Banyak orang yang bergelut dalam ilmu pengetahuan menyangkal (adanya) ilmu gaib laduni yang dipunyai oleh para pesuluk dan ahli makrifat dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin ada ilmu tanpa proses belajar, berpikir, dan berpandangan?”
Seperti umumnya mistikus Islam,[1] Ibnu Arabi menuangkan butir-butir pemikirannya dalam bahasa yang meminjam istilah James Winston Morris “tersegel dan misterius”.[2] Bahasa yang demikian itu memang menjadi sumber pesona sekaligus dilema.
Ketersegelan dan misteri bahasa Ibnu Arabi sebetulnya disebabkan oleh keterampilannya “mempermainkan” kata-kata Arab yang sedemikian kaya, dan keberaniannya menyelami pelik-pelik teks Alquran dan Hadis yang sarat dengan ilustrasi (isyârah), alusi (kinâyah), dan majas.
Upaya Ibnu Arabi untuk membawa teks Alquran dan Hadis ke tingkat yang lebih transenden, sama sekali tidak bertentangan dengan klaim Alquran bahwa dia menggunakan bahasa Arab yang jelas dan lugas (QS 26: 195).
Sebaliknya, salah satu mukjizat Alquran yang memikat para ahli bahasa Arab sepanjang sejarah terletak pada fakta bahwa kitab suci ini meng-excel bahasa Arab yang ekspresif untuk melukiskan realitas-realitas metafisik secara impresif.[3]
Di sini kami tidak akan berpanjang lebar membuktikan kebenaran klaim di atas dengan bukti-bukti dari Alquran dan Hadis, karena hal itu akan menjauhkan kita dari inti pembicaraan.
Perlu diingat bahwa upaya Ibnu Arabi untuk menjelajahi teks-teks suci itu berpijak pada penguasaannya yang mendalam atas ilmu-ilmu bahasa Arab (seperti nahwu, sharaf, balâghah, badî’, bayân, dll.) dan ilmu-ilmu Islam (seperti tafsir, ilmu kalâm, fiqih, sejarah, logika, filsafat, dll.), sehingga kawan dan lawannya sama-sama mengakui keberhasilannya menjalankan tugas berat tersebut.
Keberhasilan itu dapat kita lihat dengan jelas dalam puluhan (ratusan?) karya yang telah ditulisnya, terutama sekali dua karya monumentalnya, Fushûsh Al-Hikam dan Al-Futûhât Al-Makkiyyah. Di sini, penulis akan lebih banyak merujuk kepada Al-Futûhât Al-Makkiyyah daripada karya Fushûsh Al-Hikam yang secara aklamasi diakui jauh lebih pelik, lebih padat, dan lebih tertutup.
Memahami gagasan-gagasan Ibnu Arabi jelas bukan tugas yang mudah, mengingat semua gagasan itu tidak untuk diwacanakan apalagi dituliskan. Penyampaian tekstual, baik oral ataupun verbal, untuk mewacanakan penyingkapan atau penyaksian mistis (mukâsyafah atau musyâhadah) adalah seperti menceritakan lelucon.
Menurut Michael Sells, seorang pemerhati bahasa kaum mistikus, “Siapapun yang telah mencoba menjelaskan sifat jenaka yang terkandung dalam sebuah lelucon secara diskursif, tahu persis bagaimana kejenakaan itu akan segera lenyap sesaat setelah dipindahkan dari seni peragaannya.”[4]
Dengan kata lain, “pewacanaan” lelucon hanya akan berarti penghilangan atau pengurangan watak jenaka yang tersimpan di dalamnya.
Contoh lain yang juga sering dikemukakan oleh para ahli makrifat berkaitan dengan hal di atas adalah kesulitan seseorang menjelaskan “rasa” madu kepada mereka yang belum pernah “merasakannya” atau menjelaskan warna kuning kepada tunanetra.
Hal itu karena “rasa” dan “warna” (nuansa) tidak mungkin “dipahami” kecuali secara aktual-performatif. Yakni, rasa manis dan warna kuning itu hanya bisa dimengerti lewat pengalaman dan percobaan langsung. Bagaimana tidak, “rasa” dan “warna” adalah dua konsep abstrak yang memiliki derajat, intensitas, dan variasi yang tidak terbatas.
Ketika Anda berbicara tentang “rasa manis” kepada sejumlah orang, yang “manis” yang ditampilkan oleh masing-masing memori pendengar itu kemungkinan besar sangat beragam dan tidak menentu (manis permen, manis madu, manis cokelat, manis gula), sehingga masing-masing orang bisa punya rujukan yang berbeda-beda tentang objek “manis” yang sama. Bila demikian halnya, maka bisa dibayangkan betapa beragamnya masalah yang muncul manakala kita berbicara tentang “rasa” atau “warna” secara umum.
Kesulitan yang sama terjadi pada semua orang yang mencoba menjelaskan konsep-konsep abstrak yang sedemikian luas dengan kata-kata yang demikian terbatas. Kalau Anda bertanya kepada seorang teman, “Apakah cantik itu?”
Maka, sangat mungkin dia akan memulai jawabannya dengan penggambaran mendetail tentang sosok yang cantik, padahal kecantikan yang “menempel” pada sosok itu tidak lebih daripada percikan dari sumber kecantikan yang lebih abstrak dan lebih mutlak.
Lebih dari itu, dalam menjelaskan kecantikan sosok tersebut, teman Anda sangat mungkin memasukkan unsur-unsur lain yang tidak termasuk dalam konsep kecantikan menurut Anda. Akibatnya, kecantikan ini bercampur-aduk dengan unsur-unsur non-kecantikan sehingga diperlukan ilmu tertentu yang dapat memberikan rasa kecantikan itu secara langsung.
Dalam karangannya yang berjudul Mafâtîh Al-Ghayb, Mulla Shadra, filosof-mistikus pengagum Ibnu Arabi, menuturkan: “Banyak orang yang bergelut dalam ilmu pengetahuan menyangkal (adanya) ilmu gaib laduni (langsung dari sisi Allah) milik para pesuluk dan ahli makrifat (yang lebih kuat dan lebih kukuh dibanding semua jenis ilmu lain) dengan mengatakan: ‘Bagaimana mungkin ada ilmu tanpa proses belajar, berpikir, dan berpandangan?’”[5]
Lalu, dalam magnum opus-nya, Al-Asfâr, Mulla Shadra membantah prasangka itu dengan mengatakan: “Teori-teori kewacanaan (discursive) hanya akan mempermainkan para penganutnya dengan keragu-raguan; kelompok yang datang belakangan akan melaknat kelompok yang datang sebelumnya, sehingga ‘Setiap umat yang masuk (ke dalam neraka) akan melaknat umat sebelumnya (yang telah ikut menyesatkannya)’ (QS Al-A’raf: 38).”[6]
Untuk tujuan itu, para ahli makrifat, khususnya Ibnu Arabi, sering menganjurkan kita untuk melakukan tahqîq terhadap semua (jenis) ilmu kita. Kata tahqîq ini berakar sama dengan kata Al-Haqq yang sering dipakai dalam teks-teks Alquran dan Hadis.
Secara harfiah, tahqîq berarti upaya menemukan al-haqq (kebenaran atau truth dengan katau t kecil) yang bersumber dari Al-Haqq (Hakikat atau Reality dengan H atau R besar). Jadi, tahqîq ini mengacu pada proses dinamis untuk merealisasikan Al-Haqq dan hakikat secara batin (berakhlak dengan Akhlak Allah) dan mengaktualisasikan-Nya secara lahir.
Inilah makna dari tiga dimensi Islam yang disebut-sebut oleh para ahli makrifat dengan istilah haqîqah atau ma’rifah, tharîqah, dan syarî’ah. Mengacu pada prinsip yang sudah lama dipegang oleh banyak pemikir Muslim terdahulu, Ibnu Arabi sering mempertautkan tiga dimensi Islam itu dengan realitas-realitas (haqâiq) ontologis-kosmologis (kitab penciptaan), sumber-sumber wahyu (Alquran dan Hadis), dan maqâm–maqâm jiwa manusia. Jaringan kompleks inilah yang sebenarnya perlu sekali kita perhatikan dalam rangka memahami pemikiran Ibnu Arabi. (MK)
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Dalam tulisan ini, penulis memakai kata mistikus sebagai padanan kata ‘ârif atau ahli makrifat dan ahli irfan (gnostik).
[2] Ibn Arabi, The Meccan Revelations, suntingan Michel Chodkiewicz, Pir Press, New York, 2002, Bagian Pengantar, hal. 5.
[3] Secara harfiah, a’raba artinya mengungkapkan perasaan atau maksud hati, sehingga bahasa Badui disebut ‘arab karena kekuatan ekspresifnya yang tinggi.
[4] Michael A. Sells, Mystical Languages of Unsaying, The University of Chicago Press, 1994, hal. 4.
[5] Mulla Shadra, Mafâtîh Al-Ghayb, Muassasah Muthala’at va Tahqiqat Farhang-gi, Tehran, t.t., hal. 48.
[6] Mulla Shadra, Al-Asfâr, Muassasah Al-A’la Li Al-Mathbu’at, Beirut, 1413 H., Bagian Pengantar.
menunggu… sambungannya..sudah 2 hari…:)