Nabi Muhammad saw adalah penutur bahasa paling bermakna, jelas, dan tegas di antara semua manusia yang ada di muka bumi ini dari dulu hingga akhir zaman.
Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab
Terlepas dari diskusi rumit itu (mengenai awal bahasa-red), berdasarkan uraian etimologis ‘araby yang telah saya sampaikan, yakni bahasa yang bersifat jelas dan terang, maka rasanya asumsi keberadaan sumber awal bahasa asli yang jernih juga tidak sepenuhnya menyesatkan.
Jika kita mau pakai istilah wahyu, kita bisa menyebut bahasa asli ‘araby itu sesuai bahasa fitrah manusia. Dalam surah al-Baqarah ayat 2, Allah berfirman: “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
Apalagi Allah berkali-kali menegaskan bahwa wahyu Alquran turun dalam bahasa ‘araby yang jelas dan terang. Meski ada keragaman bahasa manusia, tapi pada level wahyu, bahasa yang digunakan adalah ‘araby yang jelas, baik bagi penerimanya langsung maupun bagi yang lain-lain. Syaratnya adalah ketakwaan dan kesucian pribadi tersebut.
Itulah bahasa yang Allah ajarkan pada para nabi sebagai sesuatu yang tunggal, asli, jelas, dan terang benderang. Dan metabahasa itu tak lain adalah bahasa Alquran yang menjadi pembenar (mushaddiq) dan pencakup (muhaymin) segenap wahyu yang lain.
Asumsi bahwa ‘araby adalah kemampuan kognitif suci yang Allah karuniakan pada hamba-hamba pilihan-Nya dari sejak dahulu kala tidak menafikan adanya dialek-dialek atau varian-varian sub-bahasa tersebut. Malah justru mendukung fakta bahwa semua varian itu memiliki derajat ke-‘ajam-an dibandingkan dengan kefasihan bahasa ‘araby Alquran.
Apalagi saya juga telah kutip pendapat pakar bahasa Arab yang menyatakan bahwa ‘ibrany merupakan logat Badui yang melenceng atau bengkok dari ‘araby asli yang terang dan jelas.[i]
Nah, bila kita terima asumsi seperti di atas, maka kita bisa lebih menghayati makna sabda-sabda Nabi Muhammad yang meneguhkan dirinya sebagai penutur Arab yang paling fasih.
Sabda itu bukan saja dalam konteks logat tertentu Arab, melainkan dalam pengertian bahwa beliau adalah penutur bahasa paling bermakna, jelas, dan tegas di antara semua manusia yang ada di muka bumi ini dari dulu hingga akhir zaman.
Kedudukan beliau sebagai penutur bahasa yang paling fasih—dalam beraneka ragam logatnya—seharusnya sudah menjadi keyakinan seluruh Muslim.
Tanpa harus sepenuhnya menerima tesis Yuval Noah Harari, saya kira argumennya soal keunggulan manusia (homo sapiens) pasca revolusi kognitif agaknya cukup menarik. Khususnya ketika dia menguraikan bahwa bahasa sebagai sarana manusia untuk mengungkap yang gaib, fiktif, imajinatif, dan hal-hal non-material adalah keunggulan yang tidak dimiliki makhluk hidup lain.
Dan sarana bahasa itu bukan sekadar bahasa tertentu, melainkan kemampuan yang terpasang dalam otak manusia. Berkat kemampuan itulah manusia dapat menjelaskan yang abstrak, gaib dan non-material, menyiapkan rencana, mengirim rangkuman informasi, dan lain sebagainya. Akibatnya, homo sapiens melompat maju jauh melampaui spesies-spesies sejenisnya.
Berbeda dengan argumentasi Harari dalam Sapiens: A Brief History of Humankind, saya percaya bahwa revolusi kognitif itu tidak kebutulan. Selain bertolak-belakang dengan prinsip kausalitas, argumen kebetulan itu seperti orang melempar batu sembunyi tangan.
Seperti diakuinya sendiri, argumen kebetulan merupakan ungkapan orang yang tidak menemukan sebab-musabab, bukan argumen berdasarkan dalil yang valid. Padahal, bagi orang beriman, alih-alih melempar kebetulan, jauh lebih sahih dan logis jika kita percaya bahwa kemampuan kognitif yang mendasari revolusi kognitif manusia itu tak lain adalah karunia ilahi.
Barangkali itulah karunia yang oleh Alquran disebut dengan al-bayan. Dan al-bayan (kemampuan menjelaskan sesuatu) ini tampaknya berhubungan erat dengan bahasa ‘araby yang bersifat mubin (jelas, jernih, dan terang).
Apalagi, kata البيانyang disebutkan Alquran sebagai kemampuan yang Allah ajarkan pada manusia memiliki akar kata yang sama dengan مبين yang menjadi sifat bahasa ‘araby. Di sini kita melihat konsistensi peristilahan Alquran saat membahas himpunan tema yang sama. Tapi, lagi-lagi, topik itu di luar cakupan tulisan ini.[]
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[i] Saya tidak mengerti bahasa Ibrani. Tapi dengan mendengar orang berbahasa ini, maka saya bisa menangkap bahwa para penggunanya kerap mengucapkan makhraj huruf yang menyimpang, alias ‘ajam. Misalnya, dalam pengucapan alfabet Ibrani kita melihat alif diucapkan alef, ba’ diucapkan bet, jim diucapkan gimel, dal diucapkan dilet dan sebagainya. Khusus dalam kasus jim ini pengucapan Ibrani mirip dengan logat Arab Mesir. Dan di Mesir inilah Bani Israel tinggal selama ribuan tahun di era raja-raja Fir’uan. Walhasil peng-‘ajam-an Ibrani terdengar oleh telinga saya. Meski, sekali lagi, ini hanya observasi dan spekulasi dari sisi orang yang memahami bahasa Arab tapi tidak memahami bahasa Ibrani.