Megatruh: Sebuah Syarah Kesejarahan (3)

in Studi Islam

Last updated on July 25th, 2019 07:20 am

Tentang “Daulat manusia” yang disebut Rendra dalam pidato kebudayaan berjudul Megatruh, adalah sebuah diskursus politik paling purba dalam sejarah peradaban manusia. Untuk itu, pidato Rendra tidak hanya menarik, tapi juga penting untuk dicerna lebih dalam.

Gambar ilustrasi. Sumber: vupicso.pw

Sebenarnya, yang membuat menarik pidato kebudayaan Rendra berjudul Megatruh, adalah keberaniannya mengajak para audiens untuk masuk pada masalah pokok kehidupan politik umat manusia, yaitu tentang daulat (kuasa). Pertanyaan mendasar yang selalu muncul dalam diskursus politik di setiap zaman adalah tentang siapa pemilik kedaulatan sesungguhnya? rakyat, atau raja (pemimpin)? Dan bagaimana daulat itu diberikan, didudukkan, serta dikelola?

Daulat raja, adalah konsep politik paling purba dalam sejarah peradaban manusia. Pada mulanya, daulat raja berasal dan diberikan oleh rakyat. Tapi lambat laun, para raja percaya bahwa daulat yang mereka miliki berasal dari Tuhan. Dan sampai titik tertentu, tidak sedikit para raja yang akhirnya mengaku sebagai tuhan itu sendiri. Yang paling nampak nyata dalam sejarah adalah apa yang dilakukan oleh Firaun di Mesir.

Adapun tentang daulat manusia, konsep politik paling purba yang tercatat membahas mengenai hal ini, mungkin apa yang dulu didiskusikan oleh para pemikir Yunani seperti Plato dan Aristoteles, lebih dari tiga abad Sebelum Masehi.

Karya Aristoteles, khususnya Politics merupakan sumber inspirasi bagi perumusan teoritis konsep bentuk-bentuk negara, revolusi sosial dan lain-lain. Di sisi lain, warisan intelektual Yunani mempengaruhi secara substansial lahirnya perkembangan gerakan intelektual seperti Renaisans, Reformasi dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa itu merupakan tonggak-tonggak terpenting sejarah pemikiran Barat. Gagasan Barat mengenai negara, kekuasaan politik, keadilan, dan demokrasi, secara geneologis intelektual juga bisa dilacak dari tradisi politik negara-negara kota Yunani klasik yang dinamakan polis atau negara kota (city state).[1]

Pada masa selanjutnyam konsep-konsep politik para para pemikir Yunani klasik tersebut disempurnakan oleh masyarakat Romawi dengan munculnya Kodifikasi Justiniasius pada pertengahan abad ke enam Masehi (527-565 M). Sebagaimana dikatakan oleh Sharma, “Romawi sebenarnya hanya membuat pemikiran spekulatif Yunani menjadi praktis dan dapat diterapkan serta mensistematisasi berbagai pemikiran politik Yunani berkaitan dengan pembentukan hukum positif, pemisahan politik dengan etika, agama dengan hukum, pemisahan politik dengan etika, agama dengan hukum, pembedaan antara masyarakat dan negara, kedaulatan politik dan personalitas negara sebagai pembuat hukum.”[2]

Tapi setelah era itu, masyarakat barat memasuki masa yang mereka sebut sebagai zaman kegelapan (the dark age). Pada era ini, masyarakat kehilangan nyaris seluruh kedaulatannya. Mereka dihimpit oleh berlapis otoritas di atasnya, mulai dari raja, pemuka agama, hingga tuan tanah. Sedang karya-karya pemikir Yunani mendapat tempatnya yang tinggi di dunia Islam.

Salah satu pemikir Islam yang cukup terpengaruh oleh pandangan politik Yunani adalah Abu Nashr Muhammad bin Tarkhan bin Al-Uzalagh Al-Farabi, atau yang dikenal dengan Al-Farabi. Oleh para pemikir modern dia dijuluki sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles.[3]

Dalam karyanya yang berjudul Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota Utama), Al-Farabi benar-benar menekankan pentingnya daulat manusia. Bahkan bisa dikatakan, hampir seluruh isi karya tersebut, mengulas secara khusus tentang daulat manusia, bukan raja. Adapun sejumlah ciri pemimpin yang panjang lebar juga diulasnya, tidak lain bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya daulat manusia tersebut.

Sebagaimaan diungkapnya, “Manusia, temasuk dalam spesies-spesies yang tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan penting mereka, ataupun mencapai keadaan terbaik mereka, kecuali melalui asosiasi (perkumpulan) banyak kelompok dalam suatu tempat tinggal yang sama..”[4]

Lebih lanjut menurut Al-Farabi, “Demi mempertahankan (keberadaannya)-nya dan mencapai kesempurnaan-kesempurnaan tertingginya, setiap manusia secara alami membutuhkan banyak hal yang tak semuanya dapat dia penuhi sendiri. Dia sungguh membutuhkan orang-orang yang masing-masing memasoknya dengan kebutuhan tertentunya. Setiap orang mendapati dirinya dalam hubungan yang sama dengan orang lain dengan cara seperti ini. Oleh karenanya, manusia tidak dapat meraih kesempurnaan itu, yang untuk itu sifat bawaannya telah diberikan kepadanya, kecuali (melalui asosiasi) banyak (kelompok) orang, yang bekerjasama, berkumpul bersama, masing-masing memasok orang-orang lainnya dengan beberapa kebutuhan tertentu. Sehingga, sebagai hasil sumbangan seluruh komunitas, segala sesuatu yang dibutuhkan semua orang untuk mempertahankan diri dan mencapai kesempurnaan (dapat) dikumpulkan (dan didistribusikan).”[5]

Dalam kerangka itu, “Kota Utama”(Al-Madinah Al-Fadhilah) menurut Al-Farabi, adalah “kota – yang melalui perkumpulan yang ada di dalamnya – bertujuan untuk bekerjasama dalam mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya.” Adapun pemimpin di dalam Kota Utama tersebut adalah sosok yang “…benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan…, dia mampu memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya. Dia mampu membimbing dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Dia mampu memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan, dia mampu menentukan, mendefinisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah kebahagiaan. Hal ini hanya terdapat pada orang yang memiliki kecenderungan alami yang besar lagi unggul, bila jiwanya bersatu dengan akal aktif. … Orang seperti ini adalah pangeran sejati menurut para leluhur; dialah orang yang tentangnya dikatakan bahwa dia menerima wahyu. … Pemerintahan orang seperti ini merupakan pemerintahan tertinggi; pemerintahan yang lainnya berkedudukan di bawanya, dan berasal darinya.”[6]

Demikianlah konsep ideal kehidupan bernegara menurut Al-Farabi. Selain “Kota Utama” (Al-Madinah Al-Fadhilah) – kota-kota jenis lain – oleh Al-Farabi dinilai sebagai “kota jahiliyah”. Namun dia juga menyadari adalah suatu yang sulit bagi masyarakat untuk menemukan sosok pemimpin ideal yang dimaksud untuk memimpin Kota Utama. Maka sebagai solusi yang agak lebih baik dari kemungkinan sistem lainnya, Kota Demokratis lah yang paling ideal. Alasannya, karena sistem demokrasi paling menghormati daulat manusia.

Menurut Al-Farabi kota demokratis adalah “Kota yang setiap penduduknya mendapat keleluasaan dan dibiarkan melakukan apapun yang dikehendakinya. Penduduknya setara, dan hukum mereka mengatakan bahwa sama sekali tak ada orang yang lebih baik daripada orang lain. Penduduknya leluasa melakukan apapun yang dikehendakinya. Dan tak ada orang, apakah dia itu penduduk atau bukan penduduk, dapat mengklaim berwewenang kecuali bila dia bekerja untuk memperbesar kemerdekaan mereka. …Mereka yang memerintah, berbuat demikian mengikuti kehendak mereka yang diperintah, dan penguasa mengikuti kehendak yang dikuasai.”[7]

Lebih lanjut Al-Farabi mengatakan, “Segenap upaya keras dan tujuan-tujuan kota-kota jahiliyah ada dalam kota seperti ini dengan cara yang sempurna. Di antara semua (kota-kota jahiliyah) itu, inilah kota yang paling terpuji dan bahagia.”[8]

Al-Farabi, lahir pada tahun 870 M di Transoxiana, dan wafat di Damaskus pada 950 M. Di periode yang sama, Imperium Sriwijaya dengan mengecap era keemasannya di Nusantara. Konon, wilayah kekuasaannya membentang dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya, hingga ke Kamboja. Tidak jelas bagaimana sistem politik yang digunakan Sriwijaya ketika itu. Tapi sejumlah informasi sejarah mengatakan bahwa negeri ini dipimpin oleh seorang raja, yang besar kemungkinan memiliki sifat despotik yang sama dengan umumnya kerajaan lain di dunia. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarat: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 5

[2] Ibid, Lihat juga, Sharma, Western Political Thought, (Plato to Hugo Grotius), (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1982), hal. 95-97

[3] Terkait biografi singkat Al-Farabi, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/al-farabi-sang-guru-kedua/

[4] Lihat, Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini; Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 60

[5] Ibid

[6] Ibid, hal. 61

[7] Ibid, hal. 75

[8] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*