Mozaik Peradaban Islam

Memaknai Revolusi Imam Husein (8): Karbala

in Studi Islam

Last updated on October 26th, 2018 10:22 am

“Sesungguhnya aku tidak melihat kematian kecuali sebagai kebahagiaan dan kehidupan bersama orang zalim sebagai kenistaan.” ~Husein bin Ali

–O–

Di Mekkah, Sayidina Husein tak hentinya memperingatkan semua tokoh dan masyarakat Islam waktu itu tentang situasi yang demikian mengancam eksistensi Islam. Dia pun lugas menyatakan takkan pernah mungkin memberikan baiat kepada Yazid, yang diketahui umum sebagai penguasa bejat dan zalim. Sebagian dari mereka ada yang mengamini beliau, tapi mundur teratur setelah mendengar pengkhianatan warga Kufah; sebagian lain jelas memilih bersama Yazid lantaran suatu kepentingan atau rasa takut; dan sebagian lain lagi bersikap apatis dengan seruannya. Kelompok apatis ini merupakan mayoritas umat yang sudah merasa lelah dengan rentetan konflik, tak mengetahui persis apa yang sebenarnya terjadi di kalangan elit dan tidak mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap.

Di sisi lain, posisi Husein di Mekkah kian terdesak. Beliau diburu dan terus dimata-matai, terutama karena gubernur Hijaz saat itu adalah Al-Walid bin Utbah bin Abu Sufyan—sepupu Yazid—dan walikota Mekkah adalah Amr bin Said bin Al-Ash Al-Asydaq. Sebuah versi menuturkan bahwa Yazid telah memerintahkan satu regu pembunuh untuk menghabisi Husein meskipun dia bergelantung di kiswah Ka’bah. Untuk menghindari preseden pertumpahan darah di Baitullah yang tidak pernah terjadi sebelumnya, Husein memutuskan bertolak ke Kufah bersama rombongan keluarga dan sedikit orang yang mengikutinya.[1] Karena, bagaimanapun, seperti telah dinyatakannya sendiri berulang-ulang, mustahil baginya membaiat Yazid sebagai khalifah. Selain karena tidak layak, dia tidak lain merupakan sumber malapetaka umat dan agama. Pemahaman ini sebenarnya juga diterima kebanyakan elit pada masa itu, tapi kebanyakan mereka diam dan tidak berani angkat suara apalagi melawan.

Tiba-tiba dunia menjadi sepi bagi Husein. Beliau berjalan bersama keluarga dan pengikutnya yang sedikit meniti gurun pasir panas Arabia menuju Kufah. Hingga akhirnya mereka tiba di satu tempat di tepi sungai Eufrat, yang bernama Karbala. Ketika tiba di Karbala Husein mendirikan tenda di sana. Tak lama berselang datanglah ribuan pasukan Kufah yang dipimpin oleh Umar putra Saad bin Abi Waqash. Dia dijanjikan oleh Ibnu Ziyad jabatan di daerah Rayy yang subur dan indah, yang di masa lalu disebut dengan Rhages—pinggiran Tehran, ibukota Iran sekarang. Tugasnya hanya dua, mengambil baiat Husein atau membunuhnya. Selanjutnya sebagaimana sejarah mencatat, drama paling menyayat digelar.

Lukisan tertua yang menggambarkan peristiwa pengepungan Husein dengan keluarganya. Dilukis tahun 680 M, pelukis tidak diketahui. Photo: tabnak

Sayidina Husein beserta seluruh keluarga dan pengikutnya dikepung berhari-hari. Mereka tidak diizinkan kembali, tidak juga dibiarkan meneruskan perjalanan sampai Sayidina Husein bersedia memberikan baiat kepada Yazid. Lagi-lagi – satu hal yang mustahil dilakukan oleh orang semulia Husein. Dia pun tercatat berseru: “Bukankah kalian melihat kebenaran tidak ditegakkan dan kebatilan tidak dicegah?! Patutlah bagi seorang Mukmin yang melihat ini untuk berharap segera bertemu dengan Allah. Sesungguhnya aku tidak melihat kematian kecuali sebagai kebahagiaan dan kehidupan bersama orang zalim sebagai kenistaan.”[2]

Sejarawan mencatat Husein tiba di Karbala pada tanggal 2 Muharam dan akhirnya gugur di tempat ini pada 10 Muharam. Artinya selama 8 hari beliau menghabiskan sisa perbekalan, selebihnya beliau dan keluarganya menahan rasa haus dan lapar di tengah gurun yang panas menyengat. Ali Audah mengatakan bahwa sejak tanggal 7 Muharam itu, atau selama 3 hari, Sayidina Husein dan keluarganya sudah tidak lagi menenggak minuman. Satu-satunya akses air minum adalah sungat Eufrat yang telah ditutup oleh pasukan Umar bin Saad. Setiap kali pengikutnya ingin mengambil air, maka nyawa mereka adalah taruhannya.

Demi menjaga kehormatannya, para pengikut dan keluarga Sayidina Husein yang melawan kezaliman ini, gugur satu persatu: mulai dari para budak hingga keluarga dekat seperti adik-adik lelakinya dari ibu Ummul Banin (Fathimah binti Huzam), keponakan-keponakannya dari Sayidina Hasan, putra-putranya sendiri – semuanya adalah kerabat dekat Nabi Muhammad SAW. Hingga akhirnya yang tersisa tinggal dia dan Ali Zainal Abidin, putra keduanya, beserta rombongan wanita keluarga Nabi SAW yang berdiam di dalam tenda. (MK)

Bersambung ke:

Memaknai Revolusi Imam Husein (9): Asyura

Sebelumnya:

Memaknai Revolusi Imam Husein (7): Undangan dari Kufah

Catatan Kaki:

[1] Firasat Imam Husein belakangan terbukti: Yazid memerintahkan Amr bin Said Al-Ash Al-Asydaq yang lantas meminta kepala keamanannya yang tak lain adalah Amr bin Zubair bersama seribu pasukan untuk menyerang saudaranya sendiri, Abdullah bin Zubair, dan para pendukungnya yang beroposisi terhadap Yazid di Mekkah, dan terjadilah pertumpahan darah pertama di sana. Setelah itu terjadi lagi peperangan di Mekkah sampai terjadi kebakaran di sekitar Ka’bah. Di era pemerintahan Marwan bin Al-Hakam, panglima perangnya, Hajjaj bin Yusuf juga menyerang Mekkah dan menewaskan banyak orang. Lihat, https://ar.wikipedia.org/wiki/عبد_الله_بن_الزبير#cite_note-24.

[2] Luth bin Yahya bin Said bin Mikhnaf Al-Azdi, Maqtal Al-Husien, diakses dari http://www.ar.islamic-sources.com/download/C121-maqtal%20emam%20hosin.pdf, pada Oktober 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*