Mozaik Peradaban Islam

Museum Qatar (1): Ambisi sebagai Pusat Seni dan Kebudayaan Dunia

in Arsitektur

Last updated on October 22nd, 2020 02:03 pm

Keluarga penguasa Qatar, Kabilah al-Thani, telah menghabiskan setidaknya 1 miliar dollar AS untuk membeli karya seni kelas dunia.

Museum of Islamic Art (MIA). Foto: Museum Qatar

Jarang diketahui oleh banyak orang tentang negara Qatar, selain tentang sirkuit MotoGP dan stasiun televisi Aljazeera milik negara ini. Dari sejak hampir 60 tahun lalu, keluarga penguasa Qatar ternyata telah tergila-gila dengan benda-benda seni kelas dunia.

Keluarga ini telah membeli benda-benda seni yang bernilai tinggi mulai dari manuskrip bersejarah, karpet-karpet, alat-alat sains, perhiasan-perhiasan peninggalan Dinasti Mughal, dan berbagai lukisan tentang Arab dari abad ke-20.[1]

Sekilas tentang Qatar

Bersama dengan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, Irak, iran, Kuwait, dan Bahrain, Qatar adalah salah satu di antara negara berbatasan langsung dengan Teluk Persia. Negara-negara ini seringkali disebut sebagai Negara Teluk.

Secara spesifik, di wilayah ini Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, Kuwait, Bahrain, dan Qatar kemudian membentuk aliansi regional tersendiri berdasarkan identitas kebangsaan mereka, yakni bangsa Arab. Mereka membentuk sebuah organisasi yang disebut dengan Cooperation Council for the Arab States of the Gulf (Dewan Kerjasama untuk Negara-negara Arab di Teluk), atau sering disingkat GCC.[2]

Seperti kebanyakan wilayah Arab lainnya, Semenanjung Qatar adalah tanah gurun yang panas dan kering tanpa air di permukaan tanahnya dan hanya memiliki sedikit tumbuhan dan hewan asli setempat. Sebagian besar orang Qatar tinggal di kota, khususnya di Doha, ibu kota negara tersebut.

Kabilah al-Thani telah memerintah sebagai Amir di negara tersebut dari sejak akhir abad ke-19. Meski mereka menyebut diri mereka sebagai negara Keamiran (Emirat), namun pada hakikatnya mereka adalah negara monarki.

Seperti beberapa negara tetangganya, Qatar sempat berada di bawah perlindungan Inggris pada awal abad ke-20. Ia kemudan menjadi merdeka sepenuhnya pada tahun 1971. Hingga pertengahan abad ke-20, Qatar adalah negara yang relatif miskin.[3]

Sebelumnya Qatar hanyalah dianggap daerah terpencil berpasir. Bahkan industri mutiara negara tersebut berada di ambang kehancurannya. Hingga masuk tahun 1980-an, dengan ditemukannya ladang minyak, dan kemudian sebagai pemilik cadangan gas terbesar ketiga di dunia telah membuat negara berbentuk buah pir itu menjadi sangat kaya raya.

Pada tahun 2010, meski populasi penduduknya kecil, namun negara tersebut telah memiliki PDB per kapita tertinggi ketiga di dunia dan ekonominya tumbuh sebesar 16,6%, jauh lebih cepat ketimbang negara-negara lainnya.[4]

Ambisi sebagai Pusat Seni dan Kebudayaan Dunia

Meski sangat kaya, namun Qatar menyadari bahwa suatu saat minyak dan gas mereka akan habis. Mengubah pendapatan negara dari kekuatan ekonomi berbasis hidrokarbon menjadi ekonomi berbasis pengetahuan adalah rumus mujarab bagi negara-negara sekitar agar mereka dapat bertahan hidup setelah habisnya cadangan minyak dan gas mereka.

Dengan demikian, Sang Amir kemudian merumuskan cetak biru yang disebut “Visi Nasional Qatar 2030”, yang isinya di antara lain menjadikan negara tersebut sebagai pusat pendidikan dan universitas (di wilayah ibu kota yang dikenal sebagai Kota Pendidikan), serta pusat pasca-produksi untuk melayani industri film internasional, dan bahkan Rumah Sakit tanpa kertas.

Selain itu, mereka juga berniat mendirikan museum baru yang dapat memamerkan koleksi seni Islam, lukisan Arab modernis, fotografi, baju besi, dan benda-benda bersejarah lainnya, yang mana juga merupakan bagian dari  Visi Nasional Qatar 2030.

Selama 15 tahun terakhir, keluarga al-Thani diperkirakan telah menghabiskan setidaknya 1 miliar dollar AS untuk membeli lukisan, patung dan struktur Barat, termasuk versi terakhir “The Card Players” karya Paul Cezanne dengan harga lebih dari 250 juta dollar AS — sebuah rekor harga baru untuk karya seni.

The Card Players, lukisan karya Paul Cezanne (1839–1906). Foto: Public Domain

Akuisisi tersebut, yang dilakukan pada awal 2011 hanyalah salah satu dari serangkaian pembelian yang mencakup beberapa karya terbaik yang dibuat oleh seniman Barat seperti Francis Bacon, Mark Rothko, Andy Warhol, dan Damien Hirst, beberapa di antaranya juga dibeli dengan menembus rekor harga baru.

“Di atas segalanya, kami ingin QMA (Otoritas Museum Qatar) menjadi ‘pembangkit kebudayaan’, sebagai katalisator proyek seni di seluruh dunia,” kata seorang pengurus Museum.[5]

Sejak didirikan pada tahun 2005, QMA (kini telah berganti nama menjadi Museum Qatar [QA]) telah mendirikan/merestorasi berbagai museum, yaitu Museum Seni Islam (MIA), Mathaf: Museum Seni Modern Arab, dan al-Zubarah yang menjadi salah satu Situs Warisan Dunia.[6] (PH)

Bersambung ke:

Catatan Kaki:


[1] The Economist, “Qatar’s culture queen”, dari laman https://www.economist.com/books-and-arts/2012/03/31/qatars-culture-queen, diakses 20 Oktober 2020.

[2] WA Redmond (ed), “Cooperation Council for the Arab States of the Gulf (GCC)”, (Microsoft Encarta Encyclopedia: 2009).

[3] WA Redmond (ed), “Qatar”, (Microsoft Encarta Encyclopedia: 2008).

[4] The Economist, Loc.Cit.

[5] Ibid.

[6] In-Q, “About Qatar Museums”, dari laman https://inq-online.com/about-us, diakses 20 Oktober 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*