Mozaik Peradaban Islam

Memperingati Hari Kemerdekaan, Membebaskan Diri dari Penjajahan oleh Hawa Nafsu

in Tasawuf

Rasulullah berkata, perang fisik sebesar apapun, itu harus dilihat sebagai jihad asghar, atau sebagai perang kecil, jika dibandingkan dengan perang melawan hawa nafsu.

Haidar Bagir. Foto: Screen Capture Youtube Nuralwala

Oleh Haidar Bagir

Tidak terasa pada tahun ini kita telah melaksanakan kembali peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan adalah suatu peristiwa besar, bukan hanya dalam sejarah negara atau bangsa kita. Tetapi, sesungguhnya, persoalan jaminan kemerdekaan bagi manusia adalah suatu hal yang juga menjadi inti ajaran agama Islam.

Sufi Memimpin Perlawanan terhadap Penindasan

Jaminan terhadap kemerdekaan bahkan terkait dengan praktik tak sedikit kaum Sufi dan bagian dari ajaran mereka. Kaum Sufi oleh sebagian pengritiknya dituduh sebagai kelompok yang menyendiri, menjauh dari masyarakat, dan mengabaikan kehidupan duniawi. Pada kenyataannya, justru didorong oleh kecintaan mereka kepada Allah dan kepada kemanusiaan, mereka termasuk di antara orang-orang yang paling mementingkan, dan berupaya untuk memastikan bahwa setiap orang mendapatkan hak kemerdekaannya.

Di dalam sejarah, betapa banyak catatan tentang para Sufi yang menjadi pemimpin gerakan yang melawan penindasan dan penjajahan, baik itu di negeri kita maupun di berbagai belahan dunia Muslim lain. Di Indonesia misalnya kita mengenal Pangeran Diponegoro yang, terlepas apakah dia seorang Sufi atau bukan, adalah orang yang dibesarkan dalam lingkaran keluarga yang mempraktikkan tasawuf. Bahkan keluarganya dikenal sebagai pengikut Tarekat Syattariyah.

Diponegoro dikenal sebagai orang yang juga mempelajari dan mencoba mempraktikkan ajaran-ajaran tasawuf, khususnya wahdatul wujud. Sebagaimana dikutip oleh Peter Carey, penulis buku Destiny; The Life of Prince Diponegoro of Yogyakarta, 1785–1855, Diponegoro disebutkan sebagai pembaca Kitab Topah. Kitab Topah yang dimaksudkan di sini adalah Kitab Al- Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi yang dikarang oleh Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri al-Hindi. Kitab tersebut tiada lain merupakan salah satu kitab yang menjadi perantara masuk dan meluasnya ajaran tasawuf wahdatul wujud di Indonesia.

Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan Indonesia, termasuk di antara yang menuliskan banyaknya pemberontakan petani di Indonesia yang dipimpin oleh orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin tarekat atau kaum Sufi. Di negara berpenduduk Muslim lainnya, misalnya kita mengenal Omar Mukhtar di Libya yang memimpin pemberontakan melawan penjajahan Eropa; Imam Syamil, seorang Sufi di Uni Soviet yang memimpin pemberontakan melawan penindasan Rusia. Juga Badi’uzzaman Sa’id Nursi di Turki, dan Imam Khomeini di Iran. Dan banyak lagi di berbagai belahan dunia lainnya.

Islam Membela Orang-Orang Tertindas

Dari contoh-contoh tersebut, dapat kita simpulkan bahwa tasawuf, sejalan dengan ajaran Islam, juga memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kemerdekaannya dan bebas dari penindasan atau perbudakan.

Memang, Islam di zaman Nabi dikenal sebagai agama yang mengajarkan keutamaan menghilangkan perbudakan. Memang sempat, pada masa-masa awal Islam, terdapat praktik tindakan retaliatif untuk menjadikan tawanan sebagai budak. Yakni, sebagai balasan bagi aksi musuh yang menjadikan Muslim yang ditangkap sebagai budak. Tetapi, pada saat yang sama, Nabi SAW mencari jalan sebanyak-banyaknya untuk memudahkan pembebasan budak.

Terkait dengan ini, ada instruksi Fakku Raqabah (Q.S 90:13), yaitu perintah dari Allah SWT untuk membebaskan orang dari ikatan perbudakan atau penindasan.

Juga di dalam Alquran ada istilah Mustadh’afin, atau orang-orang yang tertindas. Alquran begitu menghormati orang-orang tertindas dan mewajibkan kita semua membebaskan orang-orang dari penindasan.

Sehingga, bahkan dalam satu ayat Allah mengatakan, bahwa ada saatnya nanti bumi ini akan diwariskan kepada orang-orang mustadh’afin (Q.S 28:5), artinya Allah begitu menghormati mereka dan menentang penindasan, serta memastikan nantinya mereka akan bebas, bahkan menjadi penguasa bumi.

Ada juga kisah tentang seseorang yang secara tidak semena-mena dicambuk oleh putra Amr bin Ash. Dikatakan dalam satu riwayat, putra Amr bin Ash kalah dalam suatu perlombaan dari seseorang. Dia marah karena merasa bahwa dia lebih berhak memenangkan perlombaan itu. Orang itu kemudian dicambuknya. Belakangan orang itu mengadu kepada Sayyidina Umar, khalifah pada waktu itu, dan melaporkan kasusnya.

Sayyidina Umar kemudian memanggil putra Amr bin Ash, dan dia menyuruh orang yang telah dicambuk itu untuk membalas kepada putra Amr bin Ash. Sayyidina Umar lalu mengatakan, “Sejak kapan engkau memperbudak manusia? Padahal ibu-ibu mereka melahirkan mereka sebagai orang-orang yang merdeka.”  

Kemerdekaan dari Hawa Nafsu

Selain persoalan pembebasan dari penindasan atau penjajahan secara fisik, kemerdekaan juga merupakan upaya bagi kita untuk membebaskan diri dari penindasan atau perbudakan oleh hawa nafsu kita sendiri. Banyak orang yang seolah-olah hidup merdeka di suatu negara atau bangsa, tetapi di dalam dirinya sebetulnya dia sedang membiarkan hawa nafsunya menindas atau memperbudaknya.

Apabila dilihat dari perspektif tasawuf, setiap orang bukan saja harus memastikan bahwa dirinya dapat bebas dari penindasan dari orang lain dan mendapatkan hak asasinya, tetapi pada saat yang bersamaan, bahkan lebih dari segalanya, dia harus lebih dulu mampu membebaskan dirinya dari penindasan atau perbudakan oleh hawa nafsunya sendiri.

Dan akan terbukti, bahwa upaya melawan penindasan oleh hawa nafsu kita sendiri merupakan upaya yang jauh lebih sulit dibanding upaya membebaskan diri kita atau orang lain dari penindasan atau perbudakan oleh orang lain, baik melewati aksi hukum maupun dalam peperangan.

Inilah antara lain yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang selalu dikutip oleh kaum Sufi, dan bahkan ini menjadi dasar dari ajaran tasawuf itu sendiri. Rasulullah berkata, perang fisik sebesar apapun, itu harus dilihat sebagai jihad asghar, atau sebagai perang kecil, jika dibandingkan dengan perang melawan hawa nafsu. Dan perang melawan hawa nafsu inilah yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai jihad akbar, atau perang yang paling besar.

Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah dari peringatan hari kemerdekaan kita dengan memastikan bahwa kita selalu bahu membahu melakukan upaya-upaya untuk memastikan tidak seorang pun yang layak untuk dirampas kemerdekaannya. Dan bahwa kemerdekaan itu adalah hak semua orang dan hak segala bangsa, sebagaimana diungkapkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 45.

Kemudian yang tidak kalah penting, hendaknya setiap individu di antara kita sudah memastikan bahwa kita bisa membebaskan diri dari perbudakan dan penindasan oleh hawa nafsu kita sendiri. Jika itu sudah berhasil kita capai, Insya Allah orang-orang yang merdeka seperti ini, di samping mampu memerdekakan orang lain, juga akan menjadi suatu kekuatan yang memastikan bahwa setiap orang bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh kehidupan yang layak, mendapatkan keadilan, dan mencapai tujuan-tujuan hidup lainnya dengan lebih baik; baik itu tujuan keagamaan, kebangsaan, maupun kehidupan damai berdampingan dalam level internasional. Dirgahayu Republik Indonesia, selamat memperingati hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2019. Salam Merdeka.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*