Utsman bin Thalhah, secara diam-diam melihat Mushab memasuki rumah Arqam. Dia curiga, bagaimana mungkin seorang pemuda Quraish yang terpandang dapat memasuki rumah Arqam. Pada kesempatan lain, dia melihat Mushab salat.
Setelah Mushab bin Umair RA masuk Islam, dia tidak takut apapun. Bahkan andai kata seluruh penduduk Makkah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah menjadi suatu kekuatan yang hendak menyerang dan menghancurkannya dia tidak akan takut. Kecuali satu, Ibunya.
Dia adalah Khunas binti Malik, seorang wanita yang sangat berkuasa di Makkah. Dia adalah seseorang yang berkepribadian sangat dominan dan pendiriannya tidak dapat dapat ditawar-tawar. Dia adalah wanita yang disegani, dan bahkan ditakuti. Menjadikan wanita ini sebagai musuh, adalah suatu hal yang tidak dapat dianggap enteng.
Mushab berpikir keras untuk menghadapi situasi ini, dan untuk sementara dia mengambil keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki oleh Allah SWT. Demikianlah dia senantiasa bolak-balik datang ke rumah Arqam untuk menghadiri majelis Rasulullah. Meskipun dia merasa bahagia dengan iman barunya tapi dia tetap merasa khawatir jika ibunya suatu saat mengetahui rahasianya.
Tetapi di kota Makkah tidak ada rahasia yang dapat disembunyikan secara terus-menerus, apalagi di tengah suasana ketika Rasulullah beserta pengikutnya sedang menjadi buah bibir. Mata kaum Quraish berkeliaran di mana-mana, mengawasi setiap langkah dan menelusuri setiap jejak.
Suatu waktu, Utsman bin Thalhah, secara diam-diam melihat Mushab memasuki rumah Arqam. Dia curiga, bagaimana mungkin seorang pemuda Quraish yang terpandang dapat memasuki rumah Arqam, tempat di mana Muhammad dan pengikutnya biasa mengadakan pertemuan.
Gelagat Mushab menjadi perhatian Utsman, dia terus mengawasinya secara diam-diam. Hingga suatu waktu, Utsman menyaksikan dengan matanya sendiri, Mushab melaksanakan salat dengan cara-cara sebagaimana yang Muhammad lakukan. Kesimpulannya sudah sangat jelas, Mushab adalah seorang Muslim, pikir Utsman.
Bagaikan kilat, Utsman menemui Khunas, ibunda Mushab, melaporkan sebuah berita yang telah dijamin kebenarannya.
Berdirilah Mushab di hadapan ibu dan keluarganya beserta para pembesar Makkah yang berkumpul di rumahnya. Mereka ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang hendak dikatakan oleh Mushab.[1]
Dengan kerendahan hati, rasa percaya diri, dan ketenangan, Mushab mengakui di hadapan mereka bahwa dia telah memeluk Islam dan menjelaskan alasannya. Dia kemudian membacakan beberapa ayat Alquran – ayat-ayat yang telah membersihkan hati para Muslimin dan membawa mereka kembali ke dalam agama yang fitrah, yang telah diturunkan oleh Allah SWT untuk umat manusia. Meskipun jumlah Muslim waktu itu hanya sedikit, tetapi hati mereka dipenuhi dengan kebijaksanaan, kehormatan, keadilan, dan keberanian.[2]
Khunas binti Malik yang mendengarkan kalimat-kalimat dari anaknya, yang telah dia urus, dia besarkan, dan dia berikan perhatian yang begitu besar, menjadi murka karenanya. Rasanya dia ingin membungkam mulut anaknya dengan sebuah tamparan yang keras. Namun ketika dia hendak melakukannya, tangannya menjadi terkulai lemas, demi melihat wajah anaknya yang memancarkan cahaya yang indah dan berwibawa. Wajah Mushab mendatangkan ketenangan kepada dirinya, yang membuatnya membatalkan keinginan untuk menamparnya.
Demikianlah, tidak ada yang tahu pasti kenapa Khunas membatalkan keinginannya untuk menampar Mushab, barangkali semata karena rasa keibuannya. Namun dia sendiri tidak dapat menahan diri dari tuntutan sosial orang-orang Quraish, dan dia tidak dapat menemukan jalan lain selain menghukum Mushab.[3]
Dibawanya lah Mushab ke sudut terpencil di rumahnya, lalu dia mengurung dan memenjarakan anak kesayangannya itu dengan pintu yang tertutup rapat. Di sana Mushab diikat dan ditambatkan dengan kuat. Mushab telah menjadi tahanan di dalam rumahnya sendiri.
Untuk waktu yang cukup lama, Mushab tetap terikat dan terkurung di bawah pengawasan ketat penjaga yang ditempatkan ibunya untuk mencegahnya dari kontak lebih jauh dengan Muhammad dan keyakinannya. Meskipun mengalami cobaan yang begitu berat, hati Mushab tidak goyah.
Mushab lalu mendengar berita tentang bagaimana umat Islam lainnya dilecehkan dan disiksa oleh para penyembah berhala. Baginya, seperti juga bagi banyak Muslim lainnya, kehidupan di Makkah menjadi semakin tidak tertahankan. Akhirnya dia mendengar berita bahwa sekelompok Muslim secara rahasia sedang mempersiapkan hijrah ke Habsyi (Abisinia) untuk mencari perlindungan dan bantuan.
Pikiran pertamanya yang muncul ketika mendengar berita ini adalah bagaimana caranya dia dapat melarikan diri dari penjara dan bergabung dengan mereka. Pada kesempatan yang tidak akan terjadi untuk kedua kalinya, ketika ibu dan penjaganya sedang lengah, dia meloloskan diri dari ikatan dan pergi menyelinap dengan diam-diam. Kemudian dengan sangat tergesa-gesa dia bergabung dengan para pengungsi lain dan tak lama kemudian mereka berlayar bersama menyeberangi Laut Merah ke Afrika.[4] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 43.
[2] E-book by ISL Software, Biographies of the Companions (Sahaabah), hlm 153.
[3] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 43-44.
[4] Biographies of the Companions (Sahaabah), Loc.Cit.