Mozaik Peradaban Islam

Ilusi Identitas Arab: Sebuah Pengalaman dan Klarifikasi (25): Penutup: Marilah Kita Jauhi Kebanggaan pada Identitas Palsu

in Studi Islam

Fenomena kearab-araban itu sepenuhnya adalah ilusi yang memanfaatkan kebodohan massa. Elit yang hendak meraih dominasi dan kekuasaan cenderung memanfaatkan ilusi dan kebodohan massa ini.

Lukisan karya Ludwig Deutsch (1855–1935). Foto: Public Domain

Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab

Saya ingin menutup keseluruhan tulisan ini dengan berkilas balik pada pemandangan awal yang melatarbelakanginya. Tendensi kearab-araban yang kita saksikan di Indonesia dan belahan dunia Islam lainnya belakangan ini, menurut saya, sama sekali bukan lahir dari hakikat Arab yang sebenarnya, apalagi Islam.

Seperti yang telah saya paparkan dalam tulisan panjang ini, fenomena itu lahir dari kebanggaan pada identitas suku bangsa Arab. Dan itu absurd. Alasannya, sejak semula istilah Arab tidak merujuk pada suatu ras, kabilah, kaum, atau suku bangsa.

Sebutan Arab, pertama dan terutama, adalah nama bahasa. Bukan logat bahasa tertentu, tapi bahasa yang jelas, terang, dan fasih.

Karenanya, fenomena kearab-araban itu bukan manifestasi ketinggian citarasa berbahasa. Bukan pula ia lahir dari penghayatan terhadap wahyu Alquran yang jelas dan terang. Tidak pula ia merupakan upaya menyelami Islam.

Toh Islam sejak semula telah memisahkan diri secara tegas dan jelas dari hubungan dengan suku bangsa atau ras tertentu. Malah Islam di dalam Alquran diperkenalkan sebagai agama fitrah, agama semua manusia yang lurus, tanpa melihat suku bangsa, lokasi geografis, dan etnisitasnya.

Alquran mempertentangan Islam yang lurus ini dengan Yahudi dan Nasrani, antara lain, karena kedua ajaran itu ditarik jadi monopoli eksklusif golongan tertentu. Jika Islam tidak kita selamatkan dari klaim-klaim eksklusif golongan suku bangsa atau ras tertentu, maka nasibnya akan menyimpang seperti ajaran-ajaran para nabi terdahulu.

Lebih jauh, bagaimana mungkin fenomena kearab-araban itu melahirkan kualitas-kualitas intelektual, moral dan spiritual yang agung bila ‘araby yang fasih itu sendiri diusung sebagai barang milik bangsa tertentu?!

Bagaimana mungkin orang yang jujur dan adil melupakan betapa konsisten Alquran memisahkan ‘araby sebagai bahasa wahyu dan a’rab yang lebih sering dikecam?! Intinya, kegairahan meniru Arab itu tidak lebih dari kebanggaan palsu terhadap ilusi identitas yang tidak berdasar.

Fenomena kearab-araban itu sepenuhnya adalah ilusi yang memanfaatkan kebodohan massa. Elit yang hendak meraih dominasi dan kekuasaan cenderung memanfaatkan ilusi dan kebodohan massa ini.

Padahal, seperti telah berulang-ulang saya kemukakan, jika kita telisik lebih jauh, maka kita menemukan bahwa gairah kearab-araban itu lebih banyak meniru sifat-sifat a’rab yang tercela. Seperti juga fenomena kebarat-baratan, fenomena kearab-araban itu acapkali justru menyerap unsur-unsur negatif dari karakter a’rab. Sederet karakter yang telah Allah kecam sebagai paling keras dalam kekufuran dan kemunafikan.

Pada hakikatnya, perilaku meniru suku-suku yang mengklaim diri sebagai Arab tidak berkaitan dengan perkara intelektual, moral, dan spiritual. Alih-alih timbul dari penghayatan Alquran dan keislaman, peniruan itu boleh jadi malah memerosokkan masyarakat ke dalam cara beragama yang dangkal, materialistik, dan jumud. Efeknya adalah komersialisasi dan komodifikasi ke-a’rab-an yang terbukti tercela dan buruk.

Jika harus mengatakan apa adanya, maka saya harus mengungkapkan bahwa Islam, Nabi, Alquran, dan para pembawa sejatinya sepanjang sejarah justru jadi bulan-bulanan elit a’rab ini sejak periode awal Islam.

Siapa saja yang membaca Alquran dan sejarah Nabi pastilah paham bahwa musuh-musuh bebuyutan Nabi adalah orang-orang yang juga secara material kultural mengenakan atribut-atribut yang kini dianggap identik dengan Arab, Islam, dan Alquran.

Konflik berdarah-darah pasca wafat Nabi juga diperankan oleh golongan suku bangsa pengusung atribut-atribut spesifik itu. Belum lagi kutukan dan celaan Alquran terhadap mereka, mulai dengan sebutan kafir, munafik, pembohong, pengkhianat, a’rab, dan sebagainya yang menyasar golongan ini.

Kebanggaan pada atribut-atribut yang demikian sama sekali tak mencerminkan tingkat keimanan atau ketakwaan. Pun tak lantas menjadikan mereka dan para penirunya sebagai kelompok yang paling dekat dengan Alquran.

Rasul sendiri dalam Alquran mengeluhkan mereka. Dalam surah al-Furqan ayat 30, Allah berfirman: “Dan Rasul (Muhammad) berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Alquran ini diabaikan.’.”

Sekiranya kaumku dalam ayat ini bermakna umum, maka pastilah yang beliau maksud termasuk kaum yang mengklaim Arab dengan segenap atribut fisik mereka dan nasab-nasabnya. Sungguh jelas bahwa Rasul mengeluh tentang kaumnya, yang seharusnya menjunjung Alquran, ternyata justru mengabaikan dan menyingkirkannya.

Pada bagian tentang penggunaan istilah a’rab dalam Alquran saya sudah mengutip ayat 14 Surah al-Hujurat. Di ayat 11 surah yang sama, Allah melarang sekumpulan orang merendahkan sekumpulan orang lain. Boleh jadi yang direndahkan itu lebih mulia dari yang merendahkan.

Jangan pula meledek diri kalian sendiri dengan meledek sebagian yang lain, karena ledekan kalian pada hakikatnya kembali pada diri kalian sendiri. Dan terakhir jangan merendahkan orang dengan gelar yang mengejek.

Al-Suyuthi menyatakan bahwa ayat ini turun kepada sebagian orang dari Bani Tamim, salah satu kabilah Arab. Mereka menghina Bilal al-Habasyi, Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Khabbab bin al-Arat, Shuhaib al-Rumi, dan Amir bin Fuhaira.

Kebiasaan buruk a’rab ini kemudian dikecam dan dicela Allah. Jika kita baca surah al-Hujurat dari ayat 1 sampai 14, maka kita menemukan sederet karakter a’rab yang buruk, mudah bangga, merasa unggul dibanding yang lain, dan sebagainya.

Maka itu, pesan surah ini adalah mendudukkan umat manusia sebagai satu kesatuan dengan segala aneka ragam suku dan kaumnya. Dan bahwa keutamaan itu hanya berdasar pada ketakwaan.

Apa yang saya sampaikan di atas bukan untuk menggebah gairah kearab-araban pada sebagian orang. Saya tidak punya masalah dengan kecenderungan orang di mana pun untuk menyenangi atau meniru atribut-atribut kaum manapun. Sama sekali bukan itu maksud saya.

Tapi yang ingin saya tegaskan dan tekankan adalah: tidak ada golongan manapun di dunia ini, apapun atribut fisik mereka, yang berhak memonopoli keagungan Islam, Alquran, dan Rasul pembawanya. Seolah-olah ada golongan pilihan Allah yang lahir dengan segudang keunggulan dan keistimewaan dibandingkan dengan golongan yang lain.

Klaim monopoli keunggulan itu merupakan sesuatu yang dikecam Allah. Inilah salah satu sebab penyimpangan umat-umat terdahulu, terutama Bani Israel. Mereka mengira bahwa merekalah bangsa yang dipilih dan diistimewakan Allah. Padahal, anggapan dusta itu menandakan kebejatan dan kedurhakaan mereka.

Dalam surah al-Jum’ah ayat 6, Allah berfirman: “Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang Yahudi! Jika kamu mengira bahwa kamulah kekasih-kekasih Allah, bukan orang-orang yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu orang yang benar.’.

Ternyata tiru-meniru kebejatan dan kedurhakaan kaum lain itu bukan barang baru. Ada sejumlah hadis yang menjelaskan bahwa umat ini akan mengikuti jejak umat-umat terdahulu.

Abu Said al-Khudri meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti perilaku dan cara (sunnah) kaum-kaum sebelum kalian setapak demi setapak dan sejengkal demi sejengkal sampai sekiranya mereka memasuki lubang kadal gurun (dhab) maka kalian pun akan mengikutinya.” Hadis ini dimuat Sahih Imam Bukhari kitab al-Anbiya dan Sahih Imam Muslim kitab al-‘Ilm.

Perasaan superior dan bangga diri sebagian a’rab itu sungguh bertolak-belakang dengan fakta bahwa mereka kini menjadi salah satu bangsa terhina dan tercela di dunia. Dari suku bangsa a’rab inilah para teroris muncul dan dalam milieu mereka terorisme tumbuh subur menyebar ke seantero dunia.

Ini bukan hoaks, tapi data yang didukung fakta-fakta lapangan yang terverifikasi. Seakan-akan mereka ini hanya mampu menyebar konflik dan permusuhan. Maka tidaklah heran bila Alquran secara tegas membedakan antara hukum ‘araby (QS surah al-Ra’ad ayat 37) dan hukum Jahiliyah (QS al-Maidah ayat 50).

Lebih jauh, kalaupun kita terima bahwa orang-orang Arab itu mengerti Alquran seperti klaim mereka, maka beban kecaman terhadap mereka justru semakin besar. Karena sekalipun sudah mengerti, tapi terbukti mereka mengabaikan ajaran kebenaran yang terkandung di dalamnya.

Bukankah itu kian memberatkan dakwaan atas mereka? Bukankah sifat ini mengukuhkan firman Allah yang menyifati a’rab dengan kekufuran dan kemunafikan yang paling keras?

Di sisi lain, saya harus menjernihkan kepada para pembenci Arab untuk tidak mengidentikkan Alquran yang berbahasa ‘araby dengan a’rab. Alquran secara tersurat membedakan kedua kategori ini. Fakta-fakta etimologis dan historis juga membedakan keduanya.

Membenci perilaku a’rab jangan membawa kita pada kebencian terhadap ‘araby yang merupakan bahasa wahyu Alquran. Yang harus kita lakukan justru menyelamatkan Alquran yang ‘araby dari manipulasi, eksploitasi, dan asosiasi dengan a’rab tersebut.

Sekaligus menyelamatkan a’rab yang baik dari kezaliman elit a’rab yang bejat. Secara moral kita tak bisa menimpakan keburukan sebagian individu golongan, meski mayoritas, terhadap seluruh individu golongan tersebut.

Menurut saya, meskipun tidak semuanya, sebagian ujaran kebencian pada Arab tak pelak bersumber dari kebencian dan keengganan pada Islam dan Alquran itu sendiri. Para pembenci ini seperti kata peribahasa buruk rupa cermin dibelah.

Bila kita lihat keterampilan sebagian mereka dalam mengumpat dan mengejek, kita dapat memasukkan para pembenci itu dalam karakter a’rab yang dicela Alquran, sekalipun boleh jadi keturunan dan silsilah mereka berbeda.

Bahkan, jangan-jangan, para pembenci dan yang dibenci ini ibarat dua kutub magnet yang terus memproduksi kebencian dan permusuhan di tengah manusia. Mari kita padamkan magnet kebencian dan permusuhan ini dengan sikap adil, jujur, objektif, teliti, dan berdiam diri jika tidak mengetahui duduk perkara.[]

Selesai.

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*