Mozaik Peradaban Islam

Naser-e Khosraw (10): Naik Haji (2)

in Tokoh

Last updated on November 12th, 2019 07:13 am

Tahun 2019, penduduk Makkah jumlahnya sekitar 2 juta orang. Pada abad ke-11, Khosraw mengatakan, “Aku rasa, warga Makkah tidak lebih dari dua ribu orang, sisanya, sekitar lima ratus orang, adalah musafir dan mujawir.”

Ilustrasi kota Makkah di masa lalu.

Tepat di luar gerbang ini (Gerbang Shafa) ada tangga menuju Gunung Shafa, dan di sini engkau menghadap Kabah dan mengucapkan doa yang telah ditentukan, yang mana (isi doanya) diketahui luas. Ketika doa telah diucapkan, engkau turun dari Shafa dan pergi dari selatan ke utara melalui pasar menuju Marwah.

Melewati pasar, engkau melewati gerbang menuju ke Masjid Haram, di mana Nabi berlari dan memerintahkan orang lain untuk berlari juga. Jaraknya sekitar lima puluh langkah, dan di kedua sisinya terdapat dua menara. Ketika orang-orang yang datang dari Shafa mencapai dua menara pertama, mereka berlari sampai mereka melewati dua menara lainnya di ujung lain pasar.

Kemudian mereka melanjutkan secara perlahan ke Marwah. Setelah mencapai ujung (pasar), mereka naik Marwah dan membaca doa yang ditentukan. Kemudian mereka kembali melalui pasar dan mengulangi lari sampai sebanyak empat kali dari Shafa ke Marwah, dan tiga kali dari Marwah ke Shafa, menjadikan tujuh kali lari melalui pasar.

Turun dari Marwah untuk terakhir kalinya, engkau menemukan pasar dengan sekitar dua puluh tukang cukur yang saling berhadapan. Kepalamu dicukur dan, setelah umrah selesai, keluarlah dari Wilayah Suci.

Pasar besar di sisi timur disebut Souk al-Attarin (Pasar Obat-Obatan). Ini memiliki bangunan bagus, dan semua pemilik toko adalah ahli obat-obatan. Di Makkah ada dua pemandian (umum) yang masing-masing diaspal dengan batu hijau yang biasa digunakan sebagai batu api (batu geretan).

Aku rasa, warga Makkah tidak lebih dari dua ribu orang, sisanya, sekitar lima ratus orang, adalah musafir dan mujawir.[1] Pada saat ini sedang terjadi paceklik, dengan harga satu dinar hanya mendapatkan enam belas maund[2] gandum (sekitar 25 kg-pen), karena alasan ini lah sejumlah orang telah pergi.

Di dalam kota Makkah ada pemondokkan untuk orang-orang asli dari setiap wilayah — Khurasan, Transoxiana, Irak, dan sebagainya. Namun, kebanyakan darinya telah jatuh ke dalam kehancuran. Para khalifah Baghdad telah membangun banyak bangunan yang indah, tetapi ketika kami tiba, beberapa telah runtuh dan yang lainnya telah diambil alih.

Semua air sumur di Makkah terlalu asin dan pahit untuk diminum, tetapi ada banyak kolam dan waduk besar, yang masing-masing menelan biaya (pembangunan) hingga sepuluh ribu dinar, yang menampung air hujan dari bukit. Ketika kami berada di sana, mereka (kolam dan waduknya) kosong.

Beberapa pangeran dari Aden, yang dikenal sebagai Pesar-e Shaddel, telah mengalirkan air melalui bawah tanah ke Makkah dengan biaya pribadi yang sangat besar. Air ini digunakan untuk mengairi tanaman di Arafah dan terbatas hanya untuk di sana.

Meskipun saluran telah dibangun dan sedikit air mencapai Makkah, tetapi tidak di dalam kota; Oleh karena itu, kolam dibuat untuk menampung air, dan pembawa air mengambil air dan membawanya ke kota untuk dijual.

Setengah parasang[3] (sekitar 3 km) dari Jalan Burqa terdapat sebuah sumur yang disebut Bir al-Zahid (Sumur Zuhud). Masjid yang bagus terletak di sana, dan airnya bagus. Pengangkut air juga membawa air dari tempat itu untuk dijual.

Iklim di Makkah sangatlah panas. Aku melihat mentimun dan terong segar di akhir bulan Aquarius (sekitar pertengahan Februari-pen). Ini adalah keempat kalinya aku ke Makkah.

Dari…. (19 November 1050) hingga…. (5 Mei 1051) Aku adalah seorang mujawir di Makkah. Pada tanggal lima belas Aries (April-pen) anggur sudah matang dan dibawa ke kota dari desa-desa untuk dijual di pasar. Pada tanggal satu Taurus (akhir April hingga akhir Mei-pen) melon sangat berlimpah. Semua jenis buah tersedia di musim dingin, dan (pasar) tidak pernah kosong.

Naik Haji

Pada tanggal 9 Zulhijah 442 (24 April 1051), dengan bantuan Allah, aku menyelesaikan ziarah (haji) keempatku. Setelah matahari terbenam dan para peziarah dan pengkhotbah telah meninggalkan Arafah, semua orang pergi satu parasang (sekitar 6 km-pen) ke Mashar al-Haram (Monumen Suci), yang disebut Muzdalifah.

Di sini struktur yang bagus seperti maqsura[4] telah dibangun untuk orang-orang untuk salat. Batu-batu yang akan dilemparkan ke Mina dikumpulkan di sini. Merupakan kebiasaan untuk menghabiskan malam istirahat di tempat ini dan kemudian melanjutkan ke Mina pagi berikutnya setelah salat subuh untuk berkurban.

Sebuah masjid besar bernama Khayif ada di sana, meskipun tidak lazim untuk menyampaikan khutbah atau untuk melaksanakan salat saat istirahat di Mina, karena Nabi tidak menetapkan sunahnya.

Hari kesepuluh dihabiskan di Mina, dan batu-batu dilemparkan, yang pada (sebagian) praktiknya dijelaskan sebagai tindakan berlebih-lebihan terkait dengan Ziarah.[5]

Pada tanggal dua belas, setiap orang yang ingin meninggalkan (Makkah) berangkat langsung dari Mina, dan mereka yang ingin tetap tinggal sementara di Makkah pergi ke sana. Menyewa seekor unta dari seorang Arab untuk perjalanan tiga belas hari ke Lahsa, aku mengucapkan selamat tinggal kepada Rumah Allah. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Para pendatang, namun mereka tinggal dalam waktu lama di dekat tempat suci atau di tempat suci untuk mencari berkah yang hadir di atasnya. (Michael Wolfe)

[2] Maund, kira-kira tiga setengah pon. (Michael Wolfe)

[3] Satu parasang setara dengan 3,5 mil. (Michael Wolfe)

[4] Maqsura: Bagian masjid yang tertutup atau dibatasi tirai yang awalnya disediakan untuk melindungi penguasa saat salat. (Michael Wolfe)

[5] Lebih jelasnya tentang kekeliruan-kekeliruan yang berlebihan tentang melempar jumrah dapat dilihat dalam Tanya Jawab Tentang Islam, “Kekeliruan Yang Terjadi Saat Melontar Jumrah”, dari laman https://islamqa.info/id/answers/34420/kekeliruan-yang-terjadi-saat-melontar-jumrah, diakses 31 Oktober 2019. (PH)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*