Mozaik Peradaban Islam

Ilusi Identitas Arab: Sebuah Pengalaman dan Klarifikasi (24): Selingan Terakhir: Kekayaan Makna dalam Bahasa Arab

in Studi Islam

Last updated on June 23rd, 2021 01:30 pm

Siapa saja yang secara jujur membaca dan mencoba menafsirkannya bakal berakhir dengan merendahkan hati di hadapannya.  

Alquran tertua dari awal abad ke-7, kini berada di laboratorium University of Oxford. Foto: Dan Kitwood/Getty Images.

Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab

Saya sudah katakan bahwa tulisan ini bukan untuk memerikan keunggulan dan keistimewaan bahasa Arab. Tapi rasanya wajar jika sebelum menutup tulisan ini, saya menyampaikan sebuah selingan seputar kekayaan bahasa wahyu ini.

Betapa luas makna yang terkandung dalam tiap huruf, kata, dan kalimatnya. Begitu luasnya makna huruf, kata, dan kalimat bahasa Arab sehingga mustahil orang bisa memahaminya tanpa membaca dan memahami keseluruhan konteksnya.

Apalagi di zaman sebelum bahasa Arab ini mengenal tanda-tanda baca, harakat, diakritik, dan berbagai kaidah tatabahasa lain yang berkembang belakangan.

Itulah mengapa ayat-ayat Alquran bisa menimbulkan begitu banyak tafsir. Sebagian orang yang bodoh akan menganggap keragaman tafsir itu sebagai kekurangan, tapi tidak demikian bagi para penyelam makna dan hikmah.

Para mufasir sejak lama mempersenjatai diri dengan bermacam-macam ilmu alat untuk dapat menyelami samudera makna yang terkandung dalam tiap huruf, ayat, dan surah Alquran.

Misalnya, saat mereka terjun menyelami makna-makna yang terkandung dalam ayat 103 surah al-Baqarah. Menurut Allamah Thabathabati, keragaman tafsir seputar ayat ini mencapai tingkat yang mencengangkan.

Nah, begitu banyaknya tafsir ayat Alquran itu sesungguhnya muncul dari kekayaan makna tiap huruf yang membangun kata dan tiap rangkaian kata yang menyusun kalimat. Khususnya ketika kalimat itu masih dalam bentuk tulisan aslinya di zaman sebelum ada pengimbuhan tanda-tanda baca dan diakritik yang dirintis oleh Imam Ali dan para ahli bahasa Arab setelahnya.

Marilah saya tunjukkan satu contoh kalimat seperti itu, yakni kalimat أمنت (alif-mim-nun-ta). Dari susunan kalimat itu, tanpa melihat konteksnya, orang bisa menemukan banyak makna yang semuanya benar.

Maksudnya, tulisan teks di atas itu mengandung beberapa kemungkinan makna yang sahih secara bahasa, terlepas dari konteksnya. Saya akan berikan beberapa kemungkinan makna itu:

  1. Saya beriman
  2. Saya merasa aman
  3. Saya sudah amankan
  4. Engkau beriman
  5. Engkau merasa aman
  6. Engkau sudah amankan
  7. Dia (perempuan) beriman
  8. Dia (perempuan) merasa aman
  9. Dia (perempuan) sudah amankan

Itulah sembilan kemungkinan makna yang dapat saya temukan. Tapi tidak menutup kemungkinan ada makna-makna lain yang tidak saya tangkap. Pelbagai kemungkinan makna itu dibatasi dengan adanya qiraah (pembacaan), tanda baca, diakritik, dan konteks.

Makanya Alquran itu memang harus dibacakan dan ditartilkan. Barangkali karena itu juga ia disebut sebagai Qur’an (bacaan). Tapi adanya pembacaan, diakritik, dan konteks tidak mengurangi makna, melainkan mendudukkannya secara lebih tepat dan benar.

Satu ilustrasi tambahan untuk menunjukkan bahwa bahasa Arab berdasar pada dan dibangun dari huruf-huruf. Marilah kita perhatikan peribahasa ini:

باؤك تجر و بائي لا تجر

(Ba’-mu memajrurkan sedangkan ba’-ku tidak memajrurkan)

Peribahasa di atas secara makna menggambarkan sikap tidak adil, mendua atau standar ganda pada seseorang. Tapi, yang menarik, peribahasa ini berkisar pada huruf ب (ba’) dan hanya bisa dipahami bila kita memahami kaidah-kaidah bahasa Arab, khususnya tentang makna dan penggunaan huruf ب (ba’).

Demikianlah, bahasa Arab memiliki kemampuan menyampaikan pesan (balaghah) dan memberikan kejelasan dan penekanan yang luarbiasa. Sampai-sampai, seperti kaidah yang sudah saya sebutkan di bagian lalu, penambahan satu huruf di dalam bangunan kata dan penambahan kata dalam kalimat dapat menambahkan makna-makna yang sebelumnya tidak ada.

Melalui dua ilustrasi di atas, saya ingin menunjukkan bahwa melalui bahasa Arab itulah wahyu ilahi mendapatkan tempat paling sesuai dalam bahasa yang bisa dipahami manusia. Inilah bahasa yang mampu menarik pemahaman manusia sampai ke tingkat tak terbatas, sehingga siapa saja yang secara jujur membaca dan mencoba menafsirkannya bakal berakhir dengan merendahkan hati di hadapannya.  

Jika matematika dianggap merupakan bahasa yang mampu menerangkan fenomena-fenomena alam yang tidak terbatas, maka bahasa Arab mampu menerangkan noumena-noumena yang juga tidak terbatas.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*