Metode Memahami Islam: Soal Cermin Diri dan Perspektif (2)

in Studi Islam

Last updated on February 16th, 2018 06:05 am

Alam wujud dan segala sesuatu pada dasarnya saling terkait dan saling mempengaruhi, persis seperti hubungan antara orang yang bercermin dan bayangan yang terpantul darinya. Jadi, keadaan alam raya dan segenap isinya tak lain dari refleksi diri kita sendiri

—Ο—

 

Riset medis dan ilmiah menunjukkan bahwa apa yang kita anggap atau kita percayai sebagai nyata lebih penting daripada benda-benda yang dapat kita sentuh, kita cicipi, dan kita ukur. Tulis Herbert Benson dan William Proctor: “Yang penting adalah bagaimana kita menafsirkan kenyataan atau bagaimana kita ‘melihat’ dunia konkret di sekeliling kita. Dengan kata lain, kekuatan dan potensi kita untuk sehat dibentuk oleh cara berpikir kita, negatif ataupun positif. Seorang filosof Roma abad pertama, Epictetus, pernah menyatakan, ‘Manusia terganggu bukan oleh benda-benda, melainkan oleh pendapatnya tentang benda-benda.’”[1] Barangkali itulah makna kata-kata Imam Ali  yang berbunyi: “دائك منك و دوائك فيك” (Penyakitmu dari dirimu, dan obatnya ada padamu).

Dalam bidang kedokteran, fenomena plasebo menunjukkan hubungan subjek-objek di atas. Plasebo adalah pil bohongan alias tepung yang dibentuk seperti pil. Ternyata, ketika diberikan kepada pasien, plasebo ini mempunyai efek menyembuhkan yang sama dengan pil sebenarnya. Dalam riset, sejumlah besar pasien bisa sembuh hanya dengan diberi plasebo. Dan lebih lanjut, plasebo ukuran besar punya efek menyembuhkan yang lebih ampuh dibandingkan dengan plasebo ukuran kecil. Warna-warna plasebo tertentu terbukti punya pengaruh menyembuhkan penyakit secara lebih ampuh dibandingkan dengan warna-warna lain.

Dalam pandangan mekanika quantum hubungan subjek dan objek dapat dilihat sebagai penentu penting bagi apa yang diamati dan bagaimana partikel terbentuk. Partikel itu ada dan dapat diamati hanya dalam hubungan dengan sesuatu yang lain. Mereka bukanlah eksistensi yang bebas dan berdiri sendiri. Hubungan yang tidak terlihat antara segala sesuatu yang semula kita anggap saling terpisah merupakan unsur dasar dari semua maujud. Alam wujud dan segala sesuatu pada dasarnya saling terkait dan saling mempengaruhi, persis seperti hubungan antara orang yang bercermin dan bayangan yang terpantul darinya. Jadi, keadaan alam raya dan segenap isinya tak lain dari refleksi diri kita sendiri.[2]

Dalam ilmu akhlak sering dikatakan bahwa teman kita adalah cemin diri kita. Sehubungan dengan itu, Rasulullah SAW pernah bersabda: “من جالس جانس” (Temanmu adalah serupamu). Dalam ungkapan lain, Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “انّ الطيور على اشباهها تقع” (Burung akan berkawan dengan sejenisnya). Jadi, lingkungan adalah cerminan diri kita sendiri karena ia merupakan pilihan bebas kita sendiri.

Filsafat Islam mengambil teori-teori serupa dalam tingkat yang lebih mendalam melalui kaidah yang disebut ittihâd al-‘âlim wa al-ma’lûm, yakni kesatuan subjek yang mengetahui (knower) dengan objek yang diketahui. Dalam kaitan ini, Toshihiko Izutsu menuliskan: “The problem of the unique form of subject-object relationship is discussed in Islam as the problem of ittihâd al-‘âlim wa al-ma’lûm, i.e. the ‘unification of the knower and the known.’ Whatever may happen to be the object of knowledge, the highest degree of knowledge is always achieved when the knower, the human subject, becomes completely unified and identified with the object so much so that there remains no differentiation between the two. For differentiation and distinction means distance, and distance in cognitive relationship means ignorance.”

(Masalah bentuk unik hubungan subjek-objek dibicarakan dalam [filsafat] Islam sebagai masalah ittihâd al-‘âlim wa al-ma’lûm, yakni ‘penyatuan (subjek) yang mengetahui dan (objek) yang diketahui’. Apapun objek pengetahuannya, tingkat tertinggi pengetahuan dicapai manakala yang mengetahui, subjek manusia, menjadi benar-benar tersatukan dan teridentikkan dengan objeknya sedemikian sehingga tidak terdapat lagi pembedaan di antara keduanya. Karena, pembedaan dan pemisahan berarti jarak, dan jarak dalam kaitannya dengan kesadaran berarti kebodohan.)[3]

Selanjutnya Izutsu menyatakan: “The correlation between the metaphysical and the epistemological means in this context the relation of ultimate identity between what is established as the objective structure of reality and what is usually thought to take place subjectively in human consciousness. It means, in brief, that there is no distance, there should be no distance between ‘subject’ and ‘object’. It is not exact enough even to say that the state of subject essentially determines the aspect in which the object perceived, or that one and the same object tends to appear quite differently in accordance with different points of view taken by the subject. Rather the state of consciousness is the state of the external world.

(Kaitan antara hal yang metafisikal dan epistemologis dalam konteks ini berarti hubungan kesamaan yang luar biasa antar apa yang disebut sebagai struktur realitas objektif dan apa yang dianggap berlangsung secara subjektif dalam kesadaran manusia. Secara ringkas, hal ini berarti bahwa tidak ada jarak dan tidak semestinya ada jarak antara ‘subjek’ dan ‘objek’. Rasanya tidak cukup tepat untuk mengatakan bahwa keadaan subjek secara esensial menentukan sisi objek yang dipersepsi, dan bahwa satu objek yang sama cenderung tampak berbeda sesuai dengan sudut-sudut pandang yang diambil oleh subjek. Akan tetapi, lebih dari itu, keadaan kesadaran sesungguhnya adalah keadaan dunia luar itu sendiri.)[4]

Singkatnya, tiap kali kita melihat orang menilai Islam, sepatutnya kita melihat penilaiannya sebagai cerminan dirinya sendiri. Sederhananya kita bisa mengembalikan pandangan itu sebagai bagian dari wacana yang perlu kita geledah secara objektif dan subjektif, dan mungkin menemukan interaktivitas di antara keduanya. Yang lebih baik lagi tentu kita meneladani sikap Nabi Agung Muhammad yang dengan tulus mendoakan para pembencinya yang melemparinya dengan kotoran di Taif dengan ungkapan: “Semoga Allah memberi petunjuk pada kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak mengetahui.” (MK)

Bersambung

Metode Memahami Islam: Soal Cermin Diri dan Perspektif (3)

Sebelumnya:

Metode Memahami Islam: Soal Cermin Diri dan Perspektif (1)

Catatan kaki:

[1] Herbert Benson & William Proctor, Dasar-dasar Respons Relaksasi, Kaifa 2000, hal. 32.

[2] Lebih jauh, lihat: Fritjof Capra, The Tao of Physics, Bantam Books 1997, dan Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, Mizan 2002.

[3] Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971, hal. 5.

[4] Ibid., hal. 10.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*