Mozaik Peradaban Islam

Museum Qatar (3): Sheika Mayassa, Ratu Seni Qatar (2)

in Arsitektur

Last updated on October 27th, 2020 02:23 pm

Negara seperti Qatar yang masih menganut sistem negara monarki absolut adalah tempat yang sulit untuk mendorong keberanian, ketidaksopanan, dan subversi yang merupakan ciri khas dari sifat artistik yang sesungguhnya.

Sheikha Mayassa binti Hamad al-Thani. Foto: Qatar Museums

Sheikha Mayassa mengatakan bahwa angaran dana Otoritas Museum Qatar (QMA) tidak dipublikasikan dan keputusan tentang pendanaan dan akuisisi diambil oleh segelintir orang di puncak organisasi. Dia menegaskan bahwa hal ini dirahasiakan karena takut ide-ide mereka mungkin dicuri oleh negara-negara seperti Sharjah atau Arab Saudi.

Bagi mereka yang berada di luar lingkaran dalam ini, keputusan dapat terlihat sewenang-wenang dan membingungkan. Pada tahun 2012, dua direktur Museum Seni Islam (MIA) mengundurkan diri setelah waktu yang relatif singkat dan Wassan al-Khudairi mengumumkan bahwa, setelah setahun menjadi kepala Mathaf (Museum Arab Seni Modern), dia juga kembali ke kehidupan akademis.

Menarik audiens lokal adalah prioritas, kata Sheikha Mayassa. QMA menginginkan agar museumnya dibuka lebih banyak untuk anak-anak sekolah. QMA juga mendorong agar karya-karya seniman lokal, yaitu para fotografer dan pengrajin patung, dapat mengisi dekorasi pusat medis Sidra.

Selain MIA dan Mathaf, yang sekarang berada di bawah QMA, museum olahraga interaktif dan Olimpiade yang baru perlahan-lahan mulai dibangun bertepatan dengan acara Piala Dunia 2022.[1]

Menurut website FIFA (Federasi Internasional Asosiasi Sepak Bola), Qatar sedang bersiap untuk menciptakan sejarah baru dengan menjadi tuan rumah, tidak hanya Piala Dunia FIFA pertama mereka, tetapi juga yang pertama diadakan di Timur Tengah. Dan negara semenanjung ini berjanji untuk menghasilkan Piala Dunia yang tiada duanya.

Qatar akan menjadi negara terkecil yang pernah menjadi tuan rumah final global. Salah satu keunggulan mereka adalah memungkinkan para turis untuk dapat mengeksplorasi negara ini dengan mudah – dan bahkan memungkinkan mereka untuk menonton beberapa pertandingan pada hari yang sama.

Ditambah dengan perpaduan keramahan tradisional Arab, dan kondisi cuaca musim dingin yang ideal untuk menonton dan memainkan pertandingan yang indah, Piala Dunia Qatar menjanjikan untuk dinikmati. Demikian menurut FIFA tentang Qatar.[2]

Selain karena kesiapan dana, keseriusan Sheikha Mayassa juga dapat terlihat dari kepiawaiannya untuk meminjam benda-benda seni dari museum lain. Sebagai contoh, dalam ajang pameran “Gifts of the Sultan” 2012, MIA berhasil memamerkan benda-benda dari Museum Hermitage Rusia yang bahkan Amerika Serikat saja tidak dapat melakukannya.

Jika negara tetangganya lebih suka meniru Barat, yaitu dengan Abu Dhabi (UEA) yang mendirikan tiruan Museum Louvre (Prancis) dan Guggenheim (AS), maka Qatar lebih suka mengembangkan museumnya sendiri.

Kurang lebih inilah yang dapat menjelaskan, mengapa Sheikha Mayassa dan keluarga al-Thani sangat menyukai untuk membeli benda-benda seni karya orientalis. Barangkali untuk menjelaskan sejarah kawasan tersebut dari sudut pandang Barat.

Meski demikian, pembelian secara besar-besaran benda-benda seni itu menimbulkan spekulasi di mata masyarakat. Karena keluarga al-Thani enggan menjelaskan sumber dana pembelian tersebut, masyarakat menjadi bertanya-tanya, apakah dana tersebut berasal dari uang pribadi keluarga kerajaan atau dari negara? Lebih jauh mereka mempertanyakan, apa untungnya bagi warga Qatar?

Meski ada pro dan kontra, Sheikha Mayassa tetap menunjukkan tekadnya untuk menjadikan Qatar sebagai pusat kesenian dunia. Hal ini dia lakukan dengan cara menggandeng nama-nama besar seniman atau pegiat seni kelas dunia.

Misalnya saja pada tahun 2010 Qatar menyelenggarakan pameran karya Takashi Murakami, seniman besar asal Jepang. Dalam acara tersebut hadir Dakis Joannou, seorang industrialis Yunani-Siprus dan kolektor karya-karya Jeff Koons, seorang pematung Amerika.

Lalu hadir juga Larry Gagosian, yang oleh banyak orang dianggap sebagai pedagang benda-benda seni terkuat di dunia, yang duduk satu meja bersama Sheikha Mayassa bersama pedagang seni lainnya. Perlu diketahui, tidak banyak orang di dunia ini yang dapat meminta Larry Gagosian untuk dapat duduk bersama dalam acara jamuan makan malam.

Agar QMA menjadi lebih dari sekadar mainan gadis kaya anak penguasa, Sheikha Mayassa harus berbuat lebih baik daripada sekadar memamerkan benda seni mahal dari negeri asing. Dia harus jauh lebih inovatif dan fokus dalam memilih di antara ratusan pameran yang ditawarkan QMA.

Bukan berarti dia tidak pernah gagal, pada tahun 2011 MIA pernah mengadakan pameran seni Baroque Jerman dari Dresden yang oleh banyak pihak dianggap tidak masuk akal, karena sama sekali tidak ada hubungannya dengan sejarah Qatar atau Arab.

Sebaliknya, dia kemudian memamerkan karya-karya Cai Guo-Qiang di Mathaf, yang menunjukkan sejarah hubungan antara Tiongkok dengan negara-negara teluk. Pameran ini dianggap berhasil karena telah menyajikan hal yang baru dan orisinil.

Negara seperti Qatar yang masih menganut sistem negara monarki absolut adalah tempat yang sulit untuk mendorong keberanian, ketidaksopanan, dan subversi yang merupakan ciri khas dari sifat artistik yang sesungguhnya.

Tidak semua orang di Qatar yakin akan pentingnya seni. Para influencer lokal banyak yang menyarankan agar Qatar sebaiknya fokus di dunia olahraga saja, seperti misalnya sirkuit balap formula satu atau stadion sepak bola.

Dan belum lama ini, Universitas Qatar telah mengumumkan, setelah sebelumnya menggunakan bahasa Inggris, bahwa mereka akan kembali menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ajar mereka. Hal ini menandakan bahwa pengaruh kelompok nasionalis konservatif masih memiliki kekuatan yang nyata di negeri itu.

Dalam pengantarnya di katalog Tate’s Hirst (buku tentang seniman dan benda-benda seni yang dipublikasikan di Inggris), Sheikha Mayassa menulis, “Seni — bahkan seni yang kontroversial — dapat membuka komunikasi antar berbagai bangsa, masyarakat, dan sejarah.” Tahun-tahun mendatang akan menguji tekad Sheikha Mayassa – dan juga Qatar – terhadap dunia seni dan kebudayaan.[3] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] The Economist, “Qatar’s culture queen”, dari laman https://www.economist.com/books-and-arts/2012/03/31/qatars-culture-queen, diakses 20 Oktober 2020.

[2] FIFA, “FIFA World Cup Qatar 2022”, dari laman https://www.fifa.com/worldcup/destination/host-country/#:~:text=FIFA%20World%20Cup%202022%E2%84%A2,Country%20%2D%20Qatar%20%2D%20FIFA.com, diakses 24 Oktober 2020.

[3] The Economist, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*