“Yazid tengah dalam upaya untuk memaksa semua pihak oposisi untuk berbaiat kepada dirinya. Sementara itu, Husein, cucu Nabi, justru mendapat ribuan surat undangan dari masyarakat Kufah yang memintanya untuk memimpin mereka. Dengan situasi seperti itu, kira-kira apa yang akan dilakukan Husein dan Yazid?”
–O–
Sekilas Tentang Peristiwa Asyura
Para sejarawan Islam telah bersepakat tentang fakta adanya pembantian Imam Husein dan keluarga serta para sahabatnya di padang Karbala. Meski ada perbedaan tafsir ihwal sebab-musabab, setting sosial politik yang melambarinya, aktor-aktor utamanya dan sebagainya, tapi seluruh sejarawan sepakat bulat tentang fakta peristiwa itu sendiri. Ini karena peristiwa sebesar itu mustahil berlalu begitu saja, walaupun oligarki Bani Umayyah dan para pendukungnya telah dan terus berupaya keras untuk menghapusnya atau setidaknya meremehkannya.
Hadirnya berbagai versi kisah dan penukilan justru menunjukkan keotentikan peristiwanya itu sendiri, bukan sebagaimana yang ingin digambarkan oleh sebagian, bahwa perbedaan versi itu menandai cacatnya pelaporan. Banyaknya saksi mata, termasuk para aktor utama seperti Sayidah Zainab dan Ali Zainal Abidin, para prajurit yang kemudian berbalik menjadi pelapor, penduduk sekitar dari suku-suku yang tinggal di wilayah Karbala seperti Bani Asad, maupun pengakuan musuh di periode setelahnya menjadikan peristiwa ini barangkali satu dari sedikit peristiwa sejarah yang dilaporkan dan didokumentasikan secara lengkap dan rinci oleh berbagai pihak yang berbeda-beda aliran maupun latarbelakang.
Undangan dari Kufah
Para sejarawan mencatat bahwa kabar kematian Muawiyah dan naiknya Yazid datang bak berita kesialan yang menampar. Banyak tokoh Islam yang mengalami berbagai tekanan, demoralisasi dan intimidasi di satu sisi maupun tokoh-tokoh yang secara langsung ataupun tidak langsung punya hubungan kepentingan dengan ologarki dinasti Umayyah tampak diam di permukaan dan menyetujui keputusan tersebut. Namun, Yazid merasa belum puas pada apa yang dilihat dan didengarnya. Dia meyakini bahwa masih ada bahaya laten yang memungkinkan terjadinya gejolak di berbagai wilayah yang menyatakan protes atas keputusan tersebut. Dan kecurigaannya tidak sepenuhnya salah.
Hegemoni jaringan oligarki Bani Umayyah yang sedemikian meriap buah tangan Muawiyah memang sudah tidak memungkinkan lagi timbulnya suara sumbang atas kedudukan Yazid. Namun demikian, ada sejumlah elit yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut. Di antara tokoh yang masih hidup pada waktu itu dan memiliki pengaruh besar di masyarakat adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas dan Sayidina Husein. Mereka tidak menyetujui kedudukan Yazid sebagai khalifah. Inilah yang membuat Yazid cemas dan terganggu.
Akhirnya, di awal pemerintahannya dia menulis secarik surat pada Al-Walid bin Utbah yang menjabat sebagai gubernur Madinah berisi perintah berikut: “Tangkap Husein, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair dan minta mereka memberikan baiatnya (sumpah setia pada pemerintahan Yazid). Bertindaklah sedemikian keras sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan apapun sebelum memberikan sumpah setia…“[1]
Mulanya Al-Walid ragu untuk melaksanakan perintah ini. Tapi Marwan bin Hakam menguatkannya dan menasehatinya agar tidak ragu menjalankan perintah. Sesuai nasehat Marwan, di antara keempat orang itu, hanya Abdullah bin Umar yang tidak berbahaya. Dia sudah larut dalam ibadah dan sudah menjauhi dunia, sehingga tidak mungkin punya keinginan untuk mengambil kekuasaan. Yang perlu dikhawatirkan dan perlu dijinakkan segera adalah Abdullah bin Zubair dan Husein bin Ali. Karena mereka memiliki pengaruh yang luar biasa, terutama Sayidina Husein yang masih memiliki dukungan luas di dunia Islam.
Maka berangkatlah Al-Walid kepada Abdullah bin Zubair dan Sayidina Husein. Namun, keduanya sudah tidak ada di Madinah dan dikabarkan sudah berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Al-Tabari meriwayatkan bahwa Abdullah bin Zubair berangkat bersama saudaranya, sedang Sayidina Husein berangkat bersama seluruh keluarga besarnya, termasuk adik perempuannya Zainab binti Ali, putra-putra Sayidina Hasan, adik-adik Sayidina Husein, dan putra-putrinya. Al-Walid memerintahkan pasukannya untuk mengejar mereka, tapi mereka sudah menjauh dan tidak mungkin lagi dikejar. Sejak keluarnya surat perintah Yazid, mendadak kedua orang ini (Sayidina Husein dan Abdullah bin Zubair) menjadi buronan kelas satu di dunia Islam.
Di Kufah, sisa-sisa pendukung Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali bersuka cita ketika mendengar kabar kematian Muawiyah. Kepercayaan diri mereka bangkit seketika. Mereka lalu segera menolak berbaiat kepada Yazid dan memilih berbaiat kepada Sayidina Husein. Berbondong-bondong mereka menulis surat kepada Sayidina Husein untuk segera datang ke Kufah dan menjadi pemimpin mereka. Surat-surat yang terkumpulpun kian hari kian banyak, sebagian sejarawan menyebut sampai ribuan, dan akhirnya tumpukan surat itu dikirimkan pada Sayidina Husein yang saat itu sudah di Mekkah. Mendapat undangan ribuan orang ini, Sayidina Husein mengutus sepupunya yang bernama Muslim bin Aqil untuk terlebih dahulu melakukan survei lapangan dan melihat komitmen masyarakat Kufah.
Di Damaskus, setelah mendengar kabar tentang pergolakan rakyat Kufah, Yazid langsung meradang. Seketika dia memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad (Ibnu Ziyad) yang masih menjabat sebagai gubernur Basrah untuk berangkat dan mengendalikan situasi Kufah. Dalam surat perintah itu terdapat pengangkatannya sebagai gubernur baru sekaligus pemecatan gubernur lama, Nu’man bin Basyir Al-Anshari. Dengan berapi-api, Ibnu Ziyad bergerak membawa rombongan kecil sambil menyamar, berpakaian seperti pakaian yang dikenakan Sayidina Husein. Begitu sampai di pintu kota, dia berjalan menunduk-nunduk sehingga orang yang lalu-lalang menyambutnya dengan ungkapan: “Selamat datang bagimu, wahai Putra Rasulullah!”[2]
Tipuan kecil ini ternyata sukses membawa Ibnu Ziyad memasuki istana dan merancang taktik pengendalian massa. Mula-mula Ibnu Ziyad memanggil elit Kufah dan memberi mereka dua opsi: bergabung bersama Husein dan menghadapi pasukan Yazid atau mundur dan mendapat berbagai insentif. Elit oposisi akhirnya terbelah. Dan mulailah terjadi kasak-kusuk di kubu oposisi tentang apa pentingnya terlibat dalam urusan “kekuasaan dan politik”. Mereka bersemboyan: “Ma lana was sulthah” (apa urusan kita dan kekuasaan). Pada saat ribuan massa berkumpul di depan istana bersama Muslim bin Aqil, duta Sayidina Husein, satu demi satu elit Kufah naik ke podium umum dan meminta massa untuk tidak berperang, menjaga keluarga dan anak-anak dan menghindari fitnah. Maka para orangtua pun mengajak anaknya pulang, demikian pula dengan para istri mengajak para suami kembali ke rumah. Situasi ini terjadi dari siang sampai malam hingga tinggal 30 orang bersama Muslim bin Aqil.[3]
Setelah sukses mengendalikan massa, kini Ibnu Ziyad memakai tangan besi menghadapi sisa-sisa pendukung yang masih berkeras. Semua yang melawan ataupun dianggap menentang perintahnya segera dipersekusi, dipenjara, dan dieksekusi mati. Sebagian massa yang semula tetap mendukung pun mulai ketakutan dan berhamburan. Hanya sebentar saja Muslim bin Aqil, utusan Sayidina Husein, yang semula mendapat sambutan meriah ribuan massa Kufah, sekarang melihat situasi berbalik 180 derajat. Tiba-tiba Muslim bin Aqil menjadi terasing, terlunta-lunta di gang-gang Kufah, dan diburu di kota yang sebelumnya sangat ramai menyambutnya. Hingga akhirnya dia dibunuh oleh kaki tangan Ibnu Ziyad dengan cara yang sadis.[4] (MK)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Ibid, hal.2-3
[2] Luth bin Yahya bin Said bin Mikhnaf Al-Azdi, Maqtal Al-Husien, hal. 45, diakses dari http://www.ar.islamic-sources.com/download/C121-maqtal%20emam%20hosin.pdf, pada Oktober 2018. Sebagian besar narasi pembantaian Imam Husein dalam artikel ini diambil dari sumber sejarawan asal Kufah bernama Luth bin Yahya bin Said bin Mikhnaf Al-Azdi ini.
[3] Ibid, hal. 45.
[4] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 64-66