Museum Qatar (2): Sheika Mayassa, Ratu Seni Qatar (1)

in Arsitektur

Last updated on October 24th, 2020 01:55 pm

Dia adalah adik dari Amir Qatar. Karena ambisinya menjadikan Qatar sebagai pusat kesenian dan kebudayaan dunia, Art Review mendaulautnya sebagai tokoh paling berpengaruh dalam dunia seni.

Sheikha Mayassa binti Hamad al-Thani. Foto: Gulf Business

Setelah bepuluh-puluh tahun sebelumnya keluarga al-Thani gemar mengumpulkan berbagai macam benda seni, kini tradisi tersebut diturunkan ke generasi baru mereka. Adalah Sheikha Mayassa binti Hamad al-Thani (37), adik perempuan Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani – Amir Qatar sekarang, yang melanjutkan tradisi tersebut.[1]

Nama Sheikha Mayassa mulai mencuat dan menjadi perhatian dunia ketika majalah Art Review pada tahun 2013 menempatkannya sebagai tokoh paling berpengaruh di bidang seni kontemporer dunia. Majalah tersebut menempatkannya dalam posisi teratas Power 100, mengalahkan 99 tokoh seni dunia lainnya.[2]

Majalah Art Review mengatakan bahwa Sheika Mayassa berhak menempati posisi paling atas karena lembaganya telah menjalankan program besar-besaran untuk membeli benda-benda seni dari berbagai rumah lelang di seluruh penjuru dunia.

Masih menurut Art Review, Otoritas Museum Qatar (QMA, kini telah berganti nama menjadi Museum Qatar [QA]) telah mengeluarkan uang rata-rata 1 miliar dollar AS per tahun untuk membeli benda-benda seni kelas dunia yang kemudian disimpan di berbagai museum di negara itu.

Menurut wartawan bidang seni dari BBC, Vincent Dowd, melejitnya nama Sheikha Mayassa pada tahun itu menunjukkan betapa pentingnya kedudukan Qatar di bidang seni. “Pemerintah semakin memusatkan perhatian agar negara itu mempunyai koleksi seni modern dan kontemporer kelas dunia,” jelas Dowd.

Menurut Dowd, Sheikha Mayassa berambisi menjadikan ibukota Qatar, Doha, sebagai tujuan penting bagi para pecinta seni, seperti halnya New York dan London pada saat ini.

Meskipun Sheikha Mayassa menduduki posisi nomor satu di antara tokoh-tokoh penting di bidang seni, sosoknya tidak banyak diketahui umum. Dan hal itu, kata Dowd, menunjukkan bahwa Qatar telah menjadi pemain penting di dunia seni hanya dalam waktu singkat.[3]

Pada masa kecilnya Sheikha Mayassa adalah anak yang tomboy dan kompetitif, akibat dari memiliki dua kakak laki-laki, ujarnya. Didorong oleh ibunya, Sheikha Mayassa menempuh pendidikan di sekolah campuran di Kairo. Di sana dia belajar bahasa Prancis, Inggris, dan bahasa Arab yang merupakan bahasa ibunya. Setelahnya, dia melanjutkan belajar ilmu politik dan sastra di Duke University di North Carolina, Amerika Serikat.

Pada tahun 2010, Sheikha Mayassa dan suaminya yang sama-sama menempuh sekolah pascasarjana di Universitas Columbia, pulang ke Qatar. Dia ditunjuk untuk menjadi kepala QMA dengan tugas menjadikan Qatar sebagai pusat kekuatan budaya — menjadikan museum-museum di Qatar sebagai sumber untuk mengeksplorasi apa itu seni dan apa artinya bagi manusia untuk menciptakannya.

Sheikha Mayassa bekerja di ruangan yang luas di lantai atas MIA (Museum Seni Islam). Dindingnya dilapisi kayu beech (sejenis pohon) berwarna pucat, dan di belakang meja panjangnya terhampar sederet foto keluarga yang dibingkai.

Mengenakan abaya (pakaian tradisional wanita Arab) hitam, rambutnya tertutup, dia hampir tidak memakai perhiasan selain gelang yang terbuat dari benang berwarna dengan ornamen emas, poci kopi kecil Arab atau dallah. Gelang seperti ini dijual seharga 82 dollar AS di toko museum.

QMA adalah badan pemerintah, tetapi tetap sepenuhnya dikelola oleh keluarga al-Thani. Dalam sebuah wawancara, Sheikha Mayassa menjelaskan, “QMA sudah seperti anak bagi ayah saya (Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, Amir Qatar periode sebelumnya). Dia ingin menciptakan sesuatu… untuk berhubungan dengan komunitas, untuk menciptakan dialog kebudayaan dalam masyarakat.

“Kami melapor langsung padanya. Hal yang menyenangkan tentang ayah saya adalah dia tidak ikut campur dalam bisnis sehari-hari. Kami mempresentasikan strateginya, dan begitu dia setuju dengan strategi dan visinya, kami diberi otoritas dan kebebasan untuk terus maju dan menjalankannya dengan cara yang kami anggap sesuai.”

QMA bukan bagian dari Kementerian Kebudayaan, meskipun mereka berkolaborasi. Pengelola museum bekerja sama dengan perusahaan waralaba lokal yang berasal dari universitas asing, seperti University College London, dalam administrasi seni dan manajemen museum.[4]

Pada tahun 2012, QMA banyak merekrut pegawai dari luar negeri, terutama di tingkat senior. Direktur program seni publik adalah orang Belanda, Jean-Paul Engelen, yang berasal dari Christie’s, perusahaan lelang benda-benda seni asal Inggris.[5]

Selain itu Edward Dolman, mantan kepala eksekutif Christie’s, menjalankan kantor Sheikha Mayassa. Direktur MIA adalah Aisha al-Khater yang waktu itu berusia 32 tahun, adalah wanita Qatar pertama yang meraih gelar di bidang musik. Tapi empat kurator spesialis di bawahnya semuanya orang asing. Dua lagi akan bergabung dengan mereka, seorang ahli manuskrip dan satu lagi tentang koin.[6] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] The Economist, “Qatar’s culture queen”, dari laman https://www.economist.com/books-and-arts/2012/03/31/qatars-culture-queen, diakses 20 Oktober 2020.

[2] Art Review, “2013 Power 100”, dari laman https://web.archive.org/web/20180814140811/https://artreview.com/power_100/2013/, diakses 22 Oktober 2020.

[3] BBC News Indonesia, “Saudara Emir Qatar dinobatkan sebagai tokoh berpengaruh di seni”, dari laman https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2013/10/131024_seni_budaya_qatar_emir, diakses 22 Oktober 2020.

[4] The Economist, Loc.Cit.

[5] “About Christie’s”, dari laman https://www.christies.com/about-us/welcome-to-christies, diakses 22 Oktober 2020.

[6] The Economist, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*