Mozaik Peradaban Islam

Muhammad: Manusia dan Nabi (3): Studi tentang Sejarah Kehidupan Nabi Islam (2): Tahun-tahun Awal Kelahiran

in Sejarah/Studi Islam

Last updated on January 28th, 2022 08:48 am

“Muhammad” artinya ‘sering dipuji’, atau ‘layak dipuji’. Itu adalah nama yang sama sekali tidak dikenal di kalangan bangsa Arab. Walaupun demikian, Abdul Muthalib tidak ragu untuk menyebut cucunya dengan nama tersebut.

Ilustrasi Foto: islamicity.org

Disebutkan bahwa ibunda Nabi s.a.w, Āminah tidak mengalami kesukaran dengan kehamilannya. Segalanya berjalan mulus baginya. Dia mendengar banyak hal tentang kesukaran-kesukaran yang harus dialami wanita saat kehamilannya. Namun, dia mengalami kehamilan yang sangat mudah sehubungan dengan harapan bahwa bayi yang akan dilahirkannya itu dapat mencerahkan kehidupannya setelah tragedi kematian tak terduga yang telah menimpa Abdullah, suaminya.

Tidak ada yang luar biasa tentang kelahiran Muhammad. Satu-satunya yang layak disebutkan adalah laporan dari ibunya yang meriwayatkan bahwa dia telah mengalami kelahiran yang mudah.

Sejarawan tidak mampu menentukan secara tepat berkenaan tahun kelahiran Muhammad. Namun, kebanyakan laporan menunjukkan bahwa [kelahirannya] terjadi pada tahun 570 AD, tahun ketika Abrahah, seorang penguasa Abyssinia dari Yaman telah melancarkan serangannya terhadap Mekah. Adapun mengenai tanggalnya, paling tidak diperkirakan jatuh pada 12 Rabī al-Awwāl tahun 53 SH.[1]

Tidak ada hal penting, khususnya tentang perlunya menentukan tanggal kelahiran Muhammad secara tepat. Apa pun perayaan-perayaan yang dilakukan saat-saat sekarang pada tanggal itu, sama sekali tidak berlandaskan [ajaran] Islam. Semua itu hanya perayaan tradisi yang tidak memiliki bobot keagamaan.[2]

Memang ada riwayat-riwayat mengenai beberapa kejadian yang menunjukkan tentang kehancuran Imperium Persia dan kepercayaan pagannya. Insiden-insiden lain yang diriwayatkan menunjukkan tentang terjadinya gerhana [atau kemunduran] pada agama-agama lain pada hari Muhammad dilahirkan.

Sementara kelahiran Muhammad melambangkan kehancuran yang segera akan terjadi atas seluruh kepercayaan-kepercayaan sesat, maka riwayat-riwayat seperti ini sama sekali tidak perlu ditanggapi dengan serius. Kita tidak memiliki bukti kuat untuk membuktikannya. Lagi pula, meskipun ada orang yang menganggap hal itu sebagai sesuatu yang benar, maka dari sudut pandang Islam bahwa tidak ada hal penting yang berhubungan dengan itu semua.[3]

Ketika Āminah melahirkan bayinya, dia memanggil kakeknya, Abdul Muthalib untuk datang dan dan menjenguknya. Dia sangat bahagia ketika melihatnya. Abdul Muthalib masih sangat sedih setelah kehilangan putranya, Abdullāh, tapi kelahiran Muhammad telah meredakan kesedihannya setelah dia menatap masa depan yang cerah untuk bayi yang baru dilahirkan itu.

Dia membawa bayi itu ke Kakbah di mana dia berdoa panjang lebar untuk sang bayi. Dia bersyukur kepada Tuhan karena telah mengaruniakan kepadanya seorang bayi laki-laki untuk melanjutkan nama putranya yang telah wafat. Kemudian, dia membawanya kembali kepada ibunya yang mengatakan kepadanya bahwa dia [Āminah] sering mendengar suara-suara yang memerintahkannya agar putranya itu diberi nama Muhammad.[4]

“Muhammad” artinya ‘sering dipuji’, atau ‘layak dipuji’. Itu adalah nama yang sama sekali tidak dikenal di kalangan bangsa Arab. Walaupun demikian, Abdul Muthalib tidak ragu untuk menyebut cucunya dengan nama tersebut. Dia tidak pernah bisa menafikan pandangan bahwa peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sehingga kelahiran anak itu, menunjukkan secara pasti bahwa dia [anak itu] akan sangat berpengaruh atas kehidupan masyarakatnya. Sewaktu dia ditanya oleh para bangsawan Mekah tentang nama tidak terkenal yang telah dia berikan kepada cucunya itu, dia menjawab bahwa dia berharap anak itu akan dipuji oleh seluruh manusia di bumi dan oleh Tuhan di langit.[5]

Muhammad telah dititipkan kepada Thuwaybah, seorang pembantu pamannya Abū Lahab, untuk disusui selama beberapa hari sampai pengaturan pengasuh jangka panjang untuknya ditentukan.

Masa Bayi di Padang Pasir

Sudah menjadi kebiasaan tradisi bagi bangsawan Mekah untuk mengirim bayi-bayi mereka untuk disusui oleh wanita-wanita pengasuh dari pedalaman. Mereka menganggap bahwa alam gurun pasir yang terbuka akan lebih baik untuk anak-anaknya daripada suasana kota yang serba tertutup. Mereka berpandangan bahwa jika seorang anak diasuh di padang pasir, maka anak itu diyakini akan tumbuh dengan fisik yang kuat dan sehat.

Terkadang, wanita-wanita pedalaman itu datang ke Mekah untuk mencari bayi-bayi yang baru dilahirkan. Mereka telah siap untuk menyusui bayi-bayi itu demi upah dan pemberian yang secara pasti akan diberikan kepada mereka oleh para orang tua bayi-bayi tersebut. Tidak ada tarif tetap untuk pekerjaan itu, melainkan sepenuhnya ditentukan oleh kemurahan si bapak [bayi tersebut].

Sekelompok wanita pedalaman tiba di kota Mekah tidak lama setelah Muhammad dilahirkan. Setiap dari mereka melihat Muhammad, tapi menolak untuk membawanya, ketika mengetahui bahwa ayah Muhammad sudah meninggal. Tampaknya, tak seorang pun dari mereka yang berpandangan bahwa sang kakek bisa sama baiknya kepada mereka sebagaimana bapak bayi itu sendiri.

Setiap orang dari mereka telah berhasil mendapatkan seorang anak untuk dirawat, kecuali Halīmah binti Abī Dhu’ayb. Dia selanjutnya telah meriwayatkan tentang apa yang telah dilakukannya saat itu:

“Saya telah berjalan bersama suami dan juga putra saya, beserta sejumlah wanita dari suku kami, Sa’d bin Bakar untuk mencari bayi-bayi yang perlu diasuh. Saat itu adalah tahun yang buruk bagi daerah kami di gurun. Kita tidak memiliki apa pun untuk bisa bertahan. Saya menunggangi seekor keledai dan kami memiliki seekor unta betina yang tidak memberikan kami setetes susu sekalipun. Kami telah melalui malam-malam kami tanpa tidur karena putra kami selalu menangis akibat rasa lapar. Saya tidak memiliki susu yang cukup untuk memuaskannya. Unta kami payah, tapi kami selalu berharap untuk hujan dan hari-hari yang lebih baik.

Karena keledai kami sangat lemah, saya selalu tertinggal oleh rombongan kawan-kawan saya. Saya telah benar-benar menyulitkan mereka akibat kelemahan yang kami derita. Setibanya di Mekah, setiap wanita [dari rombongan] kami pernah ditawarkan Muhammad untuk diasuh. Ketika mengetahui bahwa Muhammad adalah anak yatim, maka wanita itu segera menolaknya. Kami hanya berharap pemberian dan hadiah dari bapak sang bayi. Oleh karena itu, kami selalu menjawab setiap kali dia ditawarkan kepada kami: “Anak yatim! Apa yang ibu atau kakeknya bisa berikan kepada kita?!”

Semua wanita di rombongan itu telah memperoleh bayi untuk diasuh kecuali saya. Ketika kami bersiap untuk berangkat pulang, saya bilang kepada suami saya: “Saya tidak suka untuk menjadi satu-satunya yang kembali dengan tangan kosong. Saya akan mengambil anak yatim itu.” Suami saya mengatakan: “Itu gagasan bagus. Dia mungkin akan membawa kebaikan bagi kita.” Saya kembali dan membawanya. Seketika saya letakkan dia untuk disusui, saya merasakan bahwa payudara saya penuh dengan susu. Dia minum sampai kenyang, dan begitu pula dengan anak saya yang merupakan saudara(sesusuan)nya. Keduanya segera tidur setelah itu: kami tidak cukup tidur pada keesokan malamnya karena putra kami menangis.[6]

Diriwayatkan juga pada masa-masa itu bahwa bayi Muhammad selalu menyusu dari payudara yang sama: dia tidak pernah menerima yang satunya. Seakan-akan dia telah mengetahui bahwa dia memiliki saudara dan dia telah menyisakan bagiannya.[7]

Halīmah berkata: “Suami saya menganggap sudah waktunya untuk memerah susu unta betina kami. Dia segera mengetahui bahwa unta betina kami ternyata penuh dengan susu yang bisa diperah. Dia memerah susu yang cukup sampai kita berdua kenyang. Itu adalah malam terbaik bagi kami. Suami saya mengatakan kepada saya pada pagi harinya: ’Kamu tahu Halīmah, kamu telah mengambil seorang anak yang diberkati.’ Saya mengatakan: ‘Saya berharap demikian.’”

“Kami telah memulai perjalanan kami pada pagi itu dan saya menunggangi keledai yang sama sambil membawa Muhammad. Namun kali ini keledai kami berjalan sangat cepat hingga mendahului seluruh teman-teman kami. Mereka terkesima dan bertanya kepada saya apakah keledai yang saya tunggangi sama dengan keledai yang pernah saya tunggangi ke Mekah dahulu. Ketika saya benarkan bahwa itu adalah keledai yang sama, maka mereka sangat terkejut.

Setibanya di tempat tinggal kami, saat itu [daerah] kami mengalami kemarau panjang. Meskipun demikian, susu domba-domba kami selalu penuh susu. Kami mempunyai lebih dari yang kami perlukan, sementara orang-orang lain tidak mencukupi. Kebanyakan domba-domba mereka tidak ada susunya sama sekali. Orang-orang akan mengatakan kepada para gembala supaya domba-dombanya didekatkan dengan domba-domba kami, berharap supaya mendapatkan susu. Hanya domba-domba kami yang dadanya selalu dipenuhi susu setiap sore. Kita terus memperoleh berkat ilahiah ini hingga dia (Muhammad) berusia dua tahun. Pada saat menyapihnya, pertumbuhannya tidak seperti anak-anak yang lain. Ketika berusia dua tahun, dia sangat kuat untuk anak seumurannya. Saat saya membawa dia pulang ke ibunya, saya berusaha untuk mencari-cari alasan yang tepat dalam pikiran agar bisa membujuk ibunya untuk membiarkan anak ini dapat sedikit lebih lama lagi bersama saya. Saya mengatakan kepadanya: “Saya harap kamu akan mengizinkan anak saya ini untuk tetap bersama kami beberapa waktu lagi sampai dia menjadi lebih kuat. Saya khawatir bila dia akan terjangkiti oleh suatu penyakit atau sejenisnya di Mekah.” Saya berusaha sekuat tenaga sehingga dia terbujuk untuk membawa dia kembali bersama saya.[8] [EH]

Bersambung.…

Catatan kaki:


[1] BH [Indonesia: ‘SH’] menandakan ‘Sebelum Hijriyah’, yang ditandai dari hijrahnya Nabi ke Madinah.

[2] Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Dar al-Qalam, Beirut, vol.1, hal. 167-168. Juga, Ibn Sayyid al-Nas, ‘Uyun al-Athar, Dar al-Turath, Madinah, 1996, hal. 79-81.

[3] Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sirah, Dar al-Da’wah, Mesir, edisi ke-6, 2000, hal. 51-52. Juga Ibn Sayyid al-Nas, op.cit., hal. 83-85.

[4] Ibn Hisyam, op.cit., hal. 168-169.

[5] Ibn Sayyid al-Nas, op.cit., hal.90.

[6] Ibid., hal. 91-92.

[7] Ibid., hal. 94.

[8] Ibid., hal. 92-93.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*