Mozaik Peradaban Islam

Memaknai Revolusi Imam Husein (5): Dinasti Pertama Islam

in Studi Islam

Last updated on September 11th, 2019 09:55 am

“Setelah berdamai dengan Hasan, Muawiyah mendaulat dirinya sebagai Khalifah. Muawiyah kemudian menunjuk Yazid, putranya, sebagai penggantinya. Cetak biru sistem politik Islam kembali menjadi sistem ashobiyah, pertalian darah, dan kesukuan. Dinasti pertama dalam Islam telah berdiri.”

–O–

Ilustrasi Bani Umayyah. Photo: islamicstudies

Tak kurang seperti ayahnya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib memiliki kecermatan yang tinggi dalam membaca situasi dan corak zamannya. Meski meraup dukungan luas dari sebagian kaum Muslimin, tapi dia melihat dengan terang benderang bahwa para pendukungnya setelah kematian tragis ayahnya mengalami demoralisasi, sedangkan partai Muawiyah justru sedang berada dalam puncak militansi. Muawiyah melalui jaringan media massanya menyebarkan isu bahwa kematian Ali di tangan Khawarij yang keji merupakan takdir Ilahi yang tak dapat dihindarkan, dan bahkan disebut sebagai cara Tuhan menghukum Ali.

Menghadapi kondisi demikian, Hasan tidak melihat perang sebagai solusi, karena yang menang pastilah tetap semangat fanatisme partisan yang sebenarnya merupakan modal oligarki untuk kian memperkokoh posisinya. Itulah sebabnya, meski masih ada pengikutnya yang bersemangat memerangi Muawiyah, tapi Hasan menolak dan memilih membuat kesepakatan damai. Melalui cara ini, Hasan ingin menunjukkan bahwa tujuan agama ini bukanlah memenangkan perang apalagi kekuasaan, melainkan menegakkan risalah tauhid yang merupakan kunci segala kebaikan dan satu-satunya jalan manusia kembali pada fitrahnya.

Dalam kesepakatan itu, Hasan sudah mengunci Muawiyah dengan membatasi periode kekuasaan oligarki Umayyah hanya pada dirinya. Kursi khalifah tidak boleh lagi diwariskan pada pengikutnya, apalagi anak keturunannya. Klausul perjanjian itu seyogyanya bisa dimaknai sebagai isyarat dari Hasan agar pada waktunya kelak, kaum Muslimin berani bangkit mengambil alih hak-haknya dan bersama-sama merobohkan oligarki dan partai Umayyah yang ingin mendirikan dinasti di dalam Islam. Apalagi di dalam surat perjanjian itu, Hasan meminta Muawiyah menjaga ketertiban dan kedamaian seluruh umat, khususnya terhadap para sahabat dan pengikutnya. Lalu dia menegaskan bahwa pemilihan pemimpin setelahnya haruslah melalui mekanisme musyawarah.[1]

Hasil perjanjian yang dibuat pada tahun 41 H /661 M itu diketahui oleh semua tokoh dan juga kaum Muslimin yang hidup kala itu. Sesaat setelah rampungnya perjanjian damai dengan Hasan, Muawiyah bin Abu Sufyan mendaulat dirinya sebagai Khalifah, sekaligus menandai berdirinya Dinasti Umayyah. Inilah untuk pertama kalinya ketika suatu suku dan kelompok oligarki menggunakan Islam untuk berkuasa dan mewariskan kekuasaan secara turun-temurun.

Rangka Bangun Oligarki dan Dinasti Umayyah

Berdirinya Dinasti Umayyah pada tahun 661 M menandai sebuah titik balik dalam sejarah peradaban Islam. Yaitu terbentuknya cetak biru sistem politik Islam yang sebelumnya berpijak pada keunggulan moral, spiritual, dan intelektual berbalik kembali menjadi sistem ashobiyah, pertalian darah, dan kesukuan. Dan ironisnya, sistem politik itu membajak “sistem kekhalifahan”. Semua ini dilakukan hanya sejarak tiga dasawarsa dari sejak wafatnya Rasulullah SAW (632M).

Mahfud MD, seorang Ahli Hukum Tata Negara, dalam sebuah artikelnya di media massa nasional pernah menulis, “Di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.”[2]

Ditinjau secara historis, setelah Rasulullah SAW, hingga masa Khulafah Rasyidin, istilah khalifah dikenal luas sebagai identitas individu pemimpin. Tidak ada mekanisme yang baku tentang bagaimana memilih pemimpin ini, apalagi sampai menjadi sistem kekuasaan dinasti.

Menurut Nadirsyah Housein, setiap khalifah sejak masa Rasullullah SAW dipilih dengan cara berbeda. Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, beliau tak menunjuk pengganti (khalifah) secara spesifik—setidaknya begitulah menurut pemahaman Sunni. Karena itu, para sahabat berdiskusi di Saqifah Bani Saidah untuk menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah. Abu Bakar menunjuk Umar bin Khatthab. Mekanisme suksesi kepemimpinan berubah ketika Umar membentuk dewan khusus untuk memilih penggantinya, yang nantinya akan jatuh kepada Utsman ibn Affan. Namun khalifah ketiga ini tidak membentuk dewan pemilih seperti pendahulunya, sehingga para sahabat dan penduduk Madinah-lah yang bergerak untuk membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme suksesi tidak diatur secara baku dalam ajaran Islam.[3]

Namun semua ini berubah ketika Muawiyah, penguasa pertama Dinasti Umayyah, mengangkat Yazid, putranya yang diragukan kompetensinya untuk menggantikan posisi khalifah. Yazid bukan saja tidak layak menjadi pemimpin kaum Muslim, melainkan para ahli sejarah menyebutnya sebagai orang yang bejat dan durhaka.[4] Penunjukan Muawiyah terhadap Yazid sebagai pengganti tidak memiliki dalih politik apapun kecuali hanya pertalian darah. Dan itu artinya sistem nilai Jahiliah kembali dipraktikkan secara formal dalam membentuk struktur tertinggi kekuasaan Islam.

Sebagaimana sudah didedahkan dalam serial sejarah Bani Umayyah yang pernah dipublikasi oleh redaksi Gana Islamika,[5] setelah Muawiyah menerima perjanjian damai dengan Hasan pada tahun 41 H/661 M, dimulailah rencana pewarisan tahta kepada putranya, Yazid. Satu tindakan yang sebenarnya mencederai isi perjanjian itu sendiri dan menistakan prinsip kepemimpinan dalam Islam.

Terkait bagaimana proses pewarisan tahta dan latar belakang yang mempengaruhinya, para sejarawan memiliki beberapa sudut pandang. Tapi yang pasti, dari semua narasi yang disampaikan para sejarawan, tampak sekali adanya usaha sistematis dan terencana dari Muawiyah untuk memastikan lancarnya suksesi ini. Dan pewarisan ini sejalan dengan sistem nilai lama yang mengandalkan garis darah dalam melanjutkan kekuasaan.  (MK)

Bersambung ke:

Memaknai Revolusi Imam Husein (6): Wafatnya Hasan bin Ali

Sebelumnya:

Memaknai Revolusi Imam Husein (4): Puncak Perlawanan Kaum Oligarki Lama

Catatan Kaki:

[1] Al-Baladzuri, Op.Cit., juz 3, hal. 287.

[2] Lihat, Mahfud MD, Menolak Ide Khalifah, Kompas edisi 26 Mei 2017, hal.  6

[3] Lihat, http://nadirhosen.net/kehidupan/negara/tiga-khilaf-dalam-memahami-khilafah, diakses 20 Januari 2018

[4] Di antara ulama yang menyebutkan kebejatan Yazid adalah Al-Mas’udi dalam Muruj Adz-Dzahab, juz 3, hal. 82; Al-Yafi’i, yang dikutip oleh Ibn Al-Imad Al-Hanbali, Syadzarat min Adz-Dzahab, juz 1, hal. 69; Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, juz 8, hal. 223; bahkan seorang ahli fiqih Mazhab Hanbali bernama Abul Faraj ibn Al-Jauzi mengarang sebuah buku khusus yang menegaskan bolehnya mencela Yazid dengan judul Al-Radd ‘ala Al-Muta’shshib Al-‘Anid min Dzammi Yazid.

[5] Untuk membaca serial tentang Dinasti Umayyah, bisa mengakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-umayyah-1-dinasti-pertama-dalam-sejarah-islam/

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*