Megatruh: Sebuah Syarah Kesejarahan (8)

in Studi Islam

Last updated on August 23rd, 2019 07:08 am

R. Michael Feener dalam salah satu jurnalnya menyebutkan, bahwa sebelum datangnya kolonialisme bangsa Eropa, Islam lebih dikenal sebagai ajaran nilai yang mewujud sebagai akhlak yang mulia, ketimbang identitas kelompok tertentu. Seperti sebuah trend etika, nilai-nilai agama ini menyatu secara alamiah dengan kebudayaan setempat.

Gambar ilustrasi. Sumber: padebooks.com

Sebagaimana sudah diurai pada edisi sebelumnya, bahwa Kitab Undang-Undang Angger Surya Ngalam yang menjadi payung hukum masyarakat Demak, secara esensial tidak banyak berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Kutara Manawadharmasastra yang berlaku pada era Majapahit.

Dengan demikian bisa diasumsikan, bila Kesultanan Demak dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa karena alasan hukumnya sesuai dengan syariat Islam, maka besar kemungkinan pada masa Majapahit norma-norma ajaran Islam sudah hidup, bahkan mendominasi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Jawa. Itu sebabnya, nilai-niai tersebut diadopsi oleh Kerajaan Majapahit.

Terkait kapan tepatnya Islam masuk dan berkembang di bumi Nusantara, khususnya di Pulau Jawa, ada sejumlah teori yang menjelaskan hal tersebut. Ada yang menyebut Islam masuk pada abad ke 15,[1] abad 13,[2] abad 12,[3] bahkan ada yang memperkirakan abad ke 7 masehi.[4]

Hingga sekarang, para sejarawan belum menemukan titik temu terkait masalah tersebut. Namun bila kita tinjau dari fakta tentang sistem sirkulasi jalur perdagangan global yang ada pada masa Rasulullah Saw, asumsi bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke 7 atau ke 8 Masehi, sebenarnya sangat mungkin. Karena jalur-jalur tersebut sudah tersambung demikian kompleks, bahkan hingga ke kawasan kepulauan Pasifik.[5]

Hasil penelitian mutahir terkait jalur kayu manis (Cinnamon Route) dan rempah-rempah (Spice Route) yang tulis oleh Charles E.M. Pearce & Frances M. Pearce dalam buku “Oceanic Migration: Paths, Sequence, Timing and Range of Prehistoric Migration in the Pacific and Indian Oceans”,menunjukkan bahwa pelaut-pelaut Nusantara dengan perahu layarnya yang bernama Perahu Halmahera dengan penggandung ganda (The Halmaherian double-outrigger), telah melakukan pelayaran hingga ke Madagascar sejak ribuan tahun lalu.[6] Bentuk perahu layar pelaut Nusantara ini terpampang di relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad 8 M, dan masih digunakan sampai pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit berkuasa.

Jalur pelayaran purba yang disebut sebagai Cinnamon Route. Sumber gambar: https://spiceislandsblog.com, Diakses 14 Oktober 2017
Relief dan replika Kapal yang digunakan para pelaut Nusantara mengarungi samudera. Sumber gambar: https://hurahura.wordpress.com

Adapun terkait kapan tepatnya Islam masuk ke Pulau Jawa, salah satu bukti sejarah yang cukup otentik untuk menunjukkan hal tersebut adalah situs makam di dusun Leran, Desa Pesucian, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Dari sejumlah makam kaum Muslimin yang ada di Pulau Jawa, inilah yang tertua, yang inskripsinya menunjukkan kronogram 475 H atau 1082 M. bukti arkelogis ini kemudian dikenal sebagai Batu Nisan Leren.[7]

Pada salah satu nisan di makam tersebut terdapat inskripsi yang menyebutkan bahwa yang terbaring di situ adalah jasad seorang wanita yang bernama Fatimah binti Maimun. Catatan yang tertera di atas nisan tersebut terdiri atas tujuh baris, di tulis dengan huruf Arab dengan gaya Kufi, yang merupakan model penulisan paling tua di antara semua gaya kaligrafi yang ada.[8]

Agus Sunyoto mengutip Hasan Muarif Ambary, “Petikan ayat Al-Qur’an tersebut memiliki korelasi kuat dengan aliran pembawa agama Islam awal di Indonesia. Dari kajian epigrafis terhadap makam Fatimah binti Maimun, dapat ditelusuri jenis huruf kufi yang ditulis dan bahan batu nisan, memiliki kesamaan dengan sebuah makam kuno di Pandurangga (Panh-Rang) di wilayah Champa di Vietnam bagian selatan. Kedua batu nisan bertuliskan kufi itu merupakan bukti arkeologis tertua kehadiran Islam di Asia Tenggara pada abad ke-5 H/ ke-11 H”.[9]

Meski begitu, masih cukup sulit memprediksi kiprah orang-orang Islam yang datang ke pulau Jawa pada era tersebut. Tapi Agus Sunyoto memperkirakan – berdasarkan perbandingan dengan sejumlah prasasti yang ditemukan sekitar abad 13 M – besar kemungkinan bahwa Fatimah binti Maimun adalah sosok penting dan berkedudukan tinggi di wilayah tersebut. Bahkan setelah beberapa abad setelah wafatnya, sosok tersebut masih dihormati oleh generasi kekuasaan yang datang kemudian.[10]

Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa agama Islam sebenarnya tidak hanya sudah ada di Pulau Jawa beberapa abad sebelum Majapahit berdiri. Tapi juga sudah menancapkan pengaruhnya yang cukup dalam di kebudayaan masyarakat Jawa.

R. Michael Feener dalam salah satu jurnalnya berjudul, “Islam in Southeast Asia to c.1800” menyebutkan, bahwa sebelum datangnya kolonialisme bangsa Eropa, Islam di Nusantara sudah dihayati sebagai sebuah nilai dan ajaran tanpa tendensi politis apapun. Agama ini lebih dikenal sebagai sistem nilai yang mewujud sebagai akhlak yang mulia, ketimbang identitas kelompok tertentu. Sehingga ia mudah dan bebas di terima siapapun. Seperti sebuah trend etika, nilai-nilai agama ini menyatu secara alamiah dangan kebudayaan setempat, bahkan bisa diterima oleh banyak aliran dan dihayati secara bersamaan dengan kebudayaan nenek moyang mereka. [11]

Sedemikian sehingga, menurut R. Michael Feener, para peneliti saat ini tidak menilai hubungan Islam dengan masyarakat Nusantara sebelum abad 14 M sebagai “Islam” dalam arti secara definitif pindah agama menjadi Islam (coversion). Tapi lebih tepat disebut melekat (adhesion) atau larut dengan identitas kultural masyarakat. Menariknya, meski masyarakat Nusantara tidak menganut Islam secara definitif seperti sekarang, tapi nilai-nilai Islam – secara masif dan dalam skala yang sangat luas – sudah berhasil mengubah secara subtansial perilaku kehidupan masyarakat di Nusantara. Beberapa indikator misalnya, umumnya masyarakat Nusantara sebelum abad ke 14 M sudah bersunat dan pola makan mereka sudah tidak lagi mengkonsumsi daging babi. [12]

Besar kemungkinan, corak penyebaran Islam yang diterangkan R. Michael Feener di atas, disebabkan kentalnya corak sufistik para ulama yang datang ke Nusantara sebelum abad ke 14 M. Metode dakwah Islam inilah yang kemudian diwarisi oleh para tokoh Wali Songo yang kemudian turut membidani lahirnya identitas politik bernama Kesultanan Demak. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Teori China. Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Gidinho de Eradie seorang ilmuan Spanyol yang menulis pada tahun 1613 M. Menurutnya “Sesungguhnya aqidah Muhammad telah diterima di Patani dan Pam di Pantai Timur… kemudian diterima dan diperkembangkan oleh Permaicuri (yaitu parameswara) di tahun 1411 M.” Lihat, Prof. MDYA DR. Wan Hussein Azmi, “Islam Di Aceh Masuk dan berkembangnya Hingga Abad XVI”, dalam Prof. A. Hasjmy, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 183

[2] Teori ini muncul di tahun 1883 yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan disokong oleh banyak para peneliti barat lainnya seperti; R.A. Kern, Dr. Gonda, Marison, C. A. O. Van Nieuwenhuize, Van Ronkel, dan lain-lain. Teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 melalui wilayah-wilayah di anak benua India, seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar. Berdasarkan teori ini, masuknya Islam ke Indonesia ini diyakini berasal dari Gujarat karena didasarkan pada adanya bukti berupa batu nisan Sultan Samudera Pasai Malik as-Saleh berangka tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Selain itu, teori gujarat juga didasarkan pada corak ajaran Islam yang cenderung memiliki warna tasawuf. Ajaran ini dipraktikan oleh orang muslim di India Selatan, mirip dengan ajaran Islam di Indonesia pada awal berkembangnya Islam. lihat, ibid, hal. 180

[3] Teori ini dikemukan salah satunya oleh Prof. Aboebakar Aceh. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia pada abad ke 12, dibawa oleh para pedagang dari Persia (Iran). Adapun mahzab Islam yang pertama kali masuk ke Nusantara adalah mahzab Syiah. Teori Persia berlandaskan pada bukti maraknya paham Syiah pada awal masuknya Islam ke Indonesia. Selain itu, ada kesamaan tradisi budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia, seperti peringatan 10 Muharam atau hari Asyura di Iran dengan upacara Tabuik atau Tabut di Sumatera Barat dan Jambi sebagai lambang mengarak jasad Husein bin Ali bin Abi Thalib yang terbunuh dalam peristiwa Karbala menjadi salah satu contohnya. Bahkan kuatnya tradisi Syiah masih terasa hingga saat ini di berbagai daerah di Indonesia. Lihat, Prof. Dr H. Aboebokar Aceh, Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia, Solo, CV. Ramdhani, 1971, Hal. 31-36

[4] Ibid, hal. 14

[5] Uraian lebih jauh mengenai kemungkinan masuknya Islam ke Nusantara, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/tentang-masuknya-islam-ke-nusantara-1/

[6] Lihat, Charles E.M. Pearce & Frances M. Pearce, Oceanic Migration: Paths, Sequence, Timing and Range of Prehistoric Migration in the Pacific and Indian Oceans. Springer: London-New York, 2010, Hal. 75-81

[7] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 56

[8] Orang pertama yang menemukan dan membaca inskripsi Batu Nisan Leran adalah peneliti asal Belanda bernama JP Moquette pada 1911. Ia berhasil membaca tulisan yang tertera di Batu Nisan Leren yang terdiri dari 7 baris dan tersusun dengan struktur sangat baik. Bahkan dicantumkan pula dua ayat dalam Al Quran Surat Ar Rahman. Hasil pembacaan Moquette kemudian diterjemahkan oleh Muh. Yamin. Berikut ini hasil pembacaan Moquette:

Bismillahirrahmanirrahim, kullu man ‘alaiha fanin wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram. Hadza qabru syahidah Fatimah binti Maimin bin Hibatallah, tuwuffiyat fi yaumi al-Jumah…. min Rajab wa fi sanati khamsatin wa tis’ina wa arba’ati min ‘atin ila rahmat (sebagian orang membaca “wa tis’ina” dengan “wa sab’ina”) Allah… shadaqallah al-azhim wa rasulihi al-karim.

Menurut Muh. Yamin terjemahan atas inkripsi batu nisan Fatimah binti Maimun adalah sebagai berikut:

Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah, Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana; Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya; Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti Maimun; Putera Hibatu’llah yang berpulang pada hari Jumat ketika tujuh; Sudah berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495 H. (sebagian ada yang membacanya 475 H); Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi beserta Rasulnya yang Mulia.

 Informasi lebih jauh terkait makam Fatimah binti Maimun sudah ditulis oleh redaksi Ganaislamika.com, dan bisa diakses pada link berikut: https://ganaislamika.com/fatimah-binti-maimun-jejak-islam-pertama-di-pulau-jawa-1/

[9] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 58

[10] Ibid, hal. 60

[11] Lihat, R. Michael Feener, Islam in Southeast Asia to c. 1800, Oxford Research Encyclopedia of Asian History, Subject: Religion, Southeast Asia, Middle Period Southeast Asia, c. 1300-c. 1800, Online Publication Date: Mar 2019, DOI: 10.1093/acrefore/9780190277727.013.40

[12] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*