Menurut Habib Luthfi, metode dakwah yang digunakan oleh para penyebaran Islam awal di Nusantara, tidak menonjolkan atribut keagamaan lahiriah. Tapi lebih mengedepankan akhlaq, dan yang paling penting, mereka datang ke dalam satu masyarakat dengan membawa solusi, bukan masalah.
Sebagaimana sudah dibahas pada edisi sebelumnya, bahwa besar kemungkinan Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelum Singasari dan Majapahit berdiri. Hanya saja, Islam pada masa itu tidak dikenal sebagai satu identitas kelompok, apalagi identitas politik. Meski demikian, berdasarkan penelitian R. Michael Feener, ajaran agama Islam sudah dihayati secara laten oleh masyarakat di Nusantara.[1]
Habib Luthfi Yahya, dalam salah satu artikelnya pernah juga mengatakan, “bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara pada sekitar abad ke 2 H (atau sekitar abad ke- 8 M), walaupun bukan merupakan suatu perincian atau manajemen yang begitu rapi, dari mana, dan harus bagaimana cara mengaturnya.”[2]
Lebih jauh menurut Habib Luthfi, metode dakwah yang dipakai oleh para penyebaran Islam awal di Nusantara tidak menonjolkan atribut keagamaan lahiriah. Tapi lebih mengedepankan akhlaq. Dan yang paling penting, mereka datang ke dalam satu masyarakat dengan membawa solusi, bukan masalah. [3]
Beliau mencontohkan apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad Syah Jalal ketika pertama kali masuk ke daerah Champa dan Anam (sekarang Vietnam Selatan). Ketika itu, kedua wilayah tersebut saling bermusuhan – bahkan sempat hampir memusnahkan satu sama lain. Padahal mereka satu agama, satu paham. Tapi konflik antara keduanya mampu di damaikan oleh Al-Imam Ahmad Syah Jalal. Bahkan masyarakat di kedua wilayah tersebut, mendapuk Al-Imam Ahmad Syah Jalal menjadi raja mereka bersama.[4]
Memang menjadi tugas sejarawan untuk memastikan bagaimana metode yang digunakan Al-Imam Ahmad Syah Jalal dalam mendamaikan kedua kerajaan di pesisir selatan Vietnam tersebut. Tapi Habib Luthfi menilai, bahwa karena perjuangan Al-Imam Ahmad Syah Jalal dan akhlaknya yang begitu luar biasa, beliau bisa mendamaikan keduanya. Dan yang terpenting, kehadiran Al-Imam Ahmad Syah Jalal di antara kedua bangsa tersebut, menjadi solusi bagi keduanya.[5]
Terkait apa yang dijelaskan oleh Habib Luthfi bin Yahya, setidaknya kita bisa mengasumsikan bahwa metode dakwah yang bawa oleh Al-Imam Ahmad Syah Jalal, tidak lain adalah metode dakwah yang dulu diwariskan oleh leluhurnya, yaitu Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang wafat di Hadramaut pada 345 H (965 M).[6]
Pada fase berikutnya, ajaran-ajaran beliau berkembang menjadi suatu jalan, metode yang mapan, yang disebut dengan berbagai nama oleh para peneliti sejarah Islam, antara lain, dengan thariqah Alawiyyah (jalan hidup Alawiyin).
Ajaran ini mencapai titik kematangan metodologisnya ketika era anak keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang bernama Al-Faqih Al-Muqaddam. Dialah yang dianggap sebagai peletak dasar-dasar tasawuf kaum Alawiyin.[7]
Al-Faqih Al-Muqaddam dilahirkan pada tahun 574 H/1176 M di Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan. Beliau wafat tahun 653 H pada usia 79 tahun, malam Jumat, Zulhijjah 653 H atau malam minggu di akhir bulan Zulhijjah tahun 653 H /1255M dan dikebumikan di “Zanbal”. Penanggalan wafat beliau diikhtisarkan dengan hitungan abjad Hijaiyah pada kalimat “Abu Tarim”.[8]
Dalam kehidupannya, tokoh yang pernah mendapatkan kiriman khirqah (pakaian kesufian) dari Syekh Abu Madyan—salah seorang guru Ibn Arabi—ini pernah secara demonstratif melakukan “upacara” simbolik pematahan pedang. Al-Faqih Al-Muqaddam mematahkan pedangnya sebagai simbol politik dan sosial-religius. Ahli sejarah Alawiyin, Sayid Muhammad bin Ahmad Al-Syathiry mengupasnya, dalam kitab Adwar Al-Tarikh al-Hadhramy sebagai berikut:
“Di masa Al-Faqih Al-Muqaddam dan sebelumya, para penguasa di Hadhramaut menyoroti gerak-gerak Alawiyin karena mereka selalu mendapatkan tempat di hati rakyat. Mereka khawatir, tokoh-tokoh di kalangan kaum Alawiyin dapat menjadi sumber berkumpulnya kekuatan politik dan ditakutkan dapat menggerogoti kekuasaan mereka. Bukan hanya selalu mengawasi gerak gerik Alawiyin, para penguasa ini juga terus menyudutkan kelompok ini, seperti perlakuan para penguasa sebelumnya, yang bermula sejak Bani Umayyah, Bani Abbas, dan lainnya (inilah juga yang mengakibatkan Ahmad bin Isa hijrah ke Hadhramaut untuk pertama kalinya). Alasan yang sama telah membuat kakeknya, Shahib Mirbath (Muhammad bin Ali) hijrah dari daerahnya; juga kematian pamannya Alwi yang dipercayai diracun oleh Al-Qahthany, penguasa Tarim saat itu. Maka, pematahan pedang harus dilihat sebagai simbol peletakan senjata, yang berarti kesediaan untuk menempuh cara-cara damai dalam dakwah dan kemasyarakatan. Penekanan pada tasawuf dan metode dakwah secara damai inilah yang kemudian secara umum mewarnai secara turun temurun “mazhab” kaum ‘Alawiyin di mana pun mereka berada, sampai pada masa sekarang ini.”[9]
Kiranya, sikap ini diambil, di samping kecenderungan kesufian yang memang mempromosikan prinsip cinta dan antikebencian, akibat kenyataan bahwa peperangan-peperangan yang melibatkan kaum Alawiyin di masa-masa sebelumnya ternyata hanya menyisakan kerugian dan kerusakan. Sebagai gantinya, kelompok ini percaya bahwa mengutamakan cinta kasih, kedamaian, dan sikap-sikap kelembutan, justru akan menjadi cara yang efektif untuk menarik hati orang banyak, bahkan juga hati musuh dan orang-orang jahat di tengah-tengah masyarakat. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, R. Michael Feener, Islam in Southeast Asia to c. 1800, Oxford Research Encyclopedia of Asian History, Subject: Religion, Southeast Asia, Middle Period Southeast Asia, c. 1300-c. 1800, Online Publication Date: Mar 2019, DOI: 10.1093/acrefore/9780190277727.013.40
[2] Lihat, Habib Lutfi Yahya, “Metodologi Dakwah Kaum ‘Alawiyin”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 152
[3] Ibid, hal. 153
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Tentang kisah Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir, sudah kita bahas pada edisi terdahulu kajian ini. Untuk membaca kembali bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/megatruh-sebuah-syarah-kesejarahan-4/
[7] Lihat, Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 6
[8] Ibid
[9] Ibid, hal. 7