Memaknai Revolusi Imam Husein (4): Puncak Perlawanan Kaum Oligarki Lama

in Studi Islam

Last updated on October 21st, 2018 09:07 am

“Jika di masa kekhalifahan sebelumnya isu gesekan antar kelas menguat, maka tidak pada masa Ali bin Abi Thalib, dia memulihkan kesetaraan, mengurangi ketegangan Arab dan non-Arab, serta menahan gerak laju oligarki Jahiliyah yang mencoba bercokol kembali.”

–O–

Setelah terbunuhnya Khalifah kedua di tangan non-Arab, maka jalan partai orde lama itu untuk mengukuhkan diri dalam struktur pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan menjadi lebih mulus.[1] Utsman yang ketika itu sudah sepuh tidak memiliki daya untuk mengawasi kinerja aparaturnya hingga ke wilayah yang jauh. Dia hanya menerima laporan dari kabinetnya yang tidak lain adalah sanak familinya dari kalangan Bani Umayyah (unsur utama dalam struktur oligarki dan partai yang berkuasa). Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh elit partisan yang di masa Nabi kehilangan seluruh kedudukan dan martabatnya untuk kembali menancapkan pengaruh di segenap wilayah dunia Islam.

Ath-Thabari menuturkan bahwa setiap musim haji, Utsman selalu memerintahkan para gubernurnya untuk datang dan melaporkan semua keluhan rakyat. Dalam surat-surat yang dikirimkannya ke wilayah yang jauh itu, dia selalu mengingatkan agar kaum Muslimin tidak ragu datang mengadu padanya. Dia pun berjanji akan memihak pada orang-orang tertindas. Tapi perintah Utsman seperti bergema di ruang kosong. Alih-alih menuruti perintah itu, sejumlah faksi dalam kekuasaan justru menggunakan mandat Khalifah untuk menciptakan perpecahan di dalam tubuh kaum Muslimin. Di kota-kota terluar Kekhalifahan Islam, ada faksi Quraisy yang mengambil alih properti masyarakat untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Melemahnya kekuasaan khalifah ketiga ini justru merupakan kesempatan emas bagi elit lama untuk mengkonsolidasikan dan mengartikulasikan diri. Abu Sufyan, misalnya, menunjukkan kesenangannya melihat situasi ini dan meminta elit Bani Umayah untuk memanfaatkannya secepat-cepatnya. Dia mengusulkan agar Bani Umayah dapat mewariskan kekuasaan ini kepada anak turunannya kelak.[2] Keadaan itu berlangsung selama 7 tahun dan menciptakan benih-benih pemberontakan di akar rumput.[3] Pada akhirnya, sebagaimana sejarah mencatat, Khalifah ketiga ini pun terbunuh dalam suatu kerusuhan dan pemberontakan yang berkobar tak terkendali.

Situasi kembali normal ketika Ali bin Abi Thalib menerima baiat sebagai Khulafah Rasyidin keempat. Ali yang sejak semula berada dalam barisan partai yang berseberangan dengan segera mengenali modus operandi oligarki yang berkuasa itu. Dengan cekatan Ali memulihkan kesetaraan, mengurangi ketegangan Arab dan non-Arab serta menahan gerak laju oligarki Jahiliyah yang mencoba bercokol kembali. Dia memecat semua gubernur korup yang diangkat Utsman, dan menggantikannya dengan sosok-sosok yang lebih kredibel dan yang terpenting mewakili berbagai kelas sosial dan suku yang terdapat dalam tubuh umat.

Tapi lagi-lagi, oligarki itu tidak kehilangan akal dan cara untuk mengkonsolidasikan diri. Kali ini mereka menemukan sosok yang tepat, yakni dalam diri Muawiyah bin Abu Sufyan. Kematian Utsman yang berasal dari bani Umayyah telah memberikan dalih bagi Muawiyah untuk membangkitkan ikatan ashobiyah di kalangan bani Umayyah. Menurut catatan sejarah, di Masjid Damaskus, Muawiyah menunjukkan pada masyarakat baju Khalifah Utsman yang penuh dengan bercak darah dan jari istrinya, Na’ilah, yang putus karena berusaha membela suaminya. Seketika emosi massa terpancing dan Muawiyah menyatakan akan menuntut balas atas kematian Utsman.[4]

Usaha menuntut balas atas kematian Utsman tentu bukan perkara mudah, mengingat dia terbunuh dalam pemberontakan rakyat. Tapi dengan trik itu, Muawiyah justru ingin melancarkan pemberontakan atas pemerintahan Ali bin Abi Thalib—khalifah baru yang jelas-jelas tidak berasal dari jaringan partisannya. Padahal, Ali dan kedua putranya, Hasan dan Husein, adalah benteng terakhir yang mempertahakan nyawa Khalifah Utsman di kediamannya. Bahkan, menurut laporan sejarah, hampir saja Ali mengorbankan putranya sendiri dalam upaya melindungi Sang Khalifah.[5]

Momentum pemberontakan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib muncul ketika Ali memecat nyaris semua gubernur yang pernah diangkat oleh Utsman. Sikap itu melahirkan kekecewaan para pihak yang dipecat, yang secara piawai direkrut oleh Muawiyah untuk memobilisasi kekuatan partisan sebesar mungkin, tidak lagi hanya terbatas pada lingkup oligarki Bani Umayyah. Dengan modal yang dimilikinya, Muawiyah melancarkan pemberontakan di Suriah, yang terjadi sesaat setelah pemberontakan yang dilakukan oleh Zubair dan Thalhah yang kecewa karena keinginannya menjadi gubernur di Kufah dan Basrah ditolak oleh Khalifah Ali.

Salah satu halaman dari Tarikhnama Balami dari abad ke-14 yang menggambarkan Perang Shiffin.

Puncaknya, pada 8 Shafar 37 H atau 28 Juli 657 M, dua pasukan besar saling berhadap-hadapan di Shiffin—sebuah wilayah perbatasan antara Irak dan Suriah. Pasukan Ali bin Abi Thalib yang dipimpin oleh Malik Al Asytar berhadapan dengan pasukan Muawiyah yang dipimpin oleh Amr bin Ash. Pertempuran ini kemudian dikenal dengan Perang Shiffin. Inilah perang saudara terbesar dalam sejarah Islam sejak wafat Baginda Rasulullah SAW. Perang ini berakhir dengan arbitrase dan perundingan damai. Meski perundingan itu berakhir dengan hasil yang kontroversial, tapi setidaknya, inilah peluang emas bagi Muawiyah untuk melambungkan namanya dan menobatkan diri sebagai pimpinan partai anti pemerintahan Ali. Dari hanya seorang gubernur di daerah yang tidak terlalu signifikan kini dia menjadi figur sentral yang mampu menghimpun seluruh kekuatan yang menentang Ali.

Lebih dari itu, oligarki Jahiliah yang menginginkan sistem nilai lama kembali berdiri menemukan terobosan setelah sejumlah besar pasukan Ali keluar dari barisan dan membuat faksi yang lantas dikenal dengan nama Khawarij. Di hadapan Muawiyah kini ada faksi baru yang dapat dia peralat sebagai proksi untuk melawan Ali. Saat Khawarij merencanakan misi pembunuhan tiga figur kekuatan yang ada, yakni Ali di Kufah (ibukota pemerintahan Irak), Muawiyah di Damaskus (ibukota pemerintahan Syam), dan Amr bin Ash di Fustat (ibukota pemerintahan Mesir), kubu Muawiyah dan Amr bin Ash memasang jejaring intelijen untuk mengendus rencana Khawarij. Akhirnya, hanya Ali yang berhasil mereka bunuh pada 19 Ramadhan 40 H. Kini jalan dominasi dunia Islam benar-benar terbentang bagi Muawiyah dan oligarki yang mendukungnya.

Mendengar berita kematian itu, Muawiyah tidak menyia-nyiakan kesempatan. Seketika dia mendeklarasikan dirinya sebagai pucuk kekhalifahan resmi. Tapi jalannya ternyata belum mulus. Masih ada Sayidina Hasan, putra Ali bin Abi Thalib, yang memiliki popularitas dan pengaruh yang tidak kalah hebatnya di tengah kaum Muslimin. Meski Muawiyah mendapuk dirinya sebagai khalifah, tapi sebagian besar kaum Muslimin di luar Irak dan sebagian Madinah, terutama yang sebelumnya mendukung Ali bin Thalib, lebih memilih berbaiat pada Hasan. (MK)

Bersambung ke:

Memaknai Revolusi Imam Husein (5): Dinasti Pertama Islam

Sebelumnya:

Memaknai Revolusi Imam Husein (3): Celah Kebangkitan Oligarki

Catatan Kaki:

[1] Artikel ini sengaja menghindari istilah klan atau suku, karena oligarki Quraisy yang merangkak naik dalam struktur kekuasaan Islam itu terdiri atas anggota lintas suku dan wilayah. Jika di dalam dinasti Umayyah mereka memanfaatkan fanatisme Arab, maka di era dinasti Abbasiyah mereka memanfaatkan yang sebaliknya: sentimen anti Arab—sehingga dinasti Abbasiyah dikenal sebagai dinasti yang lebih banyak memanfaatkan kekuatan Turki, Persia, dan Afrika yang non Arab.

[2] Al-Baladzuri, Ansab Al-Asyraf, juz 2, hal. 81 & Al-Mas’udi dalam Muruj Adz-Dzahab, juz 2, hal. 230 yang dikutip kembali oleh Abdullah Al-‘Alayili, Al-Imam Al-Husein, hal. 30.

[3] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XV., The Crisis of the Early Caliphate, Translated by R. Stephen Humphreys, State University of New York Press, 1990, hal. 225.

[4] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 180

[5] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, Hal. 340

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*