”.
Para hadirin yang terhormat,
Perkenankanlah saya mengulang apa yang sudah saya ucapkan dalam beberapa wawancara dengan pers. Adalah kodrat manusia bahwa ia mengandung Daulat Alam dan Daulat Manusia di dalam dirinya. Kebudayaan yang kita warisi dari leluhur banyak merenungkan dan menghayati Daulat Alam di dalam kehidupan: kelahiran, kematian, perjodohan, nasib rezeki, penghayatan pancaindra, penghayatan badan dan penghayatan alam semesta.
Tetapi merenungkan Daulat Manusia tidak pernah tuntas. Daulat manusia terbatas sekali oleh sifat alam dalam dirinya. Terutama sekali terbatas oleh kelahirannya. Kalau lahir sebagai orang bawah, sebagai orang miskin, sebagai orang tanpa pendidikan, atau sebagai orang perempuan, sukar untuk meningkat keatas, karena tatanan masyarakat diatur seperti tatanan didalam alam: yang tikus tetap tikus, yang kucing tetap kucing, yang kambing tetap kambing, yang macan tetap macan. Hanya para jagoan saja yang bisa menerobos tatanan masyarakat yang seperti itu. Misalnya Ken Arok, si anak jadah dan kriminal jalanan yang akhirnya bisa menjadi raja itu; atau Gajah Mada, tukang pukul yang akhirnya bisa menjadi mahapatih; atau Untung Surapati, seorang hamba sahaya yang bias meningkat menjadi pahlawan atau jagoan; atau Ir. Soekarno, seorang anak guru yang bisa menjadi Presiden Indonesia yang pertama; atau orang-orang melarat yang bisa menjadi konglomerat.
Oh ya, akhirnya banyak juga jagoan-jagoan dalam berbagai bidang bisa muncul. Tetapi kejagoannyalah yang membuat dia mampu mendobrak tatanan hidup yang resmi, yang sebenarnya tidak banyak memberi hak kepada khalayak banyak untuk memperkembangkan Daulat Manusia mereka.
Para pemimpin bangsa kita, dari sejak zaman raja-raja dahulu kala, memang tidak pernah menaruh perhatian kepada pengembangan Daulat Manusia pada umumnya. Saat Aristoteles, filsuf Yunani (384-322SM) menulis buku “Politica”, menerangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin bangsanya, dan tidak membenarkan adanya tirani kekuasaan, para pemimpin bangsa kita masih hidup dalam kegelapan sejarah dan jelas tidak berminat pada filsafat. Dan pada waktu Raja John dari Inggris mengesahkan Undang-Undang yang disebut orang sebagai Magna Carta, yaitu tahun 1215, raja mengakui kejelasan hak-hak bangsawan bawahannya dan juga hak-hak rakyat yang harus ia hormati dan tak mungkin dia langgar.[1]
Jawa pada saat itu berada dalam pemerintahan Tunggul Ametung yang sebentar lagi akan digantikan oleh Ken Arok. Kedua penguasa dari Jawa itu tak pernah memikirkan atau mengakui UU apapun. Sabda raja itulah UU bagi rakyat. Sebagaimana dalam alam bahwa yang kuat itu yang menang.
Maka tatanan masyarakat leluhur kita itupun berlandaskan kenyataan bahwa yang kuat itu yang benar (might is right). Dan yang terkuat di dalam masyarakat tentunya raja. Jadi sabda raja (dekrit raja atau Keppraj, yaitu keputusan raja) yang menjadi sumber kebenaran.
Tentu saja seorang raja Jawa tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang. Ia diharapkan untuk Ambeg Paramarta serta menghayati Hasta Brata. Tetapi bila ternyata raja tidak memenuhi harapan itu, dan kejam seperti Amangkurat Tegalarum atau menjijikkan seperti Amngkurat II, ya tidak ada sanksi apa-apa sebab dia kuat, dia raja.(AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Magna Carta adalah piagam yang dikeluarkan pada 15 Juni 1215 di Sungai Thames, Runnymede, Surrey. Piagam tersebut membahas mengenai pembatasan otoritas monarki Inggris sejak masa Raja John dari kekuasaan absolut. Piagam ini muncul dari hasil perselisihan antara Paus, Raja John, dan para Lord atas hak-hak raja. Tapi piagam ini hanya bertahan sampai September 1215. Ketika surat dari Paus tiba dan melepaskan John dari sumpahnya. Keputusan ini menjerumuskan Inggris kembali ke dalam perang saudara. Lihat, Fakta Dibalik Lahirnya Piagam Magna Carta (1), https://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/15/06/15/npzs8j-fakta-dibalik-lahirnya-piagam-magna-carta-1, diakses 12 Juni 2019 2