Mozaik Peradaban Islam

Memaknai Revolusi Imam Husein (6): Wafatnya Hasan bin Ali

in Studi Islam

Last updated on September 11th, 2019 10:12 am

Muawiyah berkata, Ibnu Abbas, tahukah engkau Hasan sudah meninggal? Ibnu Abbas balik bertanya, Untuk itu engkau bertakbir? Muawiyah menjawab dengan girang Iya!’.”

–O–

Kaligrafi Hasan bin Ali. Karya: إسلام

Menurut catatan sejarah, orang pertama yang mengusulkan untuk mengangkat Yazid menjadi khalifah setelah Muawiyah adalah al-Mughira bin Syu’bah – sosok yang patut dicurigai sebagai dalang skenario pembunuhan Khalifah kedua. Hal ini terjadi pada tahun 50 H atau berselang 9 tahun dari perjanjian damai antara Muawiyah dan Hasan. Ketika itu, areal kuasaan Bani Umayyah sudah membentang hingga ke Sudan dan Maroko di Afrika, Gibraltar di semenanjung Iberia, Pakistan dan sebagian besar kawasan Asia Tengah.[1] Salah satu alasan di balik penunjukan Yazid adalah karena kekhawatiran Muawiyah akan hilangnya keutuhan wilayah dinastinya bila kepemimpinan setelahnya jatuh ke tangan yang tidak tepat.

Terkait dengan berbagai ekspesidi militer Muawiyah, sebagian kalangan menganggapnya lebih mirip seperti kolonialisasi ketimbang “fath” (pembebasan). Meski di pusat kota Damaskus kehidupan berjalan seperti biasa, namun di wilayah-wilayah penaklukan ini rakyat menjerit. Mereka diperas dan diperlakukan tidak adil oleh para aparatur Dinasti Umayyah. Persoalannya lagi, sejak perang Shiffin, Muawiyah memang kerap menggunakan jasa tentara bayaran yang menyedot anggaran sangat besar. Maka tak ayal, semakin besar wilayah kekuasaannya, semakin besar pula anggaran untuk mendanai mereka, dan pada akhirnya semakin massif pula pemerasan yang terjadi di sejumlah wilayah kekuasaanya. Akibatnya, muncul gejolak dan protes dari sejumlah wilayah atas kebijakan kontroversial ini. Sebagai contoh, di Afrika Utara, terjadi perlawanan sengit dari suku Berber yang merupakan penduduk asli Afrika Utara terhadap ekspansi kaum Muslimin. Alih-alih masuk Islam secara damai, mereka bahkan berhasil membangun satu konsolidasi nasional berdasarkan nilai kesukuan untuk melawan “imperialisme Islam”.[2]

Sebagai dampak lanjutan dari lahirnya paham ashobiyah di kalangan Bani Umayyah, tipe fath yang dilakukan Bani Umayyah juga bergeser jauh dari nilai yang dicontohkan Rasulullah SAW. Mengutip kata-kata Osborn, “Semangat kesukuan yang diusung Muawiyah telah menjadikan bangsa-bangsa Asia seperti Persia, Afrika Utara, dan Spanyol tidak pernah memiliki kedudukan yang setara dengan bangsa Arab. Mereka mendapat kejayaan, tapi di tengah kejayaan yang diperoleh itu, mereka menyimpan semangat mereka: rasa persaingan, hasrat, dan kecemburuan antar suku padang pasir. Mereka berperang semata-mata untuk memperluas wilayah kekuasaan, seperti halnya peperangan yang dilakukan orang Arab sebelum kedatangan Islam.”[3]

Dengan kata lain, di samping berhasil mengubah struktur politik, sistem pemerintahan, pola rekrutmen jabatan, interaksi sosial dan tata nilai budaya umat, Muawiyah juga secara praktis menggeser semangat jihad yang sebelumnya bersifat defensif menjadi ofensif, dan praktik fath Nabi yang berpijak pada pembebasan dan amnesti menjadi penaklukan dan penarikan pajak dan upeti. Dan semua ini bersumber dari lahirnya kembali fanatisme kesukuan (ashobiyah), oligarki, dan aristokrasi yang pada masa Rasulullah SAW sudah dihapuskan.

Artikel terkait:

Kembali pada rencana pengangkatan Yazid sebagai khalifah menggantikan Muawiyah. Rencana ini mulai menggelinding menjadi aksi yang konkrit ketika di Madinah tersiar kabar bahwa Hasan bin Ali wafat. Berita yang beredar, dia diracun oleh istrinya yang bernama Ja’dah putri al-Asy’ats bin Qais, sosok yang membenci Ali bin Abi Thalib karena dipecat dari posisinya sebagai gubernur Azerbaijan.

Pada masanya, Hasan atau biasa disebut Sayidina Hasan, adalah ganjalan terbesar Muawiyah dalam rangka mewujudkan ambisi pewarisan tahta. Hasan memiliki kemuliaan yang tak tertandingi oleh siapapun kala itu. Kaum Muslimin begitu mencintainya. Dia yang sebenarnya dianggap sebagai pemimpin kaum Muslimin, meski secara de jure Muawiyah mendapuk dirinya sebagai khalifah. Maka tak ayal, ketika tersiar kabar kematiannya, dunia Islam berkabung. Tapi tidak demikian yang terjadi di istana Damaskus. Berita duka ini disambut dengan suka cita oleh Muawiyah dan para partisannya.

Saat berita wafatnya Hasan bin Ali tersiar di Damaskus, Abdullah bin Abbas sedang berada di sana. Dia sedang berada di dalam Masjid, tiba-tiba dia mendengar Muawiyah mengucapkan takbir yang disambut dengan teriakan takbir para prajuritnya. Orang-orang yang di dalam Masjid-pun lalu bertakbir pula. Melihat peristiwa ini, Abdullah bin Abbas lalu mendatangai Muawiyah, dan Muawiyah berkata, “Ibnu Abbas, tahukah engkau Hasan sudah meninggal?” Ibnu Abbas balik bertanya, “Untuk itu engkau bertakbir?” Muawiyah menjawab dengan girang “Iya!” Mendengar pernyataan ini, Ibnu Abbas mengecam keras sikap Muawiyah tersebut.[4]

Setelah wafatnya Hasan, ambisi politik Muawiyah untuk mewujudkan tegaknya Dinasti Umayyah semakin mulus. Sisa-sisa kekuatan Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali dipreteli satu per satu di semua wilayah Islam. Pemimpin semua wilayah Islam diganti dengan orang-orang partai Muawiyah. Nyaris tanpa oposisi, kekuasaan Dinasti Umayyah dikenal sebagai bentuk negara despotik pertama dalam sejarah Islam. Tidak ada satupun suara sumbang yang boleh didengar Muawiyah, sehingga kekejaman para aparaturnya tidak terkontrol. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan, tirani yang berlangsung ini, tidak lain adalah atas kehendak Muawiyah. Hingga akhirnya, semua wilayah dipaksa satu suara, khususnya untuk menerima pengangkatan Yazid.

Yazid bin Mu’awiyah bisa disebut sebagai “putra mahkota” pertama dalam sejarah kaum Muslimin. Dia lahir di dalam istana Damaskus pada tahun 25 H. Sejak kecil, hidupnya dilingkupi oleh suasana yang glamor dan jauh dari sentuhan spiritual para sahabat utama. Tubuhnya begitu tambun dan Muawiyah selalu memanjakannya. Tidak ada satupun riwayat yang mengatakan bahwa Yazid adalah seorang ahli ibadah ataupun memiliki ilmu yang luas. Sebaliknya, dia sangat gemar berpesta pora dan berburu. Sialnya, Yazid yang tidak memiliki kecakapan ini, naik tahta pada usia 35 tahun tanpa didampingi oleh penasehat sekaliber Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi, yang dulu mendampingi ayahnya mengukuhkan kesuksesan.

Ketika Yazid berkuasa pada tahun 60 H, Muawiyah merawisinya dengan jajaran gubernur yang kawakan dalam permainan politik. Di Madinah, dia memiliki gubernur bernama Al-Walid bin ‘Utbah bin Abi Sufyan; di Kufah ada al-Nu’man bin Bashir al-Ansari; di Basrah ada Ubadillah bin Ziyad bin Abihi, dan di Mekkah ada Amr bin Sa’id bin al-‘Ash.[5] Mereka adalah kader partai Bani Umayah yang tumbuh di bawah balutan konflik, fitnah, dan intrik yang keras. Dan secara umum mereka berhasil meraih posisi karena peranan besar mereka mengamankan agenda pengangkatan Yazid yang sudah dilakukan sejak zaman Muawiyah masih hidup. Nalar pemerintahan mereka lebih mirip serdadu dan agen ketimbang negarawan apalagi agamawan.

Semua gubernur Yazid, terutama Ubaidillah bin Ziyad, tidak dikenal sebagai faqih maupun ahli ibadah. Hal ini menegaskan tabiat kekuasaan khalifah kedua Bani Umayyah ini memang bukan untuk kemaslahatan agama dan umat, melainkan untuk melunasi semangat ashobiyah yang sudah dirintis para pendahulunya. Selama masa pemerintahan Yazid praktis tidak ada satupun kemajuan yang tercatat dari peninggalan Dinasti Umayyah. Dia sibuk dengan urusan politik demi mengamankan posisinya sebagai khalifah.

Di bawah kendali Yazid bin Muawiyah dan para gubernurnya, Islam dan kaum Muslimin diperlakukan jauh dari keadaban dan kewajaran. Pada saat inilah, Sayidina Husein melakukan gerakan dahsyat yang mengguncang pondasi kezaliman dan merobek jantung oligarki yang berkuasa. (MK)

Bersambung ke:

Memaknai Revolusi Imam Husein (7): Undangan dari Kufah

Sebelumnya:

Memaknai Revolusi Imam Husein (5): Dinasti Pertama Islam

Catatan Kaki:

[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 37

[2] Lihat, Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), chapter 3

[3] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, Hal. 344

[4] Lihat, Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai kepada Hasan dan Husain, Jakarta, Lentera AntarNusa, 2003, hal. 429

[5] Lihat, Thabari, The History of al-Tabari, Vol. XIX., The Calipate of Yazid B. Muawiyah, Translated by C. E. Bosworth, State University of New York Press, 1990, hal. 2

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*